Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAGI itu Hasyim tengah menyiapkan kamera VHS Panasonic miliknya untuk dibawa ke Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Usaha dokumentasi miliknya, CV Difa Production, mendapat pesanan merekam sebuah pesta perkawinan di masjid terbesar di Banda Aceh itu. Tapi hajatan tersebut tak pernah terlaksana, dan Hasyim akhirnya malah mendapat "tugas" lain.
Pagi itu, sekira pukul 08.00, tiba-tiba ia merasakan gempa dan segera keluar dari rumah toko miliknya di Jalan Hasan Saleh, Nomor 118, Neusu, Banda Aceh. Kamera tak lupa ia tenteng. Suami Siti Kamariah ini terus berjalan dan merekam kondisi di sekitarnya. Namun, begitu tiba-tiba air menerjang, ia berlari menuju masjid dan berlindung di sana. Dari atas tempat wudu, kameranya terus merekam prahara itu.
Begitu air surut, Hasyim pergi ke rumah abangnya, Munawar, di kawasan Lam Ateuk, Banda Aceh, yang luput dari tsunami. Di sana, dia menitipkan kameranya. Setelah itu, ia pergi menemui anak-istrinya yang tengah berkunjung ke Sigli, Kabupaten Pidie.
Munawar kemudian menyerahkan kaset rekaman Hasyim kepada salah satu stasiun televisi swasta untuk disiarkan. Dan, antara lain, karena lewat karya Hasyim itulah kabar tsunami tersebar ke penjuru dunia.
Hasyim, yang juga bekerja sebagai editor TVRI Aceh, lalu menerima uang pengganti dari stasiun televisi tersebut. Kelak dia juga mendapat kompensasi dari Museum Nasional Taman Mini Indonesia Indah, yang menyimpan kameranya. Nama Hasyim pun dikenal luas. Dia diwawancarai media massa nasional dan internasional. "Ada yang dari Jepang, Inggris, Jerman, dan lainnya," ujar Hasyim saat ditemui di Lhoong Raya, Aceh Besar, akhir bulan lalu.
Dia mengakui, sejak itu, namanya kian dikenal orang. Dan itu berimbas pada usahanya yang semakin laris. Hasyim, 44 tahun, kini memiliki dua karyawan untuk membantu usaha sampingannya itu. Di rukonya, sang istri juga berdagang baju. Bersama dua anaknya, mereka lebih banyak tinggal di ruko ketimbang di rumahnya di kawasan Perumnas Mesra Agung, Keutapang, Aceh Besar.
Sepuluh tahun berlalu, dan Hasyim mengaku masih sering menyaksikan rekaman karyanya. "Ada juga kawan-kawan yang meminta copy, untuk melihat-lihat."
Nama lain yang juga mendunia setelah merekam tsunami adalah Cut Putri. Ketika peristiwa itu terjadi, Putri dan keluarganya tengah mengunjungi pamannya, Komisaris Besar Sayed Hoesainy, di Lamjamee, Banda Aceh. Putri datang membawa kamera miniDV untuk merekam acara pernikahan ngunduh mantu sepupunya.
Pagi itu, saat ia mengikuti acara tueng daro baro, tiba-tiba terjadi gempa, dan mereka serabutan keluar dari rumah. Namun, begitu gulungan air menerjang, semuanya kembali masuk ke dalam dan naik ke lantai dua.
Dari lantai dua, ia terus merekam kejadian itu. Setelah air surut, mereka berusaha menuju bandar udara. Kamera Putri tetap merekam keadaan sekitar.
Tapi keluarga itu tak langsung bisa segera meninggalkan Banda Aceh. Baru dua hari kemudian ada pesawat yang menerbangkan mereka ke Ibu Kota. Setiba mereka di Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, banyak orang heran melihat kondisi mereka. "Saya tiba dengan pakaian yang sama sejak tsunami, berlumuran darah, terkena lumpur, dan tanpa alas kaki," tulis Putri dalam surat elektroniknya kepada Tempo.
Melihat keheranan orang, Putri memahami tak banyak yang tahu kondisi Aceh. Ia lantas menyerahkan rekamannya kepada Metro TV untuk ditayangkan. Karya Putri ini menjadi video amatir pertama yang disiarkan di televisi. Ikhtiar Putri tidak sia-sia. Rekaman itu segera menyedot perhatian publik Tanah Air dan dunia. Perhatian ke Aceh semakin besar.
Kelak Putri mendirikan lembaga swadaya masyarakat Cut Putri Foundation untuk membantu korban tsunami Aceh. Ia mengaku hidupnya tak banyak berubah, meski namanya sempat populer. Toh, Putri merasa tidak banyak yang tahu siapa perekam kejadian tersebut. "(Tapi) itu tidak penting bagi saya. Saya hanya pengemban amanah Allah," ujarnya.
Karya Putri menjadi abadi karena tayangan itu kini bisa disimak di ruang pemutaran film di Museum Aceh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo