Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Fatia Maulidiyanti menulis secara personal persentuhannya dengan Sumarsih, ibu salah satu korban peristiwa Semanggi I.
Konsistensi Sumarsih dalam Aksi Kamisan patut menjadi inspirasi bagi banyak orang.
Perjuangan keluarga korban pelanggaran HAM lewat Aksi Kamisan akan lebih efektif bila lebih banyak publik yang terlibat.
PADA Desember 2019, saya bersama beberapa rekan aktivis berkunjung ke kediaman Ibu Maria Catarina Sumarsih. Kami ingin menghangatkan kediaman Bu Sumarsih menjelang hari raya Natal. Dia memasak sup iga untuk makan siang bersama. “Ini sup iga kesukaan Wawan. Ia sering meminta dimasakkan sup iga sepulang kuliah atau pada momen-momen tertentu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wawan yang ia sebut adalah Bernardinus Realino Norma Irmawan, putranya yang menjadi salah satu korban peristiwa Semanggi I.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kala itu saya dan Bu Sumarsih berbicara panjang di dapur sambil menyiapkan masakan lain. Ia banyak bercerita tentang Wawan. Dalam beberapa pertemuan lain, baik dalam Aksi Kamisan maupun forum-forum lain, ia sering curhat tentang peliknya perjuangan untuk menyelesaikan kasus penembakan anaknya yang terjadi pada 13 November 1998.
Sebelum itu, interaksi pertama kami terjadi ketika saya masih di bangku kuliah dan mengikuti Sekolah Hak Asasi Manusia untuk Mahasiswa yang diselenggarakan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Saya dan siswa lain diwajibkan mengikuti Aksi Kamisan. Ketika itu saya menanyakan hal yang sudah lama membuat penasaran: apakah dia pernah merasa capek setelah bertahun-tahun berusaha dan menghadapi banyaknya janji palsu dari pemerintah?
Saya ingat jawaban dia. “Sudah pasti perasaan lelah itu ada, Dik. Apalagi ketika sudah dijanjikan tapi tidak dilaksanakan kewajibannya. Ini bukan hanya soal kematian Wawan, tapi juga soal keadilan dan tanggung jawab negara.” Ucapan itu menjadi salah satu faktor yang membuat saya yakin bekerja di bidang advokasi hak asasi manusia. Akhirnya, setelah menyelesaikan pendidikan di Sekolah HAM untuk Mahasiswa, saya bekerja di Kontras.
Saya salut kepada Bu Sumarsih yang masih konsisten selama hampir 18 tahun menggelar Aksi Kamisan bersama korban-korban lain. Di tengah pasang-surut arus pergerakan HAM serta dinamika politik, Aksi Kamisan tetap berdiri tegak setiap minggu. Aksi itu menjadi ruang terbuka paling aman untuk menyuarakan isu-isu HAM lain dan akhirnya tersebar di beberapa kota di Indonesia.
Pelanggaran HAM berat merupakan fakta sejarah. Seharusnya menjadi kewajiban negara untuk menyebarkannya di sektor-sektor pendidikan politik formal ataupun informal. Tapi sosialisasi itu tak pernah terlaksana dengan baik atau dijalankan dengan setengah hati. Hal itu membuat masyarakat terkesan apologetis terhadap kewajiban negara memastikan nama-nama yang menjadi terduga pelanggar HAM tak masuk jajaran pemerintahan.
Hal itu bermula pada era Presiden Joko Widodo, yang sebelumnya dengan lantang berjanji menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat lewat Nawacita. Ia memberikan posisi-posisi strategis kepada beberapa nama yang tertulis dalam laporan investigasi kasus pelanggaran HAM berat oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Puncaknya, kini salah satu terduga pelaku pelanggaran itu menjadi presiden di republik ini.
Di tengah kondisi ini, Bu Sumarsih dan korban pelanggaran HAM berat lain masih konsisten berada di garis perlawanan. Mereka terus memperpanjang napas dalam usaha mendesak sejarah kelam di masa lalu tetap menjadi tanggung jawab negara.
Bu Sumarsih dan kawan-kawan menginspirasi saya dalam banyak hal. Usianya boleh sudah tidak lagi muda, tapi tidak dengan semangatnya. Ia terus bertahan mengawal Aksi Kamisan dan advokasi HAM lain.
Kekuatan dan konsistensi ini pula yang pada akhirnya membuat saya tetap tegar menjalankan kerja advokasi, bahkan ketika saya dijerat kasus kriminalisasi oleh pejabat negara. Setiap Senin, Bu Sumarsih hampir tidak pernah absen menemani saya menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
Ia datang bersama beberapa anggota komunitas korban lain, seperti Ibu Neneng dari Rumpin, Ibu Maria Sanu yang merupakan korban peristiwa Mei 1998, dan Suciwati. Mereka tidak ragu pasang badan berhadapan dengan polisi yang tidak memperbolehkan warga masuk ke area pengadilan atas alasan kapasitas.
Saya sangat merasa dikuatkan oleh dukungan ini. Saya bahkan merasa malu karena sempat merasa terdemotivasi dengan situasi pemajuan HAM dan demokrasi di Indonesia yang makin merosot. Mereka pula yang membuat saya percaya bahwa perjuangan gerakan berbasis massa akan selalu menemukan keniscayaan dan tetap ada selama kita berpijak pada kebenaran.
Salah satu momentum terberat saya adalah ketika harus kehilangan orang tua di tengah persidangan. Bu Sumarsih saat itu langsung berdiri dan memeluk saya setelah sidang ditunda, bahkan menemani sampai ke rumah orang tua saya seraya terus menguatkan. “Dik, kamu sudah berjuang, papamu pasti bangga.”
Saat itu saya tidak bisa menahan air mata. Kasih sayang seorang ibu yang kuat menjadi pendorong agar tidak patah oleh penindasan. Saya kehilangan orang tua karena sakit dan itu membuat saya sangat bersedih. Sedangkan Ibu Sumarsih kehilangan anaknya karena dibunuh negara, yang sudah pasti jauh lebih menyakitkan daripada yang saya rasakan.
Perjuangan para korban masih berlanjut. Aksi Kamisan terus digelar, bahkan tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Berbagai upaya lain juga dilakukan. Generasi kedua korban melanjutkan estafet perjuangan untuk mendapatkan hak mereka sebagai komunitas keluarga korban.
Namun hal itu tentu tidak akan cukup tanpa adanya bantuan dari masyarakat luas. Beban keluarga korban pelanggaran HAM berat yang terus berjuang—dengan penuh keringat, berliter-liter air mata, dan darah—akan terasa lebih ringan bila masyarakat luas terlibat.
Masyarakat juga perlu mendesakkan pengungkapan kebenaran sebagai upaya pelurusan sejarah. Pengungkapan kebenaran adalah hak masyarakat, bukan hanya hak korban. Kelompok muda sebagai obyek dan subyek politik berhak mendapatkan kebenaran sejarah. Salah satunya sejarah pelanggaran HAM berat.
Bu Sumarsih masih konsisten berjuang. Usahanya harus diteruskan dengan wujud-wujud pejuang dan perjuangan lain dari kelompok-kelompok muda. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo