Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agus Salim 1884-1954

Ia ada setiap kali dibutuhkan: di Volksraad, ketika sejumlah pribumi merasa sudah menjadi Belanda; di tangsi Pembela Tanah Air, yang kesulitan menerjemahkan istilah militer dalam bahasa Jepang ke bahasa Indonesia; di badan persiapan kemerdekaan, saat kubu nasionalis dan kubu Islam nyaris mustahil bersepakat tentang dasar-dasar negara; dalam perundingan dengan Belanda di Linggarjati, lalu di atas geladak Renville; dalam hampir setiap masa genting negeri ini, sejak masih berupa embrio hingga pertengahan 1950-an. Indonesia beruntung punya ...

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pria Kecil berlangkah Lebar

Agus Salim sempat bercita-cita masuk sekolah kedokteran di Belanda selepas HBS. Otaknya yang encer membuat anak Sutan Muhammad Salim, hoofd djaksa di Riau, itu terkenal hingga ke kediaman RA Kartini di Jawa Tengah. Kartini pun merelakan beasiswanya ke Belanda dialihkan ke Salim. Tapi pria bertubuh kecil ini mengubah haluan.

1906-1911
Bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, sekaligus memperdalam Islam dan berhaji.

1912-1915
Mendirikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) swasta di Koto Gadang.

1915
Menjadi Pengurus Besar Central Sarekat Islam.

1917
Menjadi wartawan harian Neratja selama setahun, bekerja di Balai Pustaka hingga 1919, lalu menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad.

1921-1924
Menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai wakil Sarekat Islam.

1927
Bersama H.O.S. Tjokroaminoto menerbitkan harian Fadjar Asia, lalu memimpin harian Mustika di Yogyakarta pada 1931-1932.

1933
Menjadi Ketua Dewan Partai Sarekat Islam Indonesia, tapi keluar tiga tahun kemudian dan mendirikan Partai Penyadar.

1940-1945
Nonaktif dari politik dan berdagang arang.

1945
Menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

1945-1946
Menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia. Setelah itu, ia beberapa kali menjadi Menteri Luar Negeri.

4 April 1947
Ketua misi diplomatik ke Timur Tengah serta menghadiri Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

19 Des. 1948
Ditawan Belanda bersama Sukarno dan Hatta, diasingkan ke Berastagi, Parapat, Bangka, dan baru kembali ke Ibu Kota Yogyakarta pada 6 Juli 1949.

17 Jan. 1953
Menjadi dosen tamu mata kuliah agama Islam di Cornell University, Ithaca, dan menghadiri Simposium-Kolokium Islam di Princeton University. Kembali ke Indonesia pada 26 November 1953.

4 Nov. 1954
Agus Salim wafat pada pukul 14.42 di Rumah Sakit Umum Jakarta setelah sakit beberapa hari. Ia dimakamkan keesokan harinya di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

27 Des. 1961
Ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan.


Yang Bersilat dengan Lidah

Wakil Presiden Mohammad Hatta mengenal Agus Salim sebagai tokoh yang jarang ada tandingannya dalam bersilat lidah. Kecerdasannya sangat kentara ketika ia beradu argumentasi. Berikut ini beberapa kisahnya.

Di Volksraad, Salim berpidato dalam bahasa Melayu. Ia ditegur Ketua Parlemen dan diminta berpidato dalam bahasa Belanda. Tapi Salim, yang sebenarnya lancar berbahasa Belanda, berpendapat ia berhak memakai bahasa Melayu. Dalam pidatonya, dia menyebut kata "ekonomi". Lawannya, Bergmeyer, mengejeknya: "Apa kata 'ekonomi' dalam bahasa Melayu?" Salim menjawab, "Coba, Tuan sebutkan dulu apa kata 'ekonomi' dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan dalam bahasa Melayu." Bergmeyer terdiam karena kata "ekonomi" tak ada dalam bahasa Belanda.

Agus Salim menemui seorang teman di kantor Belanda. Teman itu mengejeknya: "Coba kalau mau bekerja sama Belanda, tentu kau tidak seperti sekarang, tak punya apa-apa." Tidak berapa lama, datang seorang adviseur Belanda. Ketika melihat Salim, ia datang kepadanya, memberi hormat, dan mengulurkan tangan. Sesudah dia pergi, Salim berkata kepada temannya, "Coba kalau saya bekerja sama Belanda, tentu seperti kau. Melihat majikanmu datang, engkau merasa ketakutan. Meskipun saya tidak bekerja, dia hormat kepada saya."

Dalam suatu pertemuan Sarekat Islam, Muso mengejek Agus Salim dan H.O.S. Tjokroaminoto dari atas podium. Dia bertanya kepada peserta, "Orang yang berjenggot itu seperti apa, Saudara?" Hadirin menjawab: "Kambing." Muso bertanya lagi, "Orang yang berkumis itu seperti apa, Saudara?" Hadirin menjawab: "Kucing." Tiba giliran Salim naik mimbar. Ia berkata, "Tadi kurang lengkap, Saudara. Yang tidak berkumis dan tidak berjenggot itu seperti apa?" Salim menjawab sendiri: "Anjing." Muso memang tidak berjenggot dan tidak berkumis.

Pada suatu kali, ketika Agus Salim berpidato, sebagian hadirin mengucapkan, "Mbek, mbeeek…," untuk mengejek Salim karena jenggotnya. Salim spontan bereaksi. "Saya tidak mengira bahwa di sini banyak juga rupanya kambing yang hadir. Kepada ketua rapat, saya minta supaya kambing-kambing itu dikeluarkan saja dari gedung ini."

Dalam suatu jamuan makan, semua orang memakai sendok dan garpu. Hanya Agus Salim yang memakai tangan. Sewaktu ditanya mengapa demikian, Salim menjawab, "Karena saya tahu bahwa tangan saya bersih, sedangkan saya tidak tahu apakah sendok dan garpu itu bersih."


"Kekuasaan polisi mesti terang-terang batasnya dan polisi tukang tangkap janganlah merangkap pula jabatan tukang mencari keterangan."

—Harian Fadjar Asia, 29 November 1927.

"Jika negeri hendak selamat, jika kerajaan hendak sentosa, haruslah pengadilan berderajat tinggi. Hakim-hakim wajib menunjukkan sikap kebesaran yang anggun."

—Harian Fadjar Asia, 26 Juni 1928.

"Mendidik pakai tabokan itu bukan cara Kristen. Agama itu tentulah mengajarkan cinta kepada anak, sebagaimana agama Islam yang nabinya Muhammad, sewaktu anak merasa kehidupan yatim."

—Harian Hindia Baroe, 1 Februari 1926, tentang pemogokan murid HIS di Pakualaman karena mengalami kekerasan dari gurunya.

"Seluruh ilmu pengetahuan dan filsafat tak dapat memberi penyelesaian yang memuaskan terhadap aneka kesulitan, tak dapat memberi jawaban yang tuntas terhadap segala masalah."

—Majalah Het Licht, Tahun I, 1925.

"Tuhan tidak pernah meminta kepada manusia untuk membantu-Nya memerangi kebatilan. Tuhan mengajarkan kepada kita untuk berdoa memohon bantuan Tuhan dalam memerangi kebatilan."

—Ceramah di pertemuan Indonesia-Pakistan Cultural Association, 9 Desember 1953.

Sumber: Seratus Tahun Haji Agus Salim, Penerbit: Sinar Harapan, 1984; Hadji Agus Salim, Pahlawan Nasional Pengarang: Solichin Salam Penerbit: Djaja Murni, Djakarta, 1964; Wawancara. ilustrasi: kendra paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus