Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Karena berbeda tempat tegak

Pengarang: karl j. pelzer 's gravenhage: martinus nighoff resensi oleh: s.i poeradisastra. (bk)

12 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PLANTERS AGAINST PEASANTS the Agrarian Struggle in East Sumatra 1947 - 1958 Verhandeling van het Koninklijk Instituut voor Tall - Land - en Volkenkunde no 97 (tahun 1982) Oleh: Karl J. Peker (almarhum) XVII + 186 h. (termasuk indeks), 21 x 16 cm Diterbitkan oleh Martinus Nijhoff, 's-Gravenhage ADA tokoh bernama Moehammad Saleh Oemar Hasiboean, alias M.S. Soerapati. Ia ini pejuang politik di Sumatera Timur: PNI dan Partindo sebelum Perang Dunia II dan PNI setelah 1946. Juga wakil residen hingga Desember 1949. Kemudian anggota DPR-RIS, DPR-RI, dan DPR-GR setelah 1950. Bersama Jacoeb Siregar, ia tercatat sebagai tokoh yang berhadapan dengan dua kumpulan kaum pengusaha. Yakni: Perhimpunan Umum Pengusaha Perkebunan Karet (AVROS, Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust van Sumatra) dan Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Tembakau (DPV, Deli Planters Vereeniging). Tapi M.S. Soerapati, maupun Siregar, bukanlah satu-satunya. Sebelum itu musuh AVROS dan DPV adalah dokter (merangkap wartawan) Abdoel Rivai dan pengacara (merangkap wartawan) Mr. Iwa Koesoemasoemantri. Dan, di samping mereka berpuluh-puluh kaum politik pernah berurusan dengan polisi dan pengadilan - gara-gara AVROS dan DPV. Betapa tidak. Kedua kumpulan berduit itu dapat membuat gubernur, reslden dan asisten residen dipindahkan atau dibebastugaskan kalau berani menentang mereka. (Sumatera Timur dahulu sebuah gubernemen setingkat dengan provinsi). Dibanding dengan mereka, Pamanoekan en Tjiasemlanden yang berpusat di Subang, sebuah tanah partikulir milik Lord Denham, kerabat Kerajaan Ingris, kalah ampuh. AVROS dan DPV adalah dua kekuasaan yang dipersenjatai dengan Koeli Ordonantie berlandaskan poenale sanctie (sejak 8-1-1868, LN no. 8/1868). Ini memberi wewenang mengadili orang - juga kalau 'kesalahan'nya hanya tidak jongkok atau membungkuk ketika bendi 'tuan besar' lewat menaburkan debu. Tapi Jepang memang tak tahu tata krama. Dengan menyerbu Hindia Belanda, ia membuyarkan tertib suci, die heilige Ordnung, AVROS dan DPV - dengan mengambil alih jajahan 'Hindia Timur', termasuk Sumatera Timur, dan mengubah sebagian kaum buruh perkebunan menjadi petani. Lalu, sekali terasa bahwa taraf hidup petani lebih tinggi ketimbang taraf hidup buruh kebun, maka sejak 1950 - kendati ada jaminan Perjanjian Den Haag (KMB) gejala penghunian liar tanah perkebunan, terutama tembakau, di Sumatera Timur kian meruyak. Sepanjang tahun-tahun NICA, RECOMBA dan 'Negara' Sumatera Timur denan kekuasaan mereka yang besar, masalah itu tak pernah dapat nereka selesaikan. Setelah RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950, dan RI meliputi pula bekas wilayah NST, berlangsung suatu proses peralihan dari perjuangan bersenjata ke perjuangan mengisi kemerdekaan dengan harapan perbaikan sosial-ekonomi. Karena adanya kesenjangan besar dalam peluang mencari nafkah antara di desa dan di kota, di kalangan pemuda desa - terutama yang pernah menggabungkan diri ke badan perjuangan bersenjata dan tentara - terdapat kecenderungan kuat pindah ke kota. Namun sesampai di kota mereka sukar mendapat kerja. Dan karena menanam sayur-mayur, ubi jalar dan jagung dapat menghasilkan uang dalam waktu yang tak berapa lama, lagi pula usaha itu tak memerlukan modal selain tanah dan tenaga, maka tanah berontak digarap) perkebunan menjadi sasaran. Tindakah itu sendiri mulanya tidak berlatar belakang politik. Daerah sasaran adalah jalur Binjai - Medan atau Pematang Siantar - Tebing Tinggi Medan, urat-urat nadi ekonomi bekas Karesidenan Sumatera Timur. aalur Wingfoot Rantau Parapat - Kisaran - Tebing Tinggi sama sekali tidak, sekalipun di sini terdapat perkebunan-perkebunan karet terbesar milik Amerika, Good Year, dan BelandaAmerika, HAPM alias Hollandsch-Amerikaansche Plantage-maatschappij). Barulah dalam mempertahankan tanah terhadap pengambilalihan kembali terdapat pemolitikan. Terutama menjelang pemilihan umum 1955. Itu memang termasuk logika perjuangan golongan nontradisional. Perkembangan kemudian menjadi rumit, karena para bekas pendukung NST memperjuangkan hak eksklusif penduduk asli Sumatera Timur: Melayu dan Batak Simalungun, khusus untuk Kabupaten Simalu ngun. Padahal dahulu hak agraria berdasa hukum adat telah diinjak-injak para sultan. Dalam pada itu susunan kesukuan masyarakat Sumatera Timur telah berubah secara mendasar. Para migran Jawa, mau pun keturunan mereka yang disebut JawaDeli ("jadel"), telah menjadi salah satu penunjang pokok kehidupan ekonomi Sumatera Timur. Orang Batak Toba untuk tenaga terampil menengah dan rendah juga telah tak dapat ditiadakan bagi operasi ekonomi di Sumatera Timur. Usaha meniadakan hak tanah bagi mereka telah menimbulkan reaksi menuntut persamaan konstitusional bagi semua warganegara. Kalau bentrokan-bentrokan agraria di daerah-daerah persekutuan adat seperti Kalimantan dan Aceh dapat dibatasi, di daerat multietnik seperti Sumatera Timur dampak nya lebih keras dan terbuka. Karena in memulangkan sebab penghunian liar tanah perkebunan kepada faktor-faktor etnisita' 'keburukan' suku-suku Batak Toba dar Jawa, sebagaimana merupakan nada dasar buku Prof. Pelzer ini, tak 'kan bertahar terhadap kritik berdasar pengujian faktual Pelzer tak berhasl mengadakan obyektivikasi ilmiah. Sebaliknya memberondongkar statistik-statistik AVKOS yang memang dikenal sebagai tukang sulap statistik. Agaknya boleh pula diharapkan dari pengarang ia tak hanya menyinggung sambil berlari gejala kontroversi - antara ekklusivisme hak agraria menurut hukum dat dan kesamaan hak menurut konstitusi . yang secara emosional mewarnai sikap para penghuni liar, yang selain bekas buruh perkebunan kebanyakan juga bekas pejuang bersenjata Republik. Selanjutnya Prof. Pelzer kurang mendalami latar belakang sejarah Sumatera Timur 1942-1949. Perlu diketahui, mengapa khusus di Sumatera Timur terjalin kerja sama antara kaum tani Indonesia dan Tionghoa. Kelompok petani Tionghoa di Lubuk Pakam dan Tanjung Morawa tergabung dalam Organisasi Buruh dan Tani Tionghoa, yang pada 1945-1949 membantu infiltran-infiltran Republik ke daerah pendudukan Belanda. Juga para pemimpinnya, seperti Goh Sek Liu dan Tan Boen Tjoan, aktif membantu mencari senjata bagi Republik ketika kaum Republikein bertempur melawan Belanda dan NST. Dengan demikian perjuangan melawan DPV dan AVROS, dalam mempertahankan tanah yang digarap kaum tani, secara emosional mengundang kembalinya sentimen lama antikolonial. Karena tidak ditunjang wawancara dan kuesioner dengan seluas mungkin golongan masyarakat, dan karena menggunakan terutama bahan-bahan tertulis yang selektif secara sepihak, akhirnya studi Prof. Pelzer memberikan pembenaran bagi sikap DPV/ AVROS. Ia kurang mampu memahami rumitnya situasi yang dihadapi pemerintah Republik di Sumatera Timur pada kurun 1950-1958, yang tak dijumpai di daerah-daerah lain karena, sebagaimana ada dikatakan M.S. Soerapati, terdapat perbedaan tempat tegak antara kaura Republikein di Sumatera Timur dn Prof. Pe1zer yang wafat 9 November 1980. Sayang karena itu tak dapat dikembangkan suatu dialog dengan penulis itu. Dari kelemahan buku Almarhum ini, dapat disimpulkan betapa sulitnya kedudukan para sarjana ilmu sosial jika menghadapi soal kontroversial dari masa yang sedang berlangsung atau yang belum lama berlalu. Disadari atau tidak, bahkan juga tanpa iktikad yang keliru, mereka dapat tergelincir ke dalam penafsiran berpihak, bahkan kadang emosional. Misalnya dalam studi ini Pelzer telah memvonis Singgih Praptodihardjo, seorang pegawai tinggi Kementerian (setelah 1959: Departemen) Agraria, dan Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin. Singgih anggota PNI, dan dalam kenyataan kebijaksanaannya diteruskan pula semasa Kabinet Boerhanoeddin Harahap, SH. Amin dikenal karena moderasinya, dan ia orang tak berparhi. 'Vonis' itu memperlihatkan sikap tak berhati-hati. Kata penantar Prof. Clifford Geertz dari Institute of Advanced Study, Princeton University, New Jersey, AS, enak dibaca. Kata pengantar itu menekankan arti penting bekas Karesidenan Sumatera Timur ditinjau dari sudut ekonomi. Hanya yang disebutnya semboyan "interalisme Soekarno yang semakin militan" bukanlah "one nation, one language, one people" sebagaimana ditulisnya. Melainkan "satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa persatuan", yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Konon buku ini akan diterbitkan terjemahan Indonesianya, dengan kata pengantar cukup luas dan catatan-catatan seperlunya. Terbitan tersebut dilakukan dalam rangka kerja sama dengan Lembaga Kerajaan untuk Ilmu Bahasa, Ilmu Bumi dan Anthropologi (Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) di Negeri Belanda. S.I. Poeradisastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus