Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Aksi Kamisan menjadi salah satu gerakan yang terpilih sebagai Tokoh Tempo 2024.
Konsistensi Sumarsih dan kawan-kawan berjuang selama 17 tahun mencerminkan buruknya situasi perlindungan HAM di Indonesia.
Aksi Kamisan menjadi inspirasi bagi para aktivis muda di 72 kota.
KAMIS sore, 19 Desember 2024, Aksi Kamisan berlangsung untuk ke-845 kalinya. Di antara para peserta aksi di pojok barat Monumen Nasional—berhadapan langsung dengan Istana Negara, Jakarta—itu, tampak sosok yang tidak asing dan hampir selalu datang setiap pekan: Maria Catarina Sumarsih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan 72 tahun itu adalah ibu Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, yang tewas ditembak pada 13 November 1998. Peristiwa itu dikenal sebagai tragedi Semanggi I yang terjadi di tengah gelombang gerakan mahasiswa setelah Presiden Soeharto mundur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sumarsih salah seorang pemrakarsa Aksi Kamisan, gerakan korban pelanggaran hak asasi manusia untuk menuntut keadilan. Ia juga salah satu yang paling setia menghadiri aksi itu selama 17 tahun.
Para pegiat HAM dan komunitas KPOPers mengikuti Aksi Kamisan ke-845 yang merupakan aksi terakhir di tahun 2024 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Stamina luar biasa itu datang setelah dukacitanya bertransformasi menjadi cinta. “Saya mencintai Wawan. Setelah Wawan ditembak, saya mencintai sesama korban dan keluarga korban yang menderita dengan memperjuangkan semua kasus pelanggaran HAM berat,” kata Sumarsih kepada Tempo di rumahnya di daerah Meruya, Jakarta Barat, Senin, 16 Desember 2024.
Sumarsih menggagas Aksi Kamisan bersama dua anggota keluarga korban pelanggaran HAM lain. Kini gerakan tersebut, yang menjadi salah satu pilihan Tokoh Tempo 2024, menyebar dan hadir di berbagai kota di Indonesia. Isu yang mereka usung pun tak lagi melulu penuntasan kasus pelanggaran HAM.
Pada Kamis, 19 Desember 2024, misalnya, Aksi Kamisan di Monas diikuti sekelompok pemuda yang tergabung dalam komunitas KPOPers. Kelompok pencinta budaya Korea ini menolak kenaikan tarif pajak pertambahan nilai 12 persen. Mereka menyalakan tongkat lampu dan berorasi menolak kenaikan pajak yang bakal membuat harga komoditas dan tiket konser lebih tinggi. Sebelum hujan berangin turun dan membubarkan aksi, mereka menyanyikan lagu “Into the New World” dari grup musik Korea, SNSD.
Maria Catarina Sumarsih, ibu Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, mahasiswa Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, yang tewas ditembak pada 13 November 1998, saat mengikuti Aksi Kamisan ke-845 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024. TEMPO/Ilham Balindra
Sepekan sebelumnya, Kamis, 12 Desember 2024, Aksi Kamisan mengangkat tema “Hari HAM Sedunia”. Pesertanya tak kalah ramai. Puluhan pemuda berbaju gelap dan berpayung hitam memenuhi lokasi aksi. Sumarsih juga ada di sana. Ia terlihat sibuk berkoordinasi dengan sejumlah pegiat HAM lain untuk mencari pemandu acara refleksi dalam aksi hari itu.
“Acara ini semua bersifat spontan. Pemandu acara dan yang isi refleksi kadang baru ditentukan pas acara,” ucapnya kepada Tempo. Di sela kesibukannya, Sumarsih masih menyempatkan diri menerima ajakan berfoto dari sejumlah pelajar sekolah menengah atas.
Ketika aksi dimulai, mereka berdiri melingkar mendengarkan refleksi, termasuk kuliah terbuka dari penjabat sementara Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta Pratiwi Febry. Acara juga diwarnai pembacaan puisi oleh Petrus Lopez, seorang pengungsi peristiwa Timor Timur—sekarang Timor Leste. Selain menyuarakan tuntutan pengusutan berbagai kasus pelanggaran HAM yang tertulis di payung hitam, aksi sore itu meminta perkara penembakan Gamma Rizkynata Oktavandy oleh polisi di Semarang diselesaikan secara adil.
•••
DI rumahnya di Meruya, Maria Sumarsih memajang sejumlah plakat penghargaan dan foto Wawan dalam sebuah lemari cokelat. Ia juga menyimpan kartu identitas almarhum saat menjadi anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan Universitas Atma Jaya dalam tragedi Semanggi I di sebuah tas jinjing abu-abu. Di tas tersebut terlihat pula sejumlah foto misa arwah yang dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Julius Kardinal Darmaatmadja sebelum Wawan dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum Joglo, Jakarta Barat, pada 14 November 1998.
Ketika Tempo sedang mewawancarai Sumarsih, Senin, 16 Desember 2024, Arief Priyadi, suaminya, bergabung. Arief bertanya apakah Sumarsih akan memperlihatkan baju yang Wawan kenakan pada saat penembakan dalam tragedi Semanggi I. Sumarsih menjawab tidak perlu. “Saya tidak mudah membuka kembali peninggalan Wawan,” katanya.
Kepergian Wawan membuat Sumarsih berjuang ke sana-kemari mencari kebenaran dan menuntut keadilan. Ia berdiskusi dengan anggota keluarga korban lain. Ia pun beraudiensi dengan lembaga-lembaga negara, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Kejaksaan Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat. Ia juga berkonsultasi dengan lembaga nonpemerintah seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).
Seorang ibu memegang foto anaknya yang hilang/ korban penculikan, saat melakukan unjuk rasa bersama puluhan massa di depan Istana Negara, Jakarta, Kamis, 18 Januari 2007. Aksi Kamisan pertama ini berawal dari aksi diam yang menuntut keadilan untuk korban HAM. Dok. Tempo/Yosep Arkian
Pada Desember 2004, kegigihannya berbuah penghargaan Yap Thiam Hien Award. “Saya berpikir untuk menolak karena Wawan yang berjuang, mosok ibunya yang menerima penghargaan dan penghormatan,” tuturnya. Tapi akhirnya ia menerima penghargaan tersebut. Setelah berdiskusi dengan Sandyawan Sumardi, mantan pastor sekaligus aktivis HAM yang menjadi salah satu juri, ia memberikan uang penghargaan tersebut untuk kegiatan para korban kekerasan HAM.
Organisasi Swabella lantas terbentuk. Sumarsih dan Suciwati, istri mendiang aktivis HAM, Munir Said Thalib, menjadi pemimpinnya. Lantaran berbau Orde Baru, nama Swabella berganti menjadi Jaringan Relawan Kemanusiaan Indonesia, lalu berubah lagi menjadi Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Bedjo Untung, Ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966, juga menjadi penggagas.
Keluarga korban pelanggaran HAM di bidang sipil, politik, dan ekonomi serta korban penggusuran kemudian ikut bergabung ke dalam JSKK. Pada 9 Januari 2007, dalam diskusi Sumarsih dengan Suciwati dan Yati Andriani, mantan Koordinator Kontras, rumusan Aksi Kamisan terbentuk: aksi diam dengan atribut serba hitam. “Kapan kita akan berhenti? Saya bilang, kalau aksinya tinggal tiga orang, kita bubarkan saja, tidak usah diteruskan,” ucap Sumarsih.
Aksi Kamisan pertama kali digelar pada 18 Januari 2007. Kini pelaksanaannya sudah melalui era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Sumarsih mengatakan kekuatan aksi mereka berada pada inisiatif dan spontanitas peserta. “Saya tidak akan membawa Aksi Kamisan ini ke mana-mana. Saya punya prinsip hidup itu seperti air mengalir. Tapi, dalam perjalanannya, saya melihat Aksi Kamisan menjadi gerakan sosial,” katanya.
Dibutuhkan waktu lebih dari satu dekade untuk meluaskan gerakan ini. Peserta aksi datang silih berganti. Amnesty International Indonesia, Kontras, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta membantunya merancang kegiatan setiap pekan. Tema aksi biasanya dibahas dalam grup aplikasi percakapan WhatsApp bernama Gercep. “Saya selalu mengajak rapat teman-teman untuk rapat Aksi Kamisan,” ujar Sumarsih.
Istri Munir Said Thalib, Suciwati mengikuti aksi Kamisan untuk menagih janji pada Presiden RI, Joko Widodo segera menyelesaikan Kasus pelanggaran HAM berat yang membunuh suaminya di Istana Merdeka, Jakarta. Kamis, 15 September 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Bagi Sumarsih, membuat tema setiap pekan tak terlalu sulit. Ia tinggal melihat kalender berisi peringatan kasus-kasus pelanggaran HAM. Jika tidak ada peringatan khusus, ia tinggal menyesuaikan tema berdasarkan masalah-masalah aktual. Cairnya penyusunan tema menginspirasi gerakan serupa di berbagai daerah. “Anak-anak muda menjadi kritis terhadap permasalahan di daerah masing-masing. Jadi yang datang di Aksi Kamisan memang tidak banyak, tapi silih berganti,” katanya.
Di pojok barat Monas, ia juga kerap menerima aktivis dan mahasiswa yang menanyakan cara menggelar Aksi Kamisan di daerah masing-masing. “Saya sarankan mereka mengangkat masalah di daerah dengan atribut seperti di Jakarta,” ujar Sumarsih. Pernah muncul usul membuat Aksi Kamisan Nasional dan Aksi Kamisan Daerah, “Tapi saya enggak mau. Saya ingin kita sederajat,” tuturnya.
Sumarsih tak berubah meski diganggu suara dan tudingan miring, juga beberapa kali dibujuk agar berhenti. Aksi Kamisan juga berlanjut meski beberapa kali peserta aksi diganggu, diawasi, dihalang-halangi, atau diminta pindah lokasi oleh polisi. “Kami menolak. Enggak usah menyuruh kami pindah, selesaikan saja kasus-kasus HAM, saya akan berhenti dari kegiatan ini dengan sendirinya,” katanya.
Setelah 17 tahun Aksi Kamisan, Sumarsih mencatat ada 72 kota yang menggelar aksi serupa, dari Lhokseumawe, Aceh; Solo, Jawa Tengah; Bandung, Jawa Barat; Malang, Jawa Timur; hingga Kupang, Nusa Tenggara Timur.
•••
RASA lelah kadang juga datang, kata Maria Sumarsih. Ia sangat merasakannya saat muncul program penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu melalui jalur non-yudisial. Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, tim khusus untuk penyelesaian non-yudisial dibentuk dengan fokus rekonsiliasi lewat pemberian kompensasi dan rehabilitasi bagi korban dan keluarga korban. Pembentukan tim ini termaktub dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022.
Pada 2023, Jokowi mengakui ada 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kerusuhan Mei 1998 serta tragedi Semanggi I dan II. Ia berharap penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu itu dapat memulihkan luka para korban dan masyarakat bisa bergerak maju.
Sumarsih tak setuju. “Saya salah satu korban yang menolak penyelesaian non-yudisial untuk menyelesaikan pelanggaran HAM,” ujarnya. Bagi dia, penyelesaian perkara pelanggaran HAM tetap harus melalui jalur yudisial lewat peradilan HAM sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. “Saya bertahan pada agenda reformasi yang ketiga, menegakkan supremasi hukum. Barometernya, untuk kasus Semanggi I dan II, dibawa dan dipertanggungjawabkan di pengadilan HAM ad hoc, apa pun hasilnya.”
Berakhirnya rezim Jokowi dan bermulanya pemerintahan Prabowo Subianto, yang disebut terlibat dalam penculikan aktivis pada 1997-1998, membuat Sumarsih, Suciwati, dan peserta Aksi Kamisan lain berhenti mengirim surat kepada presiden.
•••
SUCIWATI mengatakan butuh konsistensi untuk menjaga Aksi Kamisan berjalan selama belasan tahun. “Ada yang padam, tapi lahir lagi atau ada yang muncul baru. Karena dinamikanya beragam, sekuat apa mereka menghadapi dinamika itu,” ujarnya, Kamis, 12 Desember 2024. Bagi dia, Aksi Kamisan memberi ruang anak muda untuk membangkitkan harapan menyaksikan dan mendapatkan keadilan, juga menyediakan ruang solidaritas.
Suciwati mengakui kadang dia dan Maria Sumarsih merasa kelelahan menyuarakan keadilan dan mengadvokasi orang-orang yang tertindas dan dikriminalisasi. Namun makin banyak mahasiswa, pelajar, hingga seniman yang memberinya semangat untuk menjaga aksi ini tetap ada. “Itu cukup mengejutkan karena ternyata ada yang mendengar suara kami,” ujarnya.
Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, menilai ada sejumlah faktor yang membuat Aksi Kamisan bisa bertahan lama. Keteguhan para anggota keluarga korban pastinya menjadi bahan bakar utama. Selain itu, Aksi Kamisan berhasil menemukan relevansi dalam persoalan-persoalan aktual. Gerakan ini menjadi semacam penyambung suara atas begitu banyaknya kasus pelanggaran HAM saat ini. “Aksi ini menjadi wadah solidaritas dan mereka menyuarakan kasus-kasus baru. Jadi ini menjadi aktual dan kontekstual,” katanya.
Aksi Kamisan juga menjadi universitas bagi anak-anak muda yang ingin membangun kepekaan sosial, intelektualisme, dan aktivisme. “Bu Sumarsih sering dikunjungi mahasiswa. Dia kehilangan Wawan, tapi kini mempunyai banyak penerus perjuangan Wawan,” ucap Usman.
Pergelaran aksi yang memadukan aktivisme dan seni juga menjadi nilai tambah. “Selalu ada yang bernyanyi, bermusik, entah vokal paduan suara, band, entah tanpa alat musik. Jadi gerakan ini mudah diterima,” tutur Usman. Aksi Kamisan, dia menambahkan, hadir menjadi batas antara idealisme pergerakan dan pragmatisme kekuasaan.
Pada 18 Januari 2025, Aksi Kamisan akan genap berusia 18 tahun. Selama tuntutan belum terselesaikan, mereka akan terus ada, beraksi dengan baju gelap dan payung-payung hitam yang terbuka, setiap pekan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo