PLANTERS AGAINST PEASANTS the Agrarian Struggle in East Sumatra
1947 - 1958 Verhandeling van het Koninklijk Instituut voor Tall
- Land - en Volkenkunde no 97 (tahun 1982)
Oleh: Karl J. Peker (almarhum)
XVII + 186 h. (termasuk indeks), 21 x 16 cm
Diterbitkan oleh Martinus Nijhoff, 's-Gravenhage
ADA tokoh bernama Moehammad Saleh Oemar Hasiboean, alias M.S.
Soerapati. Ia ini pejuang politik di Sumatera Timur: PNI dan
Partindo sebelum Perang Dunia II dan PNI setelah 1946. Juga
wakil residen hingga Desember 1949. Kemudian anggota DPR-RIS,
DPR-RI, dan DPR-GR setelah 1950. Bersama Jacoeb Siregar, ia
tercatat sebagai tokoh yang berhadapan dengan dua kumpulan kaum
pengusaha. Yakni: Perhimpunan Umum Pengusaha Perkebunan Karet
(AVROS, Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Oostkust
van Sumatra) dan Perkumpulan Pengusaha Perkebunan Tembakau (DPV,
Deli Planters Vereeniging).
Tapi M.S. Soerapati, maupun Siregar, bukanlah satu-satunya.
Sebelum itu musuh AVROS dan DPV adalah dokter (merangkap
wartawan) Abdoel Rivai dan pengacara (merangkap wartawan) Mr.
Iwa Koesoemasoemantri. Dan, di samping mereka berpuluh-puluh
kaum politik pernah berurusan dengan polisi dan pengadilan -
gara-gara AVROS dan DPV. Betapa tidak. Kedua kumpulan berduit
itu dapat membuat gubernur, reslden dan asisten residen
dipindahkan atau dibebastugaskan kalau berani menentang mereka.
(Sumatera Timur dahulu sebuah gubernemen setingkat dengan
provinsi).
Dibanding dengan mereka, Pamanoekan en Tjiasemlanden yang
berpusat di Subang, sebuah tanah partikulir milik Lord Denham,
kerabat Kerajaan Ingris, kalah ampuh. AVROS dan DPV adalah dua
kekuasaan yang dipersenjatai dengan Koeli Ordonantie
berlandaskan poenale sanctie (sejak 8-1-1868, LN no. 8/1868).
Ini memberi wewenang mengadili orang - juga kalau 'kesalahan'nya
hanya tidak jongkok atau membungkuk ketika bendi 'tuan besar'
lewat menaburkan debu.
Tapi Jepang memang tak tahu tata krama. Dengan menyerbu Hindia
Belanda, ia membuyarkan tertib suci, die heilige Ordnung, AVROS
dan DPV - dengan mengambil alih jajahan 'Hindia Timur', termasuk
Sumatera Timur, dan mengubah sebagian kaum buruh perkebunan
menjadi petani.
Lalu, sekali terasa bahwa taraf hidup petani lebih tinggi
ketimbang taraf hidup buruh kebun, maka sejak 1950 - kendati ada
jaminan Perjanjian Den Haag (KMB) gejala penghunian liar tanah
perkebunan, terutama tembakau, di Sumatera Timur kian meruyak.
Sepanjang tahun-tahun NICA, RECOMBA dan 'Negara' Sumatera Timur
denan kekuasaan mereka yang besar, masalah itu tak pernah dapat
nereka selesaikan.
Setelah RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950, dan RI meliputi
pula bekas wilayah NST, berlangsung suatu proses peralihan dari
perjuangan bersenjata ke perjuangan mengisi kemerdekaan dengan
harapan perbaikan sosial-ekonomi. Karena adanya kesenjangan
besar dalam peluang mencari nafkah antara di desa dan di kota,
di kalangan pemuda desa - terutama yang pernah menggabungkan
diri ke badan perjuangan bersenjata dan tentara - terdapat
kecenderungan kuat pindah ke kota.
Namun sesampai di kota mereka sukar mendapat kerja. Dan karena
menanam sayur-mayur, ubi jalar dan jagung dapat menghasilkan
uang dalam waktu yang tak berapa lama, lagi pula usaha itu tak
memerlukan modal selain tanah dan tenaga, maka tanah berontak
digarap) perkebunan menjadi sasaran. Tindakah itu sendiri
mulanya tidak berlatar belakang politik.
Daerah sasaran adalah jalur Binjai - Medan atau Pematang Siantar
- Tebing Tinggi Medan, urat-urat nadi ekonomi bekas Karesidenan
Sumatera Timur. aalur Wingfoot Rantau Parapat - Kisaran - Tebing
Tinggi sama sekali tidak, sekalipun di sini terdapat
perkebunan-perkebunan karet terbesar milik Amerika, Good Year,
dan BelandaAmerika, HAPM alias Hollandsch-Amerikaansche
Plantage-maatschappij). Barulah dalam mempertahankan tanah
terhadap pengambilalihan kembali terdapat pemolitikan. Terutama
menjelang pemilihan umum 1955. Itu memang termasuk logika
perjuangan golongan nontradisional.
Perkembangan kemudian menjadi rumit, karena para bekas pendukung
NST memperjuangkan hak eksklusif penduduk asli Sumatera Timur:
Melayu dan Batak Simalungun, khusus untuk Kabupaten Simalu ngun.
Padahal dahulu hak agraria berdasa hukum adat telah
diinjak-injak para sultan.
Dalam pada itu susunan kesukuan masyarakat Sumatera Timur telah
berubah secara mendasar. Para migran Jawa, mau pun keturunan
mereka yang disebut JawaDeli ("jadel"), telah menjadi salah satu
penunjang pokok kehidupan ekonomi Sumatera Timur. Orang Batak
Toba untuk tenaga terampil menengah dan rendah juga telah tak
dapat ditiadakan bagi operasi ekonomi di Sumatera Timur. Usaha
meniadakan hak tanah bagi mereka telah menimbulkan reaksi
menuntut persamaan konstitusional bagi semua warganegara.
Kalau bentrokan-bentrokan agraria di daerah-daerah persekutuan
adat seperti Kalimantan dan Aceh dapat dibatasi, di daerat
multietnik seperti Sumatera Timur dampak nya lebih keras dan
terbuka. Karena in memulangkan sebab penghunian liar tanah
perkebunan kepada faktor-faktor etnisita' 'keburukan' suku-suku
Batak Toba dar Jawa, sebagaimana merupakan nada dasar buku Prof.
Pelzer ini, tak 'kan bertahar terhadap kritik berdasar pengujian
faktual Pelzer tak berhasl mengadakan obyektivikasi ilmiah.
Sebaliknya memberondongkar statistik-statistik AVKOS yang
memang dikenal sebagai tukang sulap statistik.
Agaknya boleh pula diharapkan dari pengarang ia tak hanya
menyinggung sambil berlari gejala kontroversi - antara
ekklusivisme hak agraria menurut hukum dat dan kesamaan hak
menurut konstitusi . yang secara emosional mewarnai sikap para
penghuni liar, yang selain bekas buruh perkebunan kebanyakan
juga bekas pejuang bersenjata Republik.
Selanjutnya Prof. Pelzer kurang mendalami latar belakang sejarah
Sumatera Timur 1942-1949. Perlu diketahui, mengapa khusus di
Sumatera Timur terjalin kerja sama antara kaum tani Indonesia
dan Tionghoa. Kelompok petani Tionghoa di Lubuk Pakam dan
Tanjung Morawa tergabung dalam Organisasi Buruh dan Tani
Tionghoa, yang pada 1945-1949 membantu infiltran-infiltran
Republik ke daerah pendudukan Belanda.
Juga para pemimpinnya, seperti Goh Sek Liu dan Tan Boen Tjoan,
aktif membantu mencari senjata bagi Republik ketika kaum
Republikein bertempur melawan Belanda dan NST. Dengan demikian
perjuangan melawan DPV dan AVROS, dalam mempertahankan tanah
yang digarap kaum tani, secara emosional mengundang kembalinya
sentimen lama antikolonial.
Karena tidak ditunjang wawancara dan kuesioner dengan seluas
mungkin golongan masyarakat, dan karena menggunakan terutama
bahan-bahan tertulis yang selektif secara sepihak, akhirnya
studi Prof. Pelzer memberikan pembenaran bagi sikap DPV/ AVROS.
Ia kurang mampu memahami rumitnya situasi yang dihadapi
pemerintah Republik di Sumatera Timur pada kurun 1950-1958,
yang tak dijumpai di daerah-daerah lain karena, sebagaimana ada
dikatakan M.S. Soerapati, terdapat perbedaan tempat tegak antara
kaura Republikein di Sumatera Timur dn Prof. Pe1zer yang wafat 9
November 1980. Sayang karena itu tak dapat dikembangkan suatu
dialog dengan penulis itu.
Dari kelemahan buku Almarhum ini, dapat disimpulkan betapa
sulitnya kedudukan para sarjana ilmu sosial jika menghadapi soal
kontroversial dari masa yang sedang berlangsung atau yang belum
lama berlalu. Disadari atau tidak, bahkan juga tanpa iktikad
yang keliru, mereka dapat tergelincir ke dalam penafsiran
berpihak, bahkan kadang emosional.
Misalnya dalam studi ini Pelzer telah memvonis Singgih
Praptodihardjo, seorang pegawai tinggi Kementerian (setelah
1959: Departemen) Agraria, dan Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M.
Amin. Singgih anggota PNI, dan dalam kenyataan kebijaksanaannya
diteruskan pula semasa Kabinet Boerhanoeddin Harahap, SH. Amin
dikenal karena moderasinya, dan ia orang tak berparhi. 'Vonis'
itu memperlihatkan sikap tak berhati-hati.
Kata penantar Prof. Clifford Geertz dari Institute of Advanced
Study, Princeton University, New Jersey, AS, enak dibaca. Kata
pengantar itu menekankan arti penting bekas Karesidenan Sumatera
Timur ditinjau dari sudut ekonomi. Hanya yang disebutnya
semboyan "interalisme Soekarno yang semakin militan" bukanlah
"one nation, one language, one people" sebagaimana ditulisnya.
Melainkan "satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa persatuan",
yakni Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.
Konon buku ini akan diterbitkan terjemahan Indonesianya, dengan
kata pengantar cukup luas dan catatan-catatan seperlunya.
Terbitan tersebut dilakukan dalam rangka kerja sama dengan
Lembaga Kerajaan untuk Ilmu Bahasa, Ilmu Bumi dan Anthropologi
(Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde) di
Negeri Belanda.
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini