Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA hari sudah Maria Elisa membelah ganasnya lautan menuju perairan Selat Makassar. Bertolak dari timur Kota Semarang, Jawa Tengah, kapal dagang dengan awak kapal berkebangsaan Jepang itu membawa 17 warga Indonesia. Hari itu menjelang petang pada pengujung tahun 1952.
Tiba-tiba muncul pesawat intai amfibi PBY Catalina, yang mendarat tak jauh dari Maria Elisa. Belasan pemuda berusia sekitar 20 tahun yang belum pernah naik pesawat terbang dan sedang mabuk laut itu turun dari lambung kapal dan berpindah ke Catalina dengan perahu dayung. "Perut kami serasa dikocok-kocok," kata seorang di antara mereka seperti ditulis pengamat intelijen militer Kenneth J. Conboy dalam bukunya, Intel: Inside Indonesia's Intelligence Service.
Menurut Conboy, para pemuda itu dibawa ke sebuah hanggar kecil di Pangkalan Udara Clark, Filipina, sekitar 80 kilometer dari Manila. Malamnya, mereka diangkut ke Pulau Saipan, pulau tersembunyi di tengah laut Pasifik Selatan yang sejak 1950 menjadi pangkalan militer Amerika Serikat untuk kawasan Asia-Pasifik. "Di sana sudah menunggu instruktur Central Intelligence Agency, Gilbert Layton," tulis Conboy.
Gilbert Layton, tentara cadangan kavaleri selama Perang Dunia II, ditugasi CIA segera sesudah badan ini dibentuk pada 1947. Dia diminta melatih agen baru dari dua negara sekutu terdekat Amerika di kawasan Pasifik, yaitu Korea dan Taiwan.
Pelatihan itu sebenarnya muskil terjadi tanpa peran Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX. Keduanya menyetujui tawaran Merle Cochran, Duta Besar Amerika untuk Indonesia saat itu, untuk melatih para pemuda Indonesia sebagai agen intelijen. Ini syarat yang sulit, mengingat politik Indonesia berhaluan nonblok. Apalagi sebelumnya kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Soekiman Wirjosandjojo jatuh akibat mosi tidak percaya terkait dengan bantuan militer Amerika.
Merasa butuh kemampuan intelijen strategis, Hatta dan Sultan akhirnya setuju terhadap syarat yang diberikan: bantuan militer hanya akan diberikan jika Indonesia menolak kehadiran komunis. Lagi pula, Cochran berjanji bantuan pelatihan diberikan secara diam-diam.
Jadilah 17 pemuda terpilih dari penyaringan 50 orang yang dianggap potensial oleh Soemitro Kolopaking, bekas Bupati Banjarnegara yang juga orang dekat Hatta. Mereka, salah satunya anak Soemitro yang bernama Purboyo, menurut Ken Conboy, digembleng latihan berat, paramiliter, dan kode morse. "Saya menembakkan lebih banyak peluru di sini dibandingkan dengan lima tahun masa revolusi," kata seorang dari mereka.
Program itu diulang lagi pada 1953 dengan 19 orang selama tiga bulan. Mereka, seperti halnya angkatan Saipan pertama, dikirim ke seluruh Indonesia dengan beragam tugas. Begitu terus hingga 1958. Selain menghadang komunis, belakangan para lulusan Saipan ternyata disiapkan "menggoyang" pemerintah Sukarno melalui Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/Permesta). Namun mereka bubar karena, belum sempat bergerak, pemberontakan itu lebih dulu dihancurkan pemerintah pusat.
Kursus intelijen CIA di Saipan adalah satu dari banyak bantuan Amerika terhadap militer Indonesia sejak 1950. Paul F. Gardner, pejabat dinas luar negeri Amerika yang pernah tinggal di Indonesia, dalam bukunya, 50 Tahun Amerika Serikat- Indonesia, menulis ada 2.800 perwira Indonesia belajar selama 1952-1965. Aneka rupa pendidikan diberikan, dari latihan teknis perang modern dan sekolah komando di Fort Bragg dan Fort Leavenworth, Kansas, hingga belajar manajemen di sejumlah kampus, seperti University of Pittsburgh, Syracuse University, dan Harvard.
Peter Dale Scott, ahli dari University of California, Berkeley, dalam makalahnya di Pacific Affairs pada 1985 menyebutkan lebih dari US$ 10 juta dikucurkan tiap tahun untuk bantuan pelatihan militer Indonesia. Belum lagi bantuan bagi politikus partai, seperti Masyumi dan PSI, pada pertengahan 1950, untuk membendung pengaruh komunis. Khusus Masyumi, tulis Tim Weiner, dalam bukunya, Membongkar Kegagalan CIA, menerima dana US$ 1 juta untuk Pemilihan Umum 1955. "Salah satunya masuk melalui Dokter Soekiman, bekas perdana menteri dari Masyumi," kata Teddy Rusdy, bekas Direktur Badan Intelijen Strategis.
Bantuan kian deras sejak 1958, setelah kegagalan CIA mendongkel Sukarno melalui PRRI/Permesta. Dewan Keamanan Nasional Amerika menyetujui bantuan senilai US$ 20 juta serta merancang pelatihan militer sebagai cara untuk menanamkan pengaruh lebih luas di kalangan tentara dan bersandar kepada mereka untuk mencegah PKI. "Amerika terbiasa berhubungan dengan perwira antikomunis yang dilatih di Leavenworth, yang mengajarkan gaya Amerika secara khusus," ujar Adam Hughes Henry, peneliti asal Australian National University, melalui surat elektronik kepada Tempo.
Banyak perwira itu berada di sektor penting. Salah satunya Ahmad Yani, Kepala Staf Angkatan Darat yang menjadi korban dalam peristiwa 30 September 1965. Yani masuk Forth Leavenworth, Kansas, Amerika, pada 1955 ketika masih letnan kolonel. Selain Yani, ada Kolonel Soewarto, yang lulus pada 1959. Soewarto kemudian menjadi Kepala Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad).
Sejarawan dari Universitas Sanata Dharma, Baskara T. Wardaya, mengatakan Soewarto dikenal dekat dengan Guy J. Pauker, yang bekerja untuk Research and Development (Rand) Corporation sekaligus menjadi konsultan CIA. "Pauker dan Soewarto adalah penghubung Amerika-Indonesia," ucapnya.
Pauker bahkan pernah membawa Soewarto ke Rand pada 1962 dan menawarinya belajar di Universitas Pittsburgh, tempat Achmad Sukendro, orang dekat A.H. Nasution, belajar.
Dikenal sebagai perwira yang kritis terhadap Sukarno, Soewarto dilindungi Ahmad Yani dari pemecatan oleh Sukarno di Bandung. Menjadi Wakil Komandan Seskoad, Soewarto menjadikan sekolah itu sebagai poros perlawanan. Salah satunya membuat para perwira Angkatan Darat yang masuk Seskoad bersiap memompa diri untuk memimpin Indonesia.
Soewarto juga mengubah kurikulum Seskoad, dari yang revolusioner menjadi kontrarevolusi. Sekolah para perwira itu dibuat terbuka, menghadirkan para ekonom, guru besar, dan cendekiawan dari berbagai kampus. Mereka mengajar dan memberikan seminar kepada para perwira tentang bagaimana seharusnya masa depan Indonesia. Salah satu peserta tetap seminar waktu itu adalah Kolonel Soeharto, yang masuk Seskoad pada 1959.
Dale Scott menyebutkan Soewarto mengembangkan doktrin strategi baru di Seskoad, seperti perang teritorial untuk menangani pemberontakan Partai Komunis Indonesia. Juga strategi baru yang disebut "misi sipil", yaitu bagaimana militer, terutama Angkatan Darat, terlibat dalam sejumlah proyek yang berguna bagi masyarakat. Pauker bahkan datang ke Jakarta membantu Soewarto dengan program Military Training Advisory Group.
Strategi "misi sipil", menurut Scott, sejalan dengan program pemerintah Kennedy setelah 1962. Amerika juga menempatkan Kolonel George Benson, karib Yani semasa di Ford Leavenworth, dipercaya menjadi pembantu Duta Besar Amerika Serikat untuk urusan misi sipil. Hingga 1965, Benson leluasa keluar-masuk Angkatan Darat.
Yang jelas, menurut Scott, strategi ini membuat tentara membangun aliansi kekuatan dengan kelompok sipil, seperti organisasi keagamaan, budaya, pemuda, partai politik, dan kelompok lokal, juga perusahaan asing, untuk menekan PKI pada 1965.
Itu pula yang membuat Seskoad akhirnya ikut melatih perwira yang dekat dengan PSI, Masyumi, juga kader partai yang berseberangan dengan PKI. Doktrin ini sebagian diseminarkan pada April 1965 dan muncullah Doktrin Tri Ubaya Sakti.
Menurut Scott, aliansi tentara dan sipil itu diuji kekuatannya dalam kerusuhan anti-Cina di Bandung pada 1963. Scott mengutip Noam Chomsky dan E.S. Herman dalam The Washington Connection and Third World Fascism, 1979, aksi yang bertujuan merusak hubungan dengan Cina—salah satu kiblat PKI—tersebut dibiayai oleh Amerika melalui tokoh militer Jawa Barat, yaitu Kolonel Kosasih, yang mengerahkan para preman untuk "membakar" Bandung. Uji coba sesungguhnya kemudian terjadi pada Oktober 1965 dan Maret 1966, yang berujung pada pembubaran PKI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo