Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program food estate menggerus ruang hidup masyarakat adat Marind-Anim.
Penolakan yang semula berserak kini menjadi gerakan masyarakat adat melawan food estate.
Ancaman baru muncul di beberapa kampung, tak terkecuali di wilayah Kabupaten Boven Digoel.
YASINTA Moiwend seharusnya bisa memanfaatkan musim hujan menjelang akhir tahun untuk menambah stok makanan. Sampai pertengahan 2024, perempuan suku Marind yang lahir pada 1964 ini masih rajin menjaring ikan dari hutan rawa di sekitar Kampung Wogikel, Distrik Ilwayab, Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Musim basah membuat ikan air payau, seperti kakap, belanak, dan gastor atau gabus, melimpah di sana dibanding saat kemarau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rutinitas mencari ikan belakangan ditinggalkan Yasinta karena rawa yang berjarak 7 kilometer di arah barat rumahnya hilang dalam hitungan bulan. Area itu habis dibabat dan diuruk untuk penyiapan lahan cetak sawah Merauke. Proyek food estate ini diinisiasi pemerintah dengan menggandeng pengusaha tambang batu bara yang juga pemilik Jhonlin Group, Andi Syamsuddin Arsyad alias Isam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Habitat ikan rawa di Wogikel dan kampung tetangganya, Wanam, tergusur bersama hewan darat karena menjadi lokasi awal megaproyek tersebut. Padahal warga lokal masih terbiasa berburu untuk mengisi perut.
Mama Yasinta—begitu Yasinta biasa dipanggil—mengatakan rusa, babi hutan, dan kanguru pohon makin jarang terlihat dan sulit didapatkan di kampungnya. Mau tak mau masyarakat memperluas radius perburuan mereka. Awal bulan ini, anak laki-laki Yasinta pernah mencari babi sampai ke pinggir Sungai Digul. Kawasan di sisi utara Ilwayab itu cuma sepelemparan batu dari perbatasan Kabupaten Mappi.
Pembukaan lahan untuk perkebunan tebu di Distrik Tanah Miring, Papua Selatan, 4 September 2024. Tempo/George William Piri
Suplai daging hewan masih bisa didapat dari pasar di pusat Kampung Wogikel. Namun harga tangkapan dari kampung terdekat, seperti Uliuli dan Bibikem, apalagi dari luar distrik, melonjak drastis. Hidup bertiga dengan dua anak, Yasinta mengeluhkan harga satu ekor kakap yang sekarang menembus Rp 30 ribu. Padahal, pada Februari 2024, dengan harga yang sama warga bisa mendapat empat ekor kakap.
“Nelayan di luar pintar jual, mungkin tahu kami dan (Kampung) Wanam sedang susah cari makan,” kata Yasinta pada Senin, 16 Desember 2024.
Terletak sekitar 250 kilometer di sisi barat laut pusat Kabupaten Merauke, Ilwayab merupakan satu dari 19 distrik yang terancam proyek strategis nasional (PSN) bertajuk Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke. Megaproyek ini membidik lahan seluas 2,29 juta hektare, atau setara dengan 70 kali luas wilayah Jakarta, untuk dua pekerjaan. Proyek pertama berupa cetak sawah seluas 1,18 juta hektare. Adapun proyek kedua berupa perkebunan tebu untuk swasembada gula dan industri bioetanol di lahan seluas 1,11 juta hektare.
Laporan utama Tempo edisi 23-29 September 2024 bertajuk “Adu Pamor di Merauke” menguak seabrek persoalan di balik proyek lumbung pangan dan energi di Merauke. Intrik politik antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto mengiringi penyiapan dua proyek yang dimulai tanpa dilengkapi analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal tersebut. Di lokasi rencana proyek, warga kampung di sejumlah distrik yang terancam bahkan tak mengetahui detail kebijakan Jakarta.
Maka Pius Cornelis Manu bergidik ketika mendengar kabar kedatangan puluhan ekskavator di kompleks Pelabuhan Wanam pada 29 Juli 2024. Belakangan, mesin-mesin penggaruk tanah itu diketahui merupakan bagian dari 2.000 unit ekskavator yang dipesan Jhonlin Group dari Sany Heavy Industry Co Ltd, produsen alat berat asal Cina. Dermaga pendaratan ekskavator yang dibangun Jhonlin terletak tepat di seberang Distrik Padua, kampung tempat Pius tinggal, yang hanya berjarak tempuh 25 menit menyeberangi Selat Marina untuk menuju Wanam.
Selama ini, sebagai tokoh adat dan pemuka agama, Pius terbiasa mendengarkan curahan hati masyarakat Papua Selatan untuk disuarakan kepada pemangku kebijakan. Lebih dari dua dekade terakhir, seperti yang terjadi di wilayah Tanah Papua lain, investasi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri menjadi ancaman serius bagi masyarakat adat di Papua Selatan. Dampak Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE, proyek lumbung pangan yang gagal pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga sekarang juga masih membekas.
Perwakilan Masyarakat adat Papua dan aktivis dari koalisi Solidaritas Merauke, Mama Yashinta Moiwend, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 16 Oktober 2024. Foto/Afriadi Hikmal/Greenpeace
Namun, bagi Pius, proyek cetak sawah kali ini paling brutal. “Tanpa ada sosialisasi dan tanpa didahului konsultasi untuk persetujuan masyarakat adat, hutan tempat kami mencari makan dibabat untuk beri makan dunia. Apa itu adil?” ujar Pius saat ditemui di sekitar Kelurahan Kramat, Jakarta Pusat, pada Rabu, 18 Desember 2024.
Hasil analisis citra satelit per 25 Desember 2024 menunjukkan setidaknya 4.500 hektare lahan telah dibongkar untuk penyiapan infrastruktur pendukung proyek cetak sawah Merauke yang dimulai di Wanam. Di area tersebut tampak guratan tanah melintang sepanjang 26 kilometer, yang ditengarai merupakan bagian dari proyek pembangunan jalan sepanjang 135,5 kilometer. Jalan itu akan dibangun ke arah timur hingga menjangkau wilayah Distrik Muting.
Datang tanpa permisi, proyek itu membuat Yasinta berang. Dia sakit hati bukan karena sumber makanan lokal dan mata pencariannya hilang. Yasinta, generasi ketujuh marga Moiwend, merasa kebijakan pemerintah telah merenggut sabana warisan leluhurnya. “Agar perusahaan masuk dan ambil tanah kami macam pencuri,” tutur Yasinta.
Sebelumnya, pada September 2024, Tempo dua kali melayangkan surat permohonan wawancara dan permintaan konfirmasi kepada Isam melalui kuasa hukumnya, Junaidi. Surat dengan pertanyaan serupa kembali dikirimkan ke akun WhatsApp Junaidi pada Jumat, 20 Desember 2024, tapi belum berbalas.
•••
SUARA penolakan terhadap proyek strategis nasional Kawasan Pengembangan Pangan dan Energi Merauke sebenarnya telah menggema sejak Juli 2024. Pada saat itu proyek pembangunan kebun tebu dimulai di Distrik Tanah Miring, sekitar 25 kilometer di sisi timur laut pusat kabupaten, dengan seremoni penanaman perdana yang dihadiri oleh Presiden Joko Widodo. Berbeda dengan proyek cetak sawah, pembangunan perkebunan tebu untuk swasembada gula dan industri bioetanol di Tanah Miring dimulai dengan memanfaatkan area konsesi sejumlah perusahaan.
Namun gerakan masyarakat menolak PSN saat itu masih berserak. Unjuk rasa di depan kantor pemerintahan daerah juga baru diikuti segelintir orang. Audiensi dengan pejabat pemerintah daerah pun dilakukan secara parsial, seperti yang dilakoni perwakilan suku Khimaima, subsuku Marind-Anim.
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante bersama Masyarakat adat Papua dan aktivis dari koalisi Solidaritas Merauke menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 16 Oktober 2024. Foto/Afriadi Hikmal/Greenpeace
Kabar dimulainya proyek cetak sawah di Wanam telah menggerakkan gelombang penolakan yang lebih besar di kalangan masyarakat Marind-Anim. Wilayah adat suku terbesar di Merauke ini membentang dari Kampung Kondo dekat perbatasan Papua Nugini di selatan sampai Sungai Digul di utara.
Pada 10 Agustus 2024, sedikitnya 130 orang perwakilan subsuku Marind-Anim dari sejumlah distrik berkumpul di Kampung Payum, Distrik Merauke. Mereka bersepakat membentuk Forum Masyarakat Adat Marind Kondo-Digul untuk menolak food estate. Jumlah mereka berlipat ganda pada dua pertemuan berikutnya, 20 Agustus dan 10 Oktober 2024. Beberapa perwakilan suku dari daerah tetangga Merauke, seperti Kabupaten Boven Digoel, Mappi, dan Asmat, juga bergabung.
Forum ini yang belakangan aktif menyebarkan informasi kepada publik melalui sejumlah kanal pemberitaan dan media sosial tentang penolakan masyarakat adat Marind-Anim terhadap proyek ketahanan pangan dan energi di Papua Selatan. Tak hanya berdemonstrasi di Merauke, perwakilan forum ini berunjuk rasa di Jakarta, seperti yang juga diikuti Pius Cornelis Manu, Yasinta Moiwend, dan Vincent Kwipalo di depan Istana Kepresidenan dan Kementerian Pertahanan pada 16-17 Oktober 2024.
Berbeda dengan Yasinta yang tanahnya terancam proyek cetak sawah, Vincent adalah ketua marga Kwipalo yang tengah memperjuangkan tanah adatnya yang hendak diserobot proyek swasembada gula di Distrik Jagebob, tetangga Distrik Tanah Miring. Tanah mereka kini dalam penguasaan korporasi yang turut bergabung dalam konsorsium pembangunan perkebunan tebu skala besar. Vincent juga telah mengadukan penyerobotan tanah marga Kwipalo ini kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada September 2024.
Rombongan kecil forum masyarakat adat itu terbang jauh dari Merauke dengan sokongan Lembaga Bantuan Hukum Papua Pos Merauke dan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, organisasi masyarakat sipil di Jakarta yang berfokus pada advokasi hak masyarakat. Menurut Franky Samperante, Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, suara dari gerakan masyarakat adat di Papua Selatan harus dikumandangkan ke Jakarta agar lebih terdengar. Hutan yang kini terancam oleh megaproyek food estate, dia melanjutkan, amat penting bagi kehidupan masyarakat Papua.
Perwakilan masyarakat adat Papua dan aktivis dari koalisi Solidaritas Merauke, Mama Yashinta Moiwend, menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 16 Oktober 2024. Foto/Afriadi Hikmal/Greenpeace
“Masyarakat adat punya banyak dimensi yang tidak bisa dinilai dengan angka. Sedangkan pemerintah cenderung melihat hutan sebagai sumber ekonomi untuk dieksploitasi,” kata pria 56 tahun itu ketika ditemui di kantornya pada 29 November 2024.
Pius menjelaskan maksud Angky—sapaan Franky Samperante—dengan mengulang seruan Mama Yasinta yang berapi-api di hadapan peserta Aksi Kamisan di Jakarta pada Oktober 2024. Viral di media sosial, Yasinta meneriakkan kabar tentang alam di kampungnya yang rusak, juga tentang burung di udara dan binatang di bawah tanah yang menghilang akibat penggusuran oleh proyek food estate. Tanah, hutan, dan segala isinya itu tidak hanya menyediakan makanan, tapi juga penting karena sebagian menjadi tempat sakral bagi suku Marind-Anim.
Para tetua adat Marind sering bercerita soal keberadaan dema, entitas spiritual yang dipercaya sebagai pencipta jagat raya. Kekuatan dema ada pada tumbuhan dan hewan yang namanya diadopsi menjadi identitas marga-marga. Burung ndik atau bangau leher hitam (Ephippiorhynchus asiaticus), sebagai contoh, merupakan totem bagi marga Ndiken di suku Marind. Pius yang memakai nama Manu, untuk menghormati orang tua adopsinya, sebenarnya datang dari marga Gebze dengan totem burung hantu.
Marind-Anim memiliki empat golongan adat, yaitu Sosom, Mayu atau Mayabodol, Imo, dan Esam. Tiap golongan berisi subsuku yang menaungi marga. Tujuh marga induk Marind yang menguasai banyak tanah ulayat adalah Mahuze, Gebze, Samkakai, Balagaize, Kahol, Ndiken, dan Basik-Basik. Ketujuhnya masih terbagi lagi menjadi klan-klan yang lebih kecil. Saking luasnya, sebagian lahan adat Marind-Anim belum dipetakan secara resmi, hanya bisa dikira-kira dengan batas alam.
Ikatan yang kuat dengan kosmos membuat masyarakat Marind cenderung menolak tawaran kompensasi, apalagi relokasi. Menolak uang lebih mudah daripada melihat penebangan pohon, begitu cara Pius menggambarkan tekad sukunya. “Jika disuruh pergi, mereka akan katakan lebih baik dibunuh,” ucap Pius.
•••
KETIKA Tempo menuju Wanam pada September 2024, masyarakat di sejumlah kampung wilayah pesisir Merauke bergerak serentak menolak dimulainya proyek food estate. Sebagian mulai memberlakukan tanam sasi, tradisi duka orang Marind-Anim. Warga di Kampung Yowied, Distrik Tubang, sampai Kampung Uliuli, Distrik Ilwayab, secara terpisah menggelar upacara adat dan memanjatkan doa untuk meminta perlindungan dari proyek yang mengancam tanah mereka.
Kamilus Kahol, Kepala Kampung Uliuli, termasuk yang tak pernah absen dalam pertemuan Forum Masyarakat Adat Marind Kondo-Digul. Pria 49 tahun ini juga hadir ketika masyarakat adat melakukan audiensi dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) pada 22 Agustus 2024. Keresahan masyarakat adat disampaikan secara lisan, tertulis, dan simbolis di depan gedung MRP, Kota Jayapura, Papua. “Kami selalu bubuhkan lumpur putih ke wajah sebagai lambang duka dalam aksi,” katanya.
Tokoh suku adat Awyu di Boven Digoel, Hendrikus Franky Woro, sedang berburu di hutan milik sukunya di Boven Digoel, Papua Selatan, 23 juni 2023. Foto/Jurnasyanto Sukarno/Greenpeace
Kamilus sebenarnya lahir di Distrik Bibikem, tetangga di sisi selatan Distrik Ilwayab. Namun dia tumbuh besar di Kampung Uliuli yang hanya diisi 90 keluarga. Hutan rawa di Uliuli masih utuh, tapi bisa saja nasibnya akan segera menyusul kondisi di Kampung Wanam dan Kampung Wogikel yang kini tengah diterjang proyek cetak sawah.
Meski cemas dan ingin menyuarakan protes terhadap program cetak sawah, warga Uliuli belakangan tidak berani menggelar protes secara terbuka di tengah kampung. Sejak Oktober 2024, ratusan tentara datang ke Merauke. Para prajurit itu merupakan personel batalion infanteri (yonif) yang dikirimkan oleh Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Agus Subiyanto untuk menjaga keamanan daerah rawan di Papua. Tapi mereka juga bertugas mendukung program ketahanan pangan.
Dua dari lima yonif yang disebar di Pulau Papua bermarkas di Papua Selatan, yaitu Yonif 803/Nduka Adyatma Yuddha di Kabupaten Boven Digoel dan Yonif 804/Dharma Bhakti Asasta Yudha di Kabupaten Merauke. Ada batalion konstruksi, ada pula batalion produksi. “Kami akan melaksanakan program pertanian di wilayah Papua dan batalion-batalion ini akan membantu,” ucap Jenderal Agus saat jumpa pers di Lapangan Silang Monumen Nasional, Jakarta, pada 2 Oktober 2024.
Bayangan soal pakaian hijau loreng dan senjata, menurut Kamilus, meneror mental orang kampung. Kesan terhadap kehadiran tentara, bagi sebagian orang di Papua, belum berubah sejak masa Orde Baru.
Seisi Kampung Uliuli terpaksa menolak food estate dalam senyap. Warga berkukuh menempelkan lumpur putih atau biasa disebut poo di wajah ketika berkumpul, baik dalam kegiatan adat maupun doa bersama. Riasan dari tanah itu tetap dipakai warga saat menerima bantuan bahan kebutuhan pokok atau mesin pompa air dari pemerintah daerah. Penyaluran hibah hampir selalu dibarengi dengan pengenalan program pemerintah, tak terkecuali soal ketahanan pangan. “Tangan menerima barang, tapi hati tidak akan kami berikan,” tutur Kamilus.
Rasa waswas kini tak hanya dialami masyarakat di Merauke. Kabar teranyar datang dari Kampung Yare, Distrik Fofi, Kabupaten Boven Digoel—yang sempat viral karena menjadi basis perjuangan suku Awyu melawan konsesi perkebunan sawit. Hendrikus Woro, Ketua Marga Woro yang selama ini berjuang melalui Komunitas Paralegal Cinta Tanah Adat, mengabarkan poster-poster rencana proyek food estate telah beredar di Boven Digoel.
Poster itu ia lihat ketika menghadiri pertemuan di Distrik Tanah Merah, pusat Kabupaten Boven Digoel, beberapa waktu lalu. Hendrikus tak mengingat detail gambar dalam poster tersebut. Dia hanya ingat rencana lahan baru yang disiapkan pemerintah itu ada di wilayah Boven Digoel, juga Mappi.
Dugaan Hendrikus bisa jadi tak meleset. Dokumen paparan Rencana Operasional Pemulihan Ekonomi Nasional Food Estate yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2020 menunjukkan rencana food estate di Papua Selatan tidak hanya menyasar Merauke, tapi juga dua daerah tetangganya. “Ini akan menjadi musuh baru jika food estate benar sampai sini,” ucap Hendrikus. “Kami dari paralegal selalu siap menghadapi meski dikalahkan oleh pengadilan.” ●
Avit Hidayat, Irsyan Hasyim, Han Revanda Putra berkontribusi dalam penulisan artikel ini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo