Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA musim gugur 1965, George Frank Norman Reddaway dipanggil Kementerian Luar Negeri Inggris untuk mendapatkan penjelasan ringkas mengenai sebuah misi khusus. Pria 47 tahun itu diplomat yang sedang naik daun. Dari Kementerian, Reddaway menerima tugas khusus: mengambil alih operasi di Indonesia yang selama ini dijalankan Kementerian Luar Negeri dan badan intelijen Inggris, MI6, dari Phoenix Road, Singapura.
Reddaway adalah ahli propaganda. Dia mengawali karier di Resimen Penghubung GHQ, Phantom, dengan tugas mengumpulkan informasi intelijen di garis depan dan melaporkannya kepada komandan di lapangan.
Sebelum pemanggilan Reddaway, Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Andrew Gilchrist, tiba di London. Dia yang membujuk pejabat Kementerian Luar Negeri Inggris, Joe Garner, untuk mengirim Reddaway ke Indonesia. Menurut Gilchrist, operasi rahasia untuk melawan Sukarno tak berjalan baik dan dia butuh bantuan.
Menyetujui permintaan Gilchrist, Garner memberi Reddaway uang tunai 100 ribu pound. Tugas yang dia emban, kata Reddaway seperti dilansir The Independent edisi 1 Desember 1998, "Melakukan apa pun yang bisa saya lakukan untuk menyingkirkan Sukarno."
Pengakuan Reddaway, serta sejumlah dokumen Inggris dan Amerika Serikat yang telah dibuka kepada publik, mengindikasikan keterlibatan Inggris dalam Peristiwa 1965 yang berujung pada kejatuhan Sukarno dan kehancuran Partai Komunis Indonesia.
Duo Reddaway dan Gilchrist, kata peneliti dan pengajar di Australian National University, Adam Hughes Henry, adalah aktor penting dari operasi rahasia Inggris melawan Sukarno dan PKI. "Ada banyak dokumen Gilchrist yang menunjukkan dia tahu benar kasus pembantaian, bahkan skala kekejaman yang telah terjadi. Tapi yang paling penting adalah perannya bersama Reddaway dalam propaganda dan perang intelijen selama tahun 1965," kata Henry dalam wawancara dengan Tempo, pertengahan September lalu.
INDONESIA dan sejumlah negara Asia Tenggara pada 1960-an dinilai penting secara ekonomi dan strategis secara politik bagi Inggris, yang pernah menjajah sejumlah negara di kawasan ini. Menurut Mark Curtis, jurnalis dan sejarawan Inggris, dalam artikel "US and British Complicity in the 1965 Slaughters in Indonesia", Asia Tenggara penting karena "merupakan produsen utama beberapa komoditas berharga". Kawasan ini juga merupakan titik penting dalam komunikasi dunia serta rute laut dan udara.
Karena itu, politik ekonomi dan politik luar negeri antikolonialisme Sukarno dan kebijakan di dalam negerinya yang condong ke PKI membuat Inggris dan Amerika khawatir.
Paul Lashmar dan James Oliver dalam buku Britain's Secret Propaganda War 1948-1977 mengatakan indikasi niat Inggris menyingkirkan Sukarno terlihat sejak 1962, setelah Sukarno secara terbuka menentang rencana pembentukan Federasi Malaya yang didukung London. Dokumen badan intelijen Amerika, CIA, mencatat Perdana Menteri Inggris Maurice Harold Macmillan (1957-1963) dan Presiden John F. Kennedy (1961-1963) sudah sepakat untuk "melikuidasi Presiden Sukarno, tergantung situasi dan kesempatan yang ada".
Sukarno menganggap proyek Federasi Malaya yang diumumkan pada 1961 itu merupakan plot neokolonial. Dia curiga federasi tersebut hanya akal-akalan Inggris untuk terus bercokol di Asia Tenggara. Dalam konsep federasi itu, Malaysia yang sudah merdeka akan digabungkan dengan Borneo, Sarawak, dan Singapura.
Pada 1963, keberatan Sukarno mengkristal dalam kebijakan Konfrontasi, yang diikuti pemutusan hubungan dengan Malaysia, intervensi militer tingkat rendah, hingga perang di perbatasan sepanjang 700 mil di Kalimantan.
Menurut Michael O. Billington, dalam jurnal Executive Intelligence Review edisi 8 Juni 2001, Inggris menyambut Konfrontasi sebagai peluang untuk menghancurkan nasionalisme Indonesia. Kepala Staf Kementerian Pertahanan Inggris sudah menyiapkan laporan yang mengusulkan operasi rahasia. Operasi tersebut dikendalikan oleh Lord Louis Mountbatten, Kepala Staf Kementerian Pertahanan Inggris yang memimpin upaya London untuk rekolonisasi Asia selama dan setelah Perang Dunia II.
Tapi, kata Billington, niat menjatuhkan Sukarno tak kunjung tercapai lantaran Kennedy terus menolak permintaan Inggris untuk menghentikan semua bantuan bagi pemerintah Sukarno. Maka, setelah Kennedy ditembak di Dallas pada 22 November 1963, Inggris pun bergegas. Saat menghadiri pemakaman Kennedy, Perdana Menteri Inggris Alec Douglas-Hume (1963-1964) dan Menteri Luar Negeri Amerika David Dean Rusk (1961-1969) sepakat mengambil tindakan terhadap Indonesia.
Inggris mula-mula berusaha "menggoyang" Sukarno dengan mengaktifkan kembali gerakan separatis yang pernah mereka sponsori pada 1957-1958. Tapi, semenjak James Harold Wilson menempati kursi perdana menteri pada Oktober 1964, mereka mengubah taktik.
Seperti ditulis Mark Curtis, tatkala puluhan tentara Inggris menghadapi TNI di Kalimantan untuk membela Malaysia, agen MI6 membuka kontak dengan unsur-unsur kunci dalam tentara Indonesia melalui Kedutaan Besar Inggris. Salah satunya melalui Ali Moertopo, yang kemudian menjadi kepala intelijen di masa Jenderal Soeharto. Operasi intelijen Inggris inilah yang diduga turut meletupkan prahara 1965.
KETIKA Inggris dan kolega Baratnya diam-diam berusaha menyingkirkan Sukarno, muncul sebuah draf telegram yang konon milik Duta Besar Gilchrist. Seseorang tak dikenal mengirim draf tersebut ke rumah Menteri Luar Negeri sekaligus Kepala Badan Pusat Intelijen, Soebandrio, yang kemudian melaporkannya kepada Sukarno. Dokumen itu berisi rencana "operasi" yang melibatkan Inggris, Amerika, dan Angkatan Darat Indonesia.
Sukarno yakin itu rancangan untuk membunuhnya. Kekhawatiran Sukarno, menurut peneliti sejarah Baskara T. Wardaya, dapat dimaklumi karena pada 1965 itu Inggris dan Amerika memang sama-sama ingin menyingkirkan Sukarno. "Amerika ingin menggantikan pemerintah yang kekiri-kirian itu juga keinginan Inggris. Tapi Inggris juga berkepentingan mewujudkan pembentukan Federasi Malaya yang ditentang Sukarno," kata penulis buku Membongkar Supersemar! Dari CIA hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2007) itu kepada Tempo, pertengahan September lalu.
Setelah upaya kudeta 30 September 1965 yang diikuti pembantaian massal anggota PKI dan turunnya Sukarno, dokumen Gilchrist kembali diingat.
Meski demikian, menurut Adam Henry, tak ada bukti terang soal hubungan Inggris dan Amerika dengan peristiwa 30 September. Lagi pula Inggris sudah menyatakan dokumen Gilchrist itu palsu. "Peristiwa tersebut ternyata juga mengejutkan Australia, Inggris, dan Amerika. Mereka bingung dengan Gerakan 30 September dan tindakannya. Meski demikian, mereka sangat jeli melihat peluang untuk menyingkirkan Sukarno dan PKI," ujarnya.
Setelah kudeta itu, kata Mark Curtis, Amerika dan Inggris mendorong tentara Indonesia untuk bertindak keras terhadap PKI. Ini tergambar dalam kawat diplomatik yang dikirim Gilchrist dari Kedutaan Inggris di Jakarta kepada kantor Kementerian Luar Negeri negaranya. "Saya tidak pernah ragu bahwa penembakan kecil di Indonesia akan menjadi awal penting bagi sebuah perubahan yang efektif," tulis Gilchrist dalam kawat tertanggal 5 Oktober 1965.
Pada tanggal yang sama dengan datangnya kawat dari Gilchrist itu, Alec Adams, penasihat politik komandan militer Inggris di Timur Jauh, meminta Kementerian Luar Negeri tidak ragu "mengkambinghitamkan PKI di mata tentara dan orang-orang Indonesia". Usul tersebut disetujui. Pada kurun inilah Kementerian memanggil Reddaway untuk menjalankan misi khusus.
Menurut Adam Henry, selama periode itu, Inggris kebanyakan melakukan propaganda melawan Indonesia dari kantor pusat regional MI6 Asia Tenggara di Phoenix Park, Singapura. "Gilchrist menjalankan kampanye propaganda Inggris melalui Reddaway yang memimpin Information Research Department (IRD) Kementerian Luar Negeri Inggris," katanya. IRD merupakan operasi propaganda di masa Perang Dingin untuk menjelek-jelekkan musuh Inggris.
Tak diketahui apakah Inggris juga memberikan bantuan senjata kepada militer Indonesia. Yang pasti, saat Amerika menyatakan hendak menyalurkan senjata untuk militer Indonesia, Inggris setuju meski awalnya sempat ragu.
Dokumen diplomatik Inggris pada 1965-1966 yang dibuka untuk publik pada 1996, menurut Mark Curtis, juga mencatat keraguan Amerika atas dukungan Inggris. Amerika khawatir Inggris memanfaatkan ketidakstabilan di Indonesia untuk melancarkan serangan dari Singapura dan "menikam jenderal baik dari belakang".
Tapi Gilchrist dapat meyakinkan Amerika bahwa hal itu tak akan terjadi. Kedutaan Besar Amerika kemudian menyampaikan jaminan Gilchrist itu kepada kontak mereka di kalangan militer Indonesia pada 14 Oktober 1965. "Kami berani memastikan tak ada sekutu kami yang akan melancarkan serangan militer terhadap Indonesia," bunyi pesan tersebut.
Inggris bahkan mendukung pergerakan tentara Indonesia. Menurut bekas koresponden BBC, Rolland Challis, pemerintahnya mengerahkan dua kapal perang untuk mengawal kapal Indonesia yang membawa pasukan pulang dari daerah konflik menuju Jakarta melalui Selat Malaka. Pasukan tersebut, Brigade IV Infanteri, kemudian dikirim Soeharto ke Solo untuk mengejar dan mengeksekusi Ketua PKI Dipa Nusantara Aidit.
Setelah PKI tumpas dan Sukarno tersingkir, konflik Inggris-Indonesia perlahan mereda. Indonesia dan Malaysia memulai babak baru perundingan damai pada Mei 1966, setelah Soeharto menerima Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Sukarno. Puncaknya, pada 11 Agustus 1966, Indonesia secara resmi mengakui Malaysia.
Kedutaan Besar Inggris di Jakarta menolak memberikan komentar tentang peran badan intelijennya saat dihubungi Tempo pada Sabtu dua pekan lalu.
Mengenai Peristiwa 1965, jawaban Kedutaan Inggris merujuk pada hasil investigasi dan rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang telah menyelidiki Peristiwa 1965-1966. "Inggris memiliki rekam jejak kuat mendukung proses formal melalui pengungkapan fakta yang benar dan rekonsiliasi di kawasan ini, termasuk di Timor Leste dan Kamboja. Terserah rakyat Indonesia untuk menentukan bentuk yang tepat dari mekanisme pertanggungjawabannya," tulis pernyataan resmi Kedutaan Inggris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo