Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Idria,
Kandidat PhD di Departemen Antropologi Universitas Harvard, Amerika Serikat
SETIAP 26 Desember, kita yang memberi perhatian pada peristiwa gempa dan tsunami 2004 yang melanda Aceh dan beberapa kawasan lain di Asia Tenggara kembali berbagi ingatan tentang skala gempa, tinggi gelombang laut, dan kematian yang masif setelahnya. Bagi yang selamat dari hambalang tsunami, sisa dari kiamat yang urung hari Minggu itu adalah lolong angin laut dari sela bangunan yang roboh, genangan tsunami, gempa-gempa susulan, deru helikopter pengantar logistik bantuan, ambulans yang mengangkut tubuh luka patah, dan deru truk-truk yang mengangkut jenazah ke kuburan massal. Dunia tersentak dan turun tangan dalam hajatan kematian terbesar pada dekade pertama milenium ini. Tsunami 2004 ditahbiskan sebagai bencana internasional.
Nun di balik status internasional yang disematkan kepada satu bencana, "skala derita" dan derajat kehilangan adalah hal yang juga personal. Setiap orang Aceh yang menyandang status sebagai keluarga, sanak, teman, atau lawan dari 220 ribu jiwa lebih yang tewas akibat bencana tsunami juga menyimpan kenangan dan nyeri yang tak terbagi, apa yang diistilahkan oleh antropolog James Siegel sebagai "the singularity of each loss". Hal ini memungkinkan saya untuk tidak mewakili siapa pun ketika berbagi ingatan, begitu juga ketika menyampaikan pandangan tentang apa yang terjadi di Aceh satu dekade setelahnya.
Sepuluh tahun adalah waktu yang panjang dan mustahil bagi risalah singkat ini untuk memberi detail tentang kondisi Aceh setelah bencana 2004. Selain itu, tsunami telah menjadi bandul waktu baru bagi orang Aceh, untuk menandai apa yang terjadi sebelum dan sesudah tsunami, sehingga secara otomatis penyebutannya menjadi semacam pendulum yang selalu mengayun ke dua arah. Status Aceh yang berada di bawah kendali operasi militer ketika tsunami menerjang harus saya sebutkan di awal untuk menjelaskan bagaimana terisolasinya kawasan ini dari dunia luar sehingga apa-apa yang mengejutkan sekarang terjadi di provinsi tersebut dapat memperoleh rute nalarnya. Itulah masa yang dalam bahasa Albert Camus dinyatakan sebagai "hari-hari di mana kebebasan sedang tak punya banyak sekutu". Semua orang Aceh saat itu sedang bekerja keras membebaskan tubuh mereka dari kehancuran dan kebinasaan yang sia-sia. Singkatnya, tsunami 2004 adalah akumulasi dari kebinasaan yang sebelumnya bersifat sporadis di tengah-tengah perseteruan Gerakan Aceh Merdeka dan Tentara Nasional Indonesia.
Tsunami—satu kata asing yang datang dari jauh (setidaknya kita kenal berasal dari bahasa Jepang)—turut membawa segala hal yang jauh dan yang asing kembali tumpah-ruah ke Aceh. "Yang jauh" dan "yang asing" adalah dua hal yang saya kira memainkan peran krusial dalam membentuk identitas budaya Aceh dari masa ke masa, di mana respons orang Aceh terhadap kedua hal tersebut menjadi tolok ukur pasang-surut dinamika politik, sosial, dan agama di kawasan ini. Tsunami dan satu dekade setelahnya memberi kita satu sketsa baru rindu dendam Aceh terhadap yang asing dan yang jauh.
Catatan-catatan yang datang dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19 menjelaskan bahwa telah beratus-ratus tahun manusia dari segala penjuru dunia datang dan bermukim di Aceh. Tak hanya singgah, para peniaga, diplomat, perompak, dan pemuka agama lintas negara telah menjadikan Aceh sebagai alamat tinggal mereka, membangun apa yang kemudian dikenal sebagai Bandar Aceh Darussalam. Kekuatan persenjataan kesultanan Aceh pada abad-abad itu selalu ditopang kiriman dari jauh, demikian juga pemuka agama yang digugu senantiasa tokoh dari luar. Tsunami 2004 seperti undangan reuni bagi yang asing dan yang jauh kembali berlabuh di bandar ini.
Perdamaian Aceh yang disepakati pada 15 Agustus 2005, dengan perantara pihak asing dan ditandatangani di tempat yang jauh, nun di Helsinki sana, menjadi konsekuensi paling penting mengakhiri dekade-dekade penderitaan yang dialami masyarakat Aceh sebelum tsunami. Perdamaian Aceh juga memungkinkan para pelarian politik Aceh yang sebelum tsunami bergiat di tempat jauh dan terasing untuk kembali pulang. Dengan tercapainya kesepakatan damai, pembangunan Aceh yang lebih baik dapat dicanangkan dan berlangsung tanpa hambatan keamanan.
Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh menjadi lembaga resmi pemerintah Indonesia melancarkan program ambisius dalam proyek pembangunan kembali Aceh yang mencakup bidang infrastruktur dan suprastruktur, yang material dan immaterial, membentuk kedeputian yang mengurus perumahan hingga kedeputian yang mengurus budaya dan agama. Dengan dana rekonstruksi yang nyaris tidak terbatas, lembaga ini mau mendanai pembangunan stadion sepak bola hingga lomba memasak. Hasilnya, triliunan bantuan dari seluruh penjuru dunia, dengan pekerja kemanusiaan dari berbagai belahan dunia, memang banyak mengubah fisik Aceh yang sebelumnya luluh-lantak akibat tsunami dan perang.
Sepuluh tahun mungkin kurun yang panjang untuk mendirikan bangunan, tapi rentang yang pendek bagi tumbuh dan stabilnya satu gagasan bajik tentang pembangunan. Juga terlalu prematur untuk melahirkan kepercayaan. Banyak warga Banda Aceh yang menolak naik ke gedung evakuasi tsunami ketika gempa 2012 karena tidak percaya pada kualitas bangunan BRR. Di atas segalanya, persinggungan setelah tsunami di antara masyarakat yang baru terlepas dari belenggu konflik dengan kehadiran "yang asing" dan "yang jauh" adalah pertemuan yang canggung. Satu krisis kepercayaan diri dari masyarakat yang mayoritas hanya mampu menonton, yang mungkin tidak diantisipasi oleh para pekerja kemanusiaan yang datang ke Aceh dari berbagai belahan bumi lain dan harus bekerja dengan skema yang tidak terjangkau oleh penontonnya. Krisis yang kadang menggeser pandangan, dari harapan ke ancaman. Bagaimanapun, ini tak pernah menjadi masalah besar sampai politik membajak krisis tersebut untuk kepentingan kuasa.
Maka hari-hari terakhir ini, satu dekade setelah tsunami, ketika kata dan definisi Aceh dirayakan dengan cara yang belum pernah tercatat. Satu upaya membangun kembali identitas yang lama remuk digebuk negara dan kuyup ditenggelamkan bencana tapi menyajikan satu kondisi krisis yang kompleks. Krisis inilah yang melahirkan tuntutan terus-menerus agar Aceh harus dipandang dan diperlakukan berbeda, yang tentu membutuhkan pengakuan dari luar. Politik kemudian yang membalikkan istilah seperti "kemanusiaan", "kesetiakawanan", dan "kesetaraan", yang sebelumnya mengangkat kembali tubuh Aceh yang cedera dimangsa kejahatan perang dan bencana alam, mengubahnya menjadi tuntutan "keistimewaan", "kekhususan", atau "syariat" dalam makna yang sempit.
Saya memberi penekanan pada politik untuk memilah apa yang mengemuka dalam satu dekade setelah bencana di Aceh. Seperti kenangan dan nyeri akibat tsunami yang personal, apa ya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo