Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DITERPA hujan deras, Anggiasari Puji Aryatie memasuki kawasan perkampungan di pinggir Kali Code, Kota Yogyakarta, Rabu sore pekan lalu. Perempuan 38 tahun itu ngos-ngosan kala kakinya yang pendek dan mungil menapaki anak tangga yang curam dan licin.
Anggi—panggilan Anggiasari—menderita achondroplasia, penyakit langka yang muncul pada 1 dari 20 ribu-30 ribu kelahiran. Ini adalah kelainan genetik yang mengakibatkan pertumbuhan tulang terhambat. Tinggi Anggi pun hanya sekitar semeter. “Sulit jadi orang pendek, lutut saya gampang sakit,” ujar Anggi, diiringi tawa.
Meski lelah, calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai NasDem itu bersemangat menuju Kelurahan Terban. Sambil memegang payung mungil, dia membagikan kalender dan kartu nama bergambar wajahnya kepada penduduk sekitar. Hingga akhirnya Anggi, yang ditemani dua teman yang menjadi pendukungnya, tiba di rumah Tri Hartono, warga Terban. Di situ Anggi meriung bersama belasan ibu-ibu.
Dia lalu mendorong para ibu aktif dalam musyawarah perencanaan pembangunan kelurahan agar kawasan sekitar Kali Code bisa lebih berkembang. Dia mencontohkan, kondisi jalan, seperti undak-undakan, belum ramah terhadap penyandang disabilitas, orang lanjut usia, dan ibu hamil. Tak lupa calon nomor urut 6 untuk daerah pemilihan Provinsi Yogyakarta ini meyakinkan mereka agar mau memilihnya. “Cilik-cilik, wangun dipilih (kecil-kecil layak dipilih),” katanya.
Anggi menjadi satu dari tiga penyandang disabilitas di Provinsi Yogyakarta yang maju sebagai calon anggota legislatif. Dua lainnya maju untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam kampanyenya, dia selalu menghadirkan isu kesetaraan perempuan dan disabilitas. “Anggi sudah lama aktif membantu kalangan disabilitas,” ucap Suryatiningsih Budi Lestari, aktivis disabilitas yang menjadi calon anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Partai Solidaritas Indonesia.
Suryatiningsih mencontohkan, Anggi aktif memberikan masukan dalam penyusunan Peraturan Daerah Kota Yogyakarta tentang Disabilitas. Bersama para penyandang disabilitas lain, Suryatiningsih melanjutkan, Anggi kerap bolak-balik ke gedung DPRD sejak 2014 untuk mendesakkan pengesahan peraturan tersebut. Barulah pada Desember 2018 peraturan itu disahkan.
Dengan adanya aturan itu, Pemerintah Kota Yogyakarta wajib menyediakan jaminan kesehatan khusus difabel. Adapun di bidang pendidikan, semua sekolah di Kota Yogyakarta menjadi inklusif. Para penyandang disabilitas bisa mendaftar ke sekolah umum. Pemerintah kota juga menyediakan layanan home care seperti antar-jemput untuk difabel yang punya keterbatasan mobilitas.
Advokasi yang dilakukan Anggi tak terbatas pada isu disabilitas. Pada 2016, setahun setelah mengikuti pelatihan tentang gender dan kemiskinan di Jenewa, Swiss, Anggi bergabung dengan lembaga internasional Humanity and Inclusion—sebelumnya bernama Handicap International. Di situ dia menjadi penasihat penguatan gender dan disabilitas. Anggi sempat berkeliling Timor Leste, Filipina, dan Vietnam untuk memberikan pelatihan mengenai gender, disabilitas, dan pengurangan risiko bencana.
Humanity and Inclusion bekerja sama dengan pemerintah Yogyakarta untuk menjadikan kota itu inklusif mengacu pada standar Badan Kesehatan Dunia (WHO). Anggi dan Manajer Proyek Humanity and Inclusion Singgih Purnomo menyusun buku petunjuk untuk kelompok rentan, seperti penyandang disabilitas, orang lanjut usia, dan kelompok miskin. Petunjuk itu menjadi acuan dalam musyawarah rencana pembangunan tingkat kelurahan dan kecamatan se-Yogyakarta. “Anggi punya peran besar mengadvokasi kepentingan kelompok rentan,” kata Singgih.
Anggi juga gencar mendorong alokasi dana afirmasi penguatan kelompok rentan. Hasilnya, Pemerintah Kota Yogyakarta mengalokasikan dana Rp 20 juta per bulan di tiap kelurahan untuk kelompok rentan. Dari jumlah itu, Rp 5 juta menjadi hak penyandang disabilitas, jumlah yang sama untuk kelompok lanjut usia, serta Rp 10 juta untuk kalangan miskin. Penyandang disabilitas di Kelurahan Kadipaten, Kecamatan Kraton, misalnya, menggunakan dana tersebut untuk usaha makanan ringan.
Anggiasari Puji Aryatie (kiri) bersosialisasi kepada masyarakat di Yogyakarta, Rabu pekan lalu. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Advokasi yang dilakukan Anggi itu diakui pemerintah Yogyakarta. “Anggi memang kerap memberikan masukan soal perencanaan program afirmasi gender dan disabilitas,” tutur Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Yogyakarta Suprantini.
Anggiasari lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Arifin Hidayat, pekerja gudang barang elektronik, dan ibunya, Dwi Priyatie, tak bekerja. Kondisi fisik yang berbeda membuat Anggi kerap dirisak teman sekolahnya. “Mereka mengolok-olok saya sebagai anak kecil. Tangan bengkok seperti kodok,” Anggi mengenang. Bahkan segerombolan murid memalaknya untuk mendapatkan uang jajan. Kondisi ini berlanjut hingga di sekolah menengah atas.
Anggi sempat mengalami depresi berat. Namun perlahan-lahan dia bisa menerima kondisi fisiknya. Ibunya pun tak henti mendukung dia. Bagi Anggi, keterbatasan fisik tidak membuat seseorang tak bisa berkembang. Pada 2002, Anggi mengantongi ijazah diploma III bahasa Prancis dari Universitas Gadjah Mada. Setelah itu, dia merampungkan kuliah sastra Inggris di Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA. Dia sempat mengikuti program master filsafat teologi di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, tapi tesisnya tak rampung. “Dunia aktivis lebih mengasyikkan,” katanya.
Pada 2005, Anggi bergabung dengan Yayasan Bunga Bakung dan membantu sejumlah anak jalanan di Ibu Kota belajar bahasa Inggris. Menurut Wakil Ketua Yayasan Bunga Bakung Ritha Sepmiati Pini, Anggi juga berkeliling ke sejumlah penjara di Jakarta, Sukabumi, dan Bandung untuk mendampingi aktivitas rohani para narapidana. Anggi pun menemani mantan narapidana yang ditolak keluarga dan ditampung di yayasan yang berlokasi di Tanjung Priok, Jakarta Utara, itu. “Anggi memberikan konseling dan mengembalikan kepercayaan diri mereka untuk berbaur dengan masyarakat,” tutur Ritha.
Maju ke dunia politik, apalagi menjadi calon legislator, tak pernah ada di pikiran Anggi. Dia menganggap parlemen dipenuhi politikus dengan rekam jejak buruk. Pada pertengahan November 2017, dia diundang ke kantor Dewan Pengurus Wilayah NasDem Yogyakarta. Ketua NasDem Yogyakarta Subardi mengatakan Anggi sudah lama masuk radar partainya. “Bukan untuk cari sensasi, tapi karena dia memang punya kapasitas,” ucapnya.
Anggi sempat bimbang. Setelah berpikir lama, dia setuju menjadi calon legislator. “Harus ada keterwakilan penyandang disabilitas untuk mengawal kebijakan pemerintah,” ujarnya.
Di daerah pemilihan Yogyakarta, Anggi bakal bersaing dengan 104 calon lain untuk memperebutkan delapan kursi DPR. Sejumlah nama besar ikut berlaga. Di antaranya delapan inkumben, seperti putra Amien Rais, Hanafi Rais; mantan Bupati Bantul dua periode, Idham Samawi; dan politikus Demokrat, Roy Suryo. Ada pula nama tersohor seperti putri Presiden RI ke-2, Soeharto, Siti Hediati alias Titiek Soeharto; dan musikus Katon Bagaskara. “Saya ini wong cilik, tapi siap menghadapi orang besar,” ucapr Anggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo