Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Kementerian Kelautan dan Perikanan menyelidiki 14 perusahaan yang diduga terlibat praktek perdagangan manusia (trafficking) dan memperbudak anak buah kapal asing. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, modus perusahaan-perusahaan itu mirip dengan yang dilakukan oleh PT Pusaka Benjina Resources di Benjina, Kepulauan Aru, Maluku. "Perusahaan-perusahaan itu akan segera ditindak," kata Susi kepada Tempo, kemarin.
Susi enggan menyebutkan identitas 14 perusahaan tersebut. Sumber di Kementerian menyebutkan mereka merupakan perusahaan dalam negeri.
Menurut Susi, Kementerian Kelautan melaporkan kasus tersebut kepada polisi untuk diselidiki lebih jauh. Ada kemungkinan 14 perusahaan itu melanggar Undang-Undang Nomor 21/2007 tentang perdagangan manusia dengan sanksi 15 tahun penjara, Undang-Undang Hak Asasi Manusia, serta Undang-Undang Ketenagakerjaan.
Ketua Satuan Tugas Anti-Illegal Fishing Kementerian Kelautan, Mas Achmad Santosa, menyatakan dugaan perbudakan itu ditemukan berdasarkan hasil analisis dan evaluasi terhadap 16 perusahaan perikanan di Ambon. Ternyata, kata dia, cuma dua perusahaan yang tidak menggunakan awak asing. Sedangkan 14 perusahaan lain mempekerjakan 2.061 awak asing pada 119 kapal. "Ini melanggar Undang-Undang Perikanan yang melarang penggunaan ABK asing," ujarnya.
Sebagian dari awak asing itu adalah korban trafficking yang berasal dari Thailand, Myanmar, dan Kamboja. Menurut Santosa, mereka direkrut melalui cara-cara tidak wajar, antara lain dengan tawaran pekerjaan bergaji besar, tapi tidak ada kejelasan mengenai pekerjaan apa yang akan dilakukan. "Mereka kemudian dikurung sebelum dipekerjakan."
Hasil penyelidikan Satgas juga menunjukkan awak kapal asing ini diperjualbelikan oleh calo tenaga kerja. Biasanya, kata Santosa, calo mendapatkan uang jasa 15 ribu-30 ribu baht atau sekitar Rp 5,8-11,7 juta dari tekong atau juragan kapal. Namun awak kapal ini tidak menerima upah yang layak. "Gajinya dipotong atau bahkan tidak dibayarkan sama sekali," kata Santosa.
Santosa menegaskan, kasus ini merupakan pelanggaran hak asasi serius. Karena itu, Kementerian tidak menoleransi praktek perekrutan ABK semacam ini. "Apalagi Indonesia telah meratifikasi konvensi anti-perbudakan dan memiliki aturan yang memberi sanksi tegas pada praktek perbudakan," ujarnya. Satgas juga memberi rekomendasi kepada Menteri Susi untuk mengedepankan aspek perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian dari penilaian serta prosedur pemberian izin terhadap perusahaan di bidang perikanan dan kelautan.
Praktek perbudakan awak kapal mencuat awal tahun ini, setelah muncul laporan mengenai kasus PT Pusaka Benjina Resources. Perusahaan perikanan di Perairan Benjina ini mempekerjakan awak asal Myanmar serta menggunakan kapal eks asing. Kepolisian Daerah Maluku mengungkapkan adanya 1.185 ABK yang bekerja di Benjina. Setiap tahun ada sekitar 20-30 ABK di Benjina yang tewas.DEVY ERNIS
Jejak Perbudakan di Maluku
Organisasi Internasional untuk Urusan Migrasi (IOM) mencatat praktek perbudakan awak kapal di Maluku oleh 14 perusahaan perikanan dilakukan sejak 2011. Berikut ini korban praktek ilegal tersebut:
Desember 2011 | 7 ABK asal Kamboja
Januari 2012 | 5 ABK asal Myanmar
Desember 2013 | 33 ABK asal Myanmar, Thailand dan Kamboja
Juni 2014| 17 ABK asal Myanmar
September 2014 | 16 ABK asal Myanmar
Februari 2015 | 5 ABK asal Myanmar
Modus Culas Agen dan Tekong
- Agen merekrut calon ABK (biasanya warga miskin) di Myanmar, Kamboja, dan Thailand dengan iming-iming pekerjaan bergaji besar di luar negeri.
- Agen mengirim mereka kepada tekong dengan imbalan 15-30 ribu baht per awak kapal.
- Tekong mengurung dan membawa korban ke luar negeri, salah satunya Indonesia. -Mereka dijual ke perusahaan penangkapan ikan.
- Tekong menahan atau memangkas gaji ABK, yang dibayarkan oleh perusahaan perikanan. ABK dikurung dan dipaksa bekerja di bawah ancaman.SUMBER: IOM, SATGAS ANTI-ILLEGAL FISHING | NASKAH: FERY F, DEVY ERNIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo