Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu Anggi masih ragu menerima ajakan Subardi menjadi calon legislator.
Anggi menilai banyak partai politik belum benar-benar memahami isu kesetaraan gender dan perlindungan difabel. Dia mencontohkan, partai-partai di Senayan belum mampu menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. Padahal rancangan itu sudah diajukan sejak 2017 dan masuk Program Legislasi Nasional 2018.
Dimintai tanggapan tentang pertemuan dengan Anggi, Subardi mengaku menyebutkan partainya telah memenuhi kuota 30 persen perempuan dalam pencalonan legislator. Bahkan, di daerah pemilihan Yogyakarta, separuh dari delapan calon yang diajukan NasDem adalah perempuan. Tapi Subardi juga mengakui bahwa kesadaran akan kesetaraan gender dan disabilitas masih perlu ditingkatkan. “Perlu proses di internal partai,” ujar Subardi saat dihubungi, Kamis pekan lalu.
Menerima pinangan NasDem, Anggi menyatakan akan berfokus memperjuangkan hak-hak difabel dan kesetaraan gender. Sudah belasan tahun dia mengadvokasi isu tersebut. Rencananya, dia meminta ditempatkan di Komisi Agama dan Sosial Dewan Perwakilan Rakyat jika terpilih. Komisi itu mengurus persoalan perempuan dan disabilitas dengan mitra kerja seperti Kementerian Sosial serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Jalan Anggi menuju Senayan masih panjang dan terjal. Dia menjadi calon dengan tiga unsur minoritas: perempuan, difabel, dan nonmuslim. Nomor urutnya pun di barisan tengah, yaitu 6. Tak hanya melawan politikus dan tokoh ternama, ia juga punya modal yang cekak. Anggi mengandalkan sokongan dana dari NasDem untuk biaya kampanye.
Akhir tahun lalu, NasDem hanya menyiapkan Rp 2 juta setiap bulan untuk Anggi. Duit itu jauh dari kebutuhan Rp 300-400 ribu per hari. Anggi lalu meminta NasDem menambah dana kampanye. “Saya bilang, kalau cuma karena belas kasihan, lebih baik nama saya dicoret dari daftar calon,” katanya, lalu tertawa.
Gertakan itu berhasil. NasDem memberinya Rp 20 juta per bulan. Menurut Subardi, duit itu tak langsung diberikan kepada Anggi, tapi dikelola tim kampanye partai. Partai pun menyiapkan alat peraga kampanye seperti kaus dan kalender.
Toh, dana itu masih jauh dari cukup. Hingga kini, tak ada foto Anggi terpasang di spanduk dan baliho di berbagai penjuru Yogyakarta. Anggi berencana memasang sedikit media kampanye di titik-titik tertentu menjelang pencoblosan 17 April mendatang. “Jangan mengotori kota dengan spanduk,” ucapnya.
Hingga pekan lalu, Anggi masih berkampanye dengan keluar-masuk kampung untuk mengenalkan diri dan mensosialisasi visi-misinya. Mengetuk pintu rumah pemilih, Anggi dibantu jaringan aktivis perempuan dan disabilitas. Sejumlah kawannya, mantan mahasiswa Universitas Gadjah Mada, pun ikut membantu. Gaya kampanye door-to-door ini terbilang berat karena langkah kaki Anggi tidak cukup panjang. Kadang dia menyisipkan agenda pijat saat merasa lelah.
Anggi pun gencar berkampanye melalui akun media sosial miliknya di Facebook, Instagram, dan Twitter. Dia bertekad menjadi anggota DPR dari kalangan difabel. Seperti tertulis di profil yang disebarkannya melalui media sosial: “Saya terbatas katanya, tapi perjuangan saya tanpa batas.”.
Anggiasari Puji Aryatie
Lahir: Jakarta, 6 Agustus 1980
Pendidikan:
• Diploma Bahasa Prancis Universitas Gadjah Mada (2002)
• Sarjana Sastra Inggris Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA (2007)
Pekerjaan: Koordinator Bidang Gender dan Disabilitas di Humanity and Inclusion
Partai: NasDem
Daerah Pemilihan: Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor Urut: 6
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo