Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Angky Samperante di Bumi Papua

Victor Mambor

Victor Mambor

Editor Senior Tabloid Jubi, Papua

Angky Samperante dari Pusaka aktif mendampingi masyarakat adat Papua dalam memperjuangkan lahan yang dicaplok negara atau swasta.

29 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Franky Samperante memberikan keterangan pers di Kantor LBH Jakarta seusai aksi unjuk rasa di kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 16 Oktober 2024. Foto/Afriadi Hikmal/Greenpeace

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Angky Samperante dari Yayasan Pusaka aktif mendampingi masyarakat adat Papua dalam memperjuangkan lahan yang dicaplok negara.

  • Dia dan masyarakat adat belajar dan membangun perlawanan bersama-sama.

  • Dia juga menyiapkan generasi baru yang akan meneruskan perjuangan masyarakat adat Papua.

SAYA berkenalan dengan Angky Pusaka—sapaan Franky Samperante—15 tahun lalu ketika saya membantu jaringan lembaga swadaya masyarakat di Papua. Angky memahami isu kerusakan lingkungan dan masyarakat adat di Tanah Papua, terutama Merauke. Sebagai aktivis lingkungan, dia juga konsisten mendampingi masyarakat adat Papua dalam memperjuangkan lahan mereka yang dicaplok negara atau perusahaan swasta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kasus Merauke Integrated Food and Energy Estate atau MIFEE adalah isu pertama yang saya garap secara intens dengan Angky untuk laporan jurnalistik. Saya menyaksikan dampak negatif proyek itu, tapi butuh data untuk menjelaskannya. Angky-lah yang dapat memasok data itu. Ia menyerahkan hasil riset dan investigasi Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, organisasi yang dia dirikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angky juga bisa menjelaskan masalah masyarakat adat dengan cara sederhana kepada para pemimpin adat di Merauke. Ini sangat penting karena banyak aktivis LSM sering kali melakukannya dengan cara “LSM”, yang bahkan menjauhkan masyarakat dari substansi persoalan mereka. “Kita harus satu frekuensi dengan masyarakat yang kita dampingi. Jika berbeda frekuensi, yang kita kerjakan bersama-sama tidak akan berhasil,” kata Angky.

Jejaring masyarakat dengan LSM harus terbangun dalam prinsip simbiosis mutualisme. Namun banyak LSM yang melupakan prinsip ini dan menganggap persoalan Papua sebagai “mata pelajaran” yang harus mereka kuasai untuk “naik kelas”. Mereka merasa lebih tahu tentang Papua dan masyarakat harus mendengar perkataan mereka.

Angky berbeda. Bagi dia, “Kalau saya naik kelas, yang lain juga harus naik kelas.” Ia menganggap masyarakat adat sebagai siswa di kelas yang sama dengannya. Mereka belajar dan membangun perlawanan bersama-sama. Berulang kali ia mendampingi masyarakat adat Papua mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat serta lembaga eksekutif dan yudikatif di Jakarta untuk menyampaikan masalah mereka.

Perwakilan Masyarakat adat Papua dan aktivis dari koalisi Solidaritas Merauke, Mama Yashinta Moiwen menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta, 16 Oktober 2024. Foto/Afriadi Hikmal/Greenpeace

Pada suatu waktu, kami mengorganisasi mama-mama Papua yang tergabung dalam Solidaritas Pedagang Asli Papua (Solpap) untuk memperjuangkan pasar khusus di Jayapura. Mereka mendorong Presiden Joko Widodo mengundang Solpap ke Jakarta. Namun ada saja kaum oportunis yang “hambur madu”, seakan-akan merekalah yang berperan penting dalam keberhasilan ini, tapi enggan membantu memberangkatkan mama-mama Papua ke Ibu Kota. Robert Jitmau, koordinator Solpap, lantas menghubungi Angky untuk membantu menyediakan akomodasi bagi anggota Solpap. Namanya memang tak pernah muncul dalam perjuangan para mama, tapi kontribusinya nyata bagi mereka.

Kantor Yayasan Pusaka Bentala Rakyat Angky di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, telah menjadi tempat aktivis muda Papua bekerja dan belajar berorganisasi, berkampanye, dan meriset isu masyarakat adat dan lingkungan. Menurut Angky, “Mereka yang tahu tentang Papua. Mereka yang akan menjadi garda terdepan untuk mengadvokasi Papua.” Angky dan aktivis Papua juga beberapa kali terlibat dalam penyusunan “laporan bayangan” untuk Peninjauan Berkala Universal (UPR), bahan pertimbangan Dewan Hak Asasi Manusia PBB untuk menilai penegakan hak asasi di suatu negara. Begitulah cara Angky menyiapkan generasi baru Papua yang akan meneruskan perjuangan masyarakat adat Papua.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus