Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HANYA dua jam setelah dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Jaksa Agung, Kamis sore pekan lalu, Prasetyo dua kali menghadap Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh. Ia datang pertama kali segera setelah pelantikan usai di Istana Kepresidenan. Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum itu menemui tuan rumah di lantai lima kantor NasDem, Gondangdia, Jakarta Pusat.
Prasetyo masih memakai seragam kebesaran korps Adhyaksa yang dia kenakan sewaktu pelantikan. Begitu Prasetyo datang, sekitar selusin pengurus partai berebut menyalaminya di lobi gedung. Beberapa petugas pengamanan pun mengajak Prasetyo berfoto bersama. Selepas magrib, ia datang lagi ke kantor itu.
"Saya tak datang ke Istana. Saya menunggu di sini saja," kata Surya Paloh kepada Tempo, yang menemuinya di gedung itu, setelah menerima kedatangan kedua Prasetyo.
Menurut Surya, Prasetyo hari itu bolak-balik ke kantor NasDem untuk mengurusi pengunduran diri dari partai. Prasetyo bergabung dengan NasDem pada 2011, ketika partai itu masih berstatus organisasi kemasyarakatan. Sewaktu NasDem resmi menjadi partai politik, pada 2013, Prasetyo menjadi anggota Mahkamah Partai, antara lain bersama pengacara O.C. Kaligis. Ia kemudian terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019.
Gara-gara sibuk dengan urusan partai, Prasetyo batal menyapa pegawai Kejaksaan Agung. Padahal para anggota staf Kejaksaan menunggunya hingga malam. Esok harinya, Prasetyo baru mendatangi kompleks Kejaksaan Agung, yang dia tinggalkan ketika pensiun pada 2006. "Ada urusan administrasi yang harus saya selesaikan dulu," ujar Prasetyo, 67 tahun, Jumat pekan lalu.
Lulus Fakultas Hukum Universitas Lampung pada 1971, Prasetyo mulai bekerja di Bagian Keuangan dan Materiil Kejaksaan Negeri Bengkulu pada 1973. Perjalanan karier Prasetyo lebih banyak di bidang kepegawaian dan intelijen kejaksaan. Jabatan penting yang pernah dia pegang antara lain Kepala Kejaksaan Tinggi Nusa Tenggara Timur (1999-2000) dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (2003-2005).
Pengacara senior di Makassar, Faisal Silenang, menilai kinerja Prasetyo selama menjabat kepala kejaksaan tinggi biasa-biasa saja. "Tak ada hal mengejutkan," kata Faisal. Meski begitu, Faisal menghargai Prasetyo yang menuntaskan sejumlah kasus korupsi. Misalnya kasus korupsi pembelian kapal motor Taka Bonerate senilai Rp 6 miliar yang menyeret Bupati Selayar Akib Patta dan bekas Ketua DPRD Selayar Ince Langke.
Ketika menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Umum, pada 2005-2006, Prasetyo malah sempat disorot saat menangani perkara narkotik. Pada 2005, Kejaksaan membuat tuntutan janggal atas dua terdakwa yang diajukan ke pengadilan dengan barang bukti sabu-sabu 20 kilogram.
Satu terdakwa, Ricky Chandra, dituntut hukuman seumur hidup. Sedangkan terdakwa lain, Hariono Agus Tjahjono, hanya dituntut tiga tahun penjara. Jaksa Agung Abdurrahman Saleh membentuk tim khusus untuk meneliti kejanggalan tuntutan itu. Namun jejak peran Prasetyo tak ditemukan.
Kasus kontroversial lain adalah eksekusi hukuman mati Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron. Waktu itu, Kejaksaan Agung dituding mengulur waktu eksekusi terpidana kasus teror bom Bali 2002 tersebut. Sebaliknya, Kejaksaan dianggap mempercepat hukuman mati atas Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva--terpidana kasus konflik Poso, Sulawesi Tengah.
Setelah pensiun, pada 2007, Prasetyo pernah melamar sebagai calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi. Namun dia tidak lolos seleksi. Ketika bergabung dengan Partai NasDem, Prasetyo kembali menemukan jalan lapang. Pada Oktober lalu, lelaki kelahiran Tuban itu dilantik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat mewakili daerah pemilihan Demak, Jepara, dan Kudus. Namun kursi di Senayan pun tak lama dia tempati.
Prasetyo menyisihkan lima nama yang sempat disebut-sebut sebagai calon pengganti Basrief Arief. Mereka adalah Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Widyopramono, Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf, Deputi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Mas Achmad Santosa, serta mantan Ketua PPATK Yunus Husein.
Sebelum digadang-gadang Partai NasDem, nama Prasetyo jarang muncul di media. Karier panjang Prasetyo di Kejaksaan tak cukup mengangkat popularitas dia bila dibandingkan dengan kelima pesaingnya. Meski begitu, sejak awal, Prasetyo memiliki dukungan politik paling konkret dibanding kandidat lain.
Andhi Nirwanto dan Widyopramono, misalnya, memang pernah disebut sebagai kandidat yang mumpuni oleh mantan Jaksa Agung Basrief Arief. Beberapa politikus senior PDI Perjuangan pun mengembuskan kedua nama itu. Namun partai banteng tak pernah memberikan dukungan resmi kepada mereka.
Tiga kandidat lain, Mas Achmad Santosa Yunus Husein, dan M. Yusuf, juga jauh lebih populer ketimbang Prasetyo. Tapi nama mereka hanya beredar di media massa dan kalangan aktivis antikorupsi.
Beberapa pengurus pusat Partai NasDem menuturkan, dukungan partai terhadap Prasetyo kian menguat ketika Presiden Jokowi menunda-nunda pengumuman susunan kabinetnya. "Kami melihat ada celah," kata politikus itu. Kebetulan, pada saat yang sama, di lingkup internal Kejaksaan Agung pun muncul sentimen menolak calon dari luar. "Partai memaksimalkan peluang itu," ujarnya. Caranya, setiap ada kesempatan bertemu dengan Presiden, pimpinan Partai NasDem menjelaskan bahwa Prasetyo punya kapasitas mumpuni dan paling diterima di lingkup internal Kejaksaan.
Surya Paloh membantah mendesak Jokowi mengangkat Prasetyo. Sampai pertemuan terakhir pada malam hari sebelum pelantikan, menurut dia, yang dibicarakan hanya "komitmen Partai NasDem untuk memberikan kader berkualitas dalam pemerintahan." "Waktu Pak Jokowi meminta pertimbangan, saya memberi masukan," kata Surya. "Tapi tidak spesifik menyebut Pak Prasetyo."
Prasetyo terus melaju. "Gangguan" kecil datang menjelang pelantikan dia pada Kamis pekan lalu. Acara tertunda satu jam lebih. Semula, Menteri Sekretaris Negara Andi Widjajanto mengumumkan pelantikan akan digelar pada pukul 14.00. Prasetyo pun bersiap untuk dilantik tepat waktu. Memakai seragam lengkap jaksa, dia berdiri di depan mikrofon di tengah aula utama Istana Negara. Beberapa pejabat negara terlihat berjejer rapi di pinggir aula.
Dua puluh menit kemudian, Prasetyo dibisiki seorang anggota staf Istana. Dia pun meminggir, menghampiri Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali dan Menteri dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Adapun Jokowi baru tiba di lokasi pelantikan pada pukul 15.30, ketika sebagian hadirin sudah meninggalkan aula.
Siang itu, sempat beredar kabar bahwa pelantikan ditunda karena ada yang mencoba membatalkan pilihan Jokowi di menit akhir. Namun penjelasan Andi Widjajanto menepis spekulasi itu. Menurut dia, Jokowi terlambat datang karena berdialog dulu dengan puluhan relawan.
Di luar Istana, para pegiat antikorupsi terus mempersoalkan pengangkatan Prasetyo. Koordinator Bidang Politik Indonesia Corruption Watch Donal Faris, misalnya, menyebut penunjukan Prasetyo sebagai "blunder" yang dibuat Jokowi. Setelah dipimpin orang partai, menurut dia, penegakan hukum di Kejaksaan Agung rawan diintervensi atau bahkan disandera kepentingan politik.
Prasetyo tak mau menanggapi penilaian negatif tentang dirinya. "Hak mereka untuk meragukan. Tapi tolong beri saya kesempatan," ujarnya. Lalu bagaimana ia akan melepaskan diri dari kepentingan politik? Dia menjawab, "Lihat saja nanti."
Jajang Jamaludin, Istman M.P., Prihandoko, Ananda Teresia, Akbar Hadi (Makassar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo