Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bekas pemakaman dan tapak bangunan itu terserak di pantai Ujong Pancu, Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar. Ketika laut mulai pasang pada pagi hari, sisa-sisa peradaban ini terendam air—hingga satu kilometer, jika dihitung dari bibir pantai.
"Sebelum tsunami tahun 2004, sebagian pesisir itu masih dihuni warga," kata Lukman, nelayan setempat, kepada Tempo, akhir bulan lalu. Selain rumah-rumah nelayan, di lokasi yang sama terdapat makam kuno dan Masjid Indrapurwa, yang berdiri di atas sebuah pura Hindu. Semuanya hancur oleh gelombang tsunami. Kini warga yang selamat pindah ke perkampungan yang letaknya lebih tinggi.
Ujong Pancu disebut-sebut sebagai bagian dari kota kuno Indrapurwa. "Kami menyebutnya the lost city," ujar Nazli Ismail, dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Syiah Kuala yang melakukan penelitian tentang kerajaan-kerajaan masa silam yang runtuh oleh tsunami. Nazli menjelaskan, tiga kali tsunami datang menyapu, tiga kali perpindahan permukiman terjadi di wilayah ini. Tsunami sebelumnya terjadi pada 1390 dan 1450.
Riset lainnya dilakukan E. Edwards McKinnon, peneliti di Research Associate Institute of Southeast Asian Studies, Singapura. Dia mengutip sumber-sumber Arab yang menyebutkan Fansur dan Lamri, dua kerajaan yang letaknya berdekatan di utara pulau Sumatera. Dalam teks Arab Aja'ib al-Hind, yang disusun sekitar tahun 1.000 Masehi, terdapat sebuah cerita tentang anak kapal yang kandas di Fansur.
Dalam paper yang bertajuk "Sejarah Aceh Sebelum Kesultanan", McKinnon menyebut Ujong Pancu sebagai pelabuhan Kerajaan Fansur. Kerajaan ini pernah diulas oleh Ahmad Ibnu Majid dalam laporan perjalanannya bersama Vasco da Gama, pelaut Portugis, pada 1462.
Ibnu Majid—seperti dikutip Tibbets G.R. (1979) dan McKinnon—juga menunjukkan bahwa pantai Aceh Besar dihancurkan oleh gempa dan dua tsunami pada 1390 dan 1450. Setelah tsunami kedua itulah Pancu menghilang. Danny Hilman, ahli ilmu kebumian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menambahkan, tsunami besar sebelumnya melanda Aceh pada tahun 960. Angka itu berdasarkan risetnya dengan melihat atau mengebor terumbu karang.
Bagaimana dengan Kerajaan Lamuri? Naskah Kertagama Prapanca menyinggung keberadaan kerajaan ini. Sumber-sumber Arab dari abad ke-9, sumber India dari abad ke-11, dan Cina dari abad ke-13 menyebutkan nama Lamreh dalam berbagai pengucapan: Rami, Ramni, Lamuri, dan Lan-wu-li.
Kini di wilayah pesisir terdapat Desa Lamreh, di Kecamatan Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, dengan jejak jalan dalam Benteng Kuta Lubok dan makam kuno. Keberagaman pecahan tembikar yang ditemukan di sekitar lokasi menunjukkan kawasan itu pernah jadi persinggahan para pedagang dari mancanegara, terutama Tiongkok dan Vietnam.
Di kawasan pesisir yang sama, 500 meter dari Benteng Kuta Lubok, ada reruntuhan Benteng Inong Bale, yang tersusun dari batu karang, kokoh menghadap pantai. Dari penggalian di sekitar benteng, ditemukan pecahan keramik dan sumur tua. "Kedua benteng itu, Kuta Lubok dan Inong Bale, diperkirakan sisa peninggalan Kerajaan Lamuri, yang pernah ada di Aceh sekitar abad ke-9," kata Nazli.
Pada 2010, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Singapore Earth Observatory (SEO/NTU) melakukan penggalian teratur di pinggir pantai Lhok Cut dan Lhok Lubok, sebelah barat laut dari Benteng Kuta Lubok. Di Lhok Cut, ditemukan banyak tembikar dan keramik Cina dari masa Yuan. Di pantai Lubok, tim menemukan sisa-sisa lapisan karang dalam tebing pantai yang telah hancur seperti kerikil. Karang itu dianalisis di laboratorium dan diperoleh bukti bahwa telah ada tsunami kuno yang menghantam pantai ini pada 1450.
Pada awal 2011, ada yang membuka lahan di Lhok Cut dengan buldoser. Pembukaan lahan ini langsung menunjukkan ada bekas permukiman kuno dari abad ke-13 atau ke-14 Masehi. McKinnon dan Deddy Satria, arkeolog di Banda Aceh, menemukan banyak beling kuno, pecahan kaca kuno dari India Selatan, serta jenis-jenis tembikar yang dibuat di beberapa lokasi di India dan Sri Lanka.
Universitas Syiah Kuala bersama peneliti dari SEO dan LIPI selama beberapa tahun terakhir melakukan penggalian di sekitar pantai Krueng Raya. "Kami menemukan dua pelapisan tsunami di sekitar lokasi benteng itu. Jejak pertama berasal dari tsunami yang terjadi akhir 1300 dan satu lagi pertengahan 1450," ucap Nazli.
Mereka juga menemukan jejak tsunami hebat yang berulang kali melanda pantai Aceh. Di Lhok Cut dan Ujung Batee Kapal, Kecamatan Mesjid Raya, misalnya, ditemukan sisa bangunan kuno terkubur pasir hingga kedalaman 3,8 meter, keramik-keramik, dan sumur kuno. Di setiap temuan artefak, kata Nazli, ada lapisan endapan tsunami.
Selain di dua tempat itu, jejak tsunami yang berhubungan dengan kehidupan masa lalu diteliti di wilayah Kampung Pande, Banda Aceh. Di sini ditemukan banyak jejak kehancuran kota yang diduga berhubungan dengan tsunami masa lalu. Bukti diperkuat oleh penemuan koin emas di Kampung Pande pada akhir 2013. Tsunami yang terjadi di masa itu diduga ikut mempengaruhi sejarah perpindahan pusat kerajaan masa lampau.
Ahli geologi menjelaskan, pantai Aceh Besar terletak di antara dua cabang dari garis Patahan Sumatera atau Sumatra Fault. Satu cabang sesar atau patahan sebelah barat yang mengarah ke Pulau Weh masuk ke laut di Lhok Lambaro Neujid. Satu lagi, sebelah timur, masuk ke laut di dekat pelabuhan Malahayati, yaitu di Krueng Raya.
Patahan merupakan salah satu sumber pemicu gempa. Walhasil, wilayah ini tidak stabil dan mengalami penurunan atau amblesan. Hal itu sudah terlihat di Ujong Pancu. Setelah Fansur dan Lamri runtuh, beberapa abad kemudian muncul Kerajaan Samudera Pasai atau Kesultanan Pasai. Kerajaan ini didirikan oleh Marah Silu, yang bergelar Sultan Malik as-Saleh, sekitar tahun 1267 di Kota Lhokseumawe dan Aceh Utara. Dalam buku sejarah disebutkan kerajaan ini runtuh oleh serangan Portugis pada 1521.
Namun, dalam risetnya yang mencatat terjadinya tsunami pada 1390 dan 1450, Danny Hilman mengisyaratkan versi lain kehancuran kerajaan ini. "Sejarah terputus secara misterius dari Pasai ke Kesulatan Aceh," tuturnya. Boleh jadi bencana itu melumpuhkan kerajaan sehingga, ketika Portugis masuk, mereka langsung mengambil alih pemerintahan.
Pada 1514, Sultan Alaidin Ali Mughaiyat Syah mendirikan Kesultanan Aceh. Lokasi kerajaan berada di bekas Kerajaan Fansur dan Lamri. Penguasa terakhir Kesultanan Aceh adalah Sultan Muhammad Daud Syah, yang memerintah pada 1874-1903.
"Peradaban berkembang pelan-pelan, tapi kemudian ada yang dihajar bencana," ujar Danny, yang menjadi anggota Tim Bencana Katastropik Purba. Menurut dia, tsunami yang terjadi pada 1390 dan 1450 memunculkan istilah ieu beuna, yang berarti air bah besar. Di Simeulue, bencana itu melahirkan istilah smong.
Nazli berharap pemerintah dan perguruan tinggi terus meneliti untuk melengkapi data tentang tsunami yang pernah melanda Aceh. "Sebenarnya Aceh adalah museum terbesar tentang tsunami. Kami terus mencari bukti untuk pembelajaran dan transfer pengetahuan ke masyarakat," ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo