Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) mengungkapkan alasan mengapa penjualan sepeda motor listrik di Indonesia masih kecil. Padahal, dalam setahun belakangan ini, sudah banyak merek yang meluncurkan model motor listriknya di Tanah Air.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Menurut Sekretaris Jenderal AISI Hari Budianto, permasalahan pertama ada pada insentif yang diberikan oleh pemerintah. Berbeda dengan di luar negeri, di Indonesia insentif yang diberikan hanya untuk biaya pajak kendaraannya saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Untuk memproduksi gampang, tapi menjualnya tidak gampang. Di luar negeri, itu kan ada subsidinya, kepada produsennya dan juga kepada konsumennya. Di Indonesia, untuk konsumen, itu paling STNK-nya dimurahin 10 persen dari pada motor bakar (ICE)," ucap Hari dalam acara Ngovsan Forwot hari ini, Kamis, 15 September 2022.
Insentif atau pengenaan pajak kendaraan listrik sendiri tercantum dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 82 Tahun 2022 tentang Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan Pajak Alat Berat Tahun 2022. Beleid tersebut ditetapkan pada 20 Juni 2022.
Dalam regulasi tersebut, di Pasal 10 Ayat 1 disebutkan bahwa pengenaan PKB untuk kendaraan listrik berbasis baterai ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen dari dasar pengenaan PKB. Sementara di Ayat 2, disebutkan juga BBNKB kendaraan listrik ditetapkan paling tinggi sebesar 10 persen dari dasar pengenaan BBNKB.
"Jadi kalau motor bakar internal combustion engine, itu 2 persen PKB-nya. Kalau motor listrik berarti 10 persen dari 2 persen, berarti 0,2 persen. Murah kan? Tapi masih bayar untuk beli motor barunya. BBNKB-nya itu juga 10 persen. Normalnya motor bakar itu 12 sampai 12,5 persen, berarti 10 persennya 1,2 persen. Sudah murah," jelas Hari.
Harga Baterai dan Adaptasi Pasar
Hari turut mengungkapkan mengapa sepeda motor listrik yang dijual di Indonesia saat ini masih mahal. Faktor utamanya adalah harga baterai yang masih mahal, bahkan Hari mengatakan bahwa harga baterai ini berkontribusi 40 persen terhadap total harga jual motor listrik.
"Baterai ini menentukan, jadi berat dan jadi mahal, karena harga baterai itu kurang lebih di angka US$ 300 per kWh. Saya punya motor listrik baterainya 1,2 kWh, itu kalau dirupiahkan, 1,2 dikali 300 US$ itu kira-kira masih Rp 6-7 jutaan dan jarak tempuhnya masih 50 sampai 60 kilometer," katanya.
Permasalahan jarak tempuh menjadi salah satu alasan konsumen Indonesia masih belum berniat membeli sepeda motor listrik. Menurut Hari, bila dilihat dari faktor harga dan jarak tempuhnya, masyarakat Indonesia lebih memilih motor berbahan bakar minyak ketimbang motor listrik.
Permasalahan tersebut disebut Hari sebagai adaptasi pasar terhadap kendaraan listrik. Dia mengungkapkan bahwa adaptasi pasar ini hanya menunggu waktu, misalnya menunggu harga baterai murah, adanya sistem baterai swap yang bisa disewakan dengan tidak masuk hitungan motor, dan infrastruktur pendukungnya.
"Kalau saya mau ke Bandung pakai motor listrik, nanti baterai habis sampai Karawang, ada tidak baterai swapnya disitu untuk merek motor yang saya punya? Kalau tidak ada, masa saya mau ngecas 5 jam? Ini kan market adaptionnya jadi lambat. Masyarakat masih ragu, baterainya mahal, jadi keraguan pasar inilah yang menentukan strategi masing-masing perusahaan," tutur dia.
Baca juga: Daftar Sepeda Motor Listrik Alternatif Saat Harga BBM Naik
Ingin berdiskusi dengan redaksi mengenai artikel di atas? Mari bergabung di grup Telegram GoOto