Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pil Viagra! Itulah pengibaratan yang cocok bagi penurunan suku bunga deposito. Berkat ”obat kuat” itulah bursa saham Indonesia menjadi bugar dan bergairah di tengah kondisi perekonomian dunia yang loyo. Meroketnya harga minyak dunia dan mewabahnya krisis kredit perumahan di Amerika Serikat adalah biang keladi keloyoan.
Namun, suku bunga yang lebih singset membuat para pencari untung, dari kalangan profesional, ibu-ibu rumah tangga, hingga kelompok arisan, berbondong-bondong menyambangi para pialang di pasar modal. Deposito—dengan bunga di bawah tujuh persen—tak lagi dilirik sebagai lahan untuk membiakkan duit. Orang ramai-ramai memindahkan investasinya ke bursa saham.
Aksi ”bedol desa” itu membuat perdagangan saham kian marak. Hanya dalam tempo satu setengah tahun, volume jual-beli saham di lantai terkerek hampir empat kali lipat. Nilai transaksi harian yang pada pertengahan tahun lalu baru Rp 2 triliun membengkak menjadi Rp 7-8 triliun. ”Menariknya, lebih dari 80 persen peserta transaksi merupakan investor retail lokal,” kata analis bursa Mirza Adityaswara.
Seiring dengan lonjakan volume transaksi, indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia melesat lebih dari 40 persen sepanjang 2007. Indeks hasil perhitungan sekitar 380 harga saham terus mencatatkan rekor baru .
Di penghujung tahun ini, IHSG sukses menembus angka 2.800—level tertinggi dalam sejarah bursa di Tanah Air. Berkat pertumbuhan mengesankan sejak empat tahun silam, pasar modal Indonesia berulang kali nangkring di urutan tiga besar bursa Asia. Indonesia pun mencatat pertumbuhan tertinggi bersama Cina dan Hong Kong.
Perusahaan sekuritas dan para broker saham termasuk yang berpesta pora menikmati gurihnya rezeki pasar modal sepanjang 2007. Seorang pialang bercerita, bonus akhir tahun sebesar 4–5 kali gaji siap dibagikan oleh sejumlah perusahaan sekuritas asing. Ada pula yang memberikan ”kado” jalan-jalan ke luar negeri buat para karyawan. ”Ini wajar karena laba mereka melonjak lebih dari 100 persen,” ujarnya.
Banyak investor pun happy bukan kepalang. Tirta—sebut saja begitu—termasuk salah satunya. Pialang lokal yang lebih dari 20 tahun malang melintang di pasar modal ini berhasil membiakkan dana investasinya 300 persen dari ajang spekulasi di saham-saham favorit, seperti pertambangan, energi, dan perkebunan. ”Itu saya peroleh karena aktif jual-beli setiap hari,” katanya.
Pertambangan adalah satu sektor yang sahamnya paling bersinar sepanjang tahun ini.
Hal ini tak lepas dari lonjakan harga komoditas di pasar dunia. Nilai saham PT Bumi Resources, produsen batu bara terbesar di negeri ini, melompat hampir 600 persen. Nasib baik serupa dialami PT Timah (naik 550 persen), PT Bukit Asam (250 persen), dan PT Inco (200 persen). Di sektor perkebunan, kinerja saham mereka pun tak kalah kinclong. Saham PT Astra Agro Lestari, perusahaan perkebunan kelapa sawit, misalnya, meningkat lebih dari 100 persen.
Para pelaku pasar optimistis kinerja bursa saham masih tetap mengkilap pada 2008. Lantai perdagangan diperkirakan bakal makin ramai dengan masuknya perusahaan-perusahaan baru yang telah mencatatkan sahamnya. Salah satu pemicunya adalah rencana pemerintah memberikan insentif bagi perusahaan yang melepas 40 persen sahamnya ke publik. Mereka akan mendapatkan potongan pajak penghasilan (PPh) sebesar lima persen. Jadi, dari 30 persen turun ke 25 persen. ”Potongan ini cukup besar bagi mereka,” kata Mirza.
Penggabungan Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI) sejak awal Desember lalu, menurut Direktur Utama BEI Erry Firmansyah, juga bakal menjadi daya tarik tersendiri buat para investor. Sebab, dengan penggabungan itu, perusahaan publik cukup mencatatkan sahamnya di satu bursa. Biayanya jauh lebih hemat.
Daya tarik yang lain adalah kapitalisasi pasar bursa saham akan membesar. Produk yang diperdagangkan kian beragam, mulai dari saham, obligasi, hingga produk derivatif. Berbekal itu semua, Erry memperkirakan akan ada sekitar 30 perusahaan baru yang go public alias masuk bursa.
Dari sisi harga, saham-saham Indonesia terbilang masih murah. Price to Earning (PE) Ratio yang merupakan perbandingan antara harga saham dan perolehan laba per saham dari perusahaan-perusahaan di Indonesia rata-rata hanya 19 kali. Bandingkan dengan Cina dan India yang masing-masing memiliki PE Ratio sebesar 47 dan 24 kali.
Karena itu, peluang investor lokal dan global untuk berburu saham Indonesia masih terbuka lebar. Apalagi, kondisi makroekonomi di dalam negeri kini cukup stabil dengan tren pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Ditambah suku bunga yang cenderung terus menurun, ”Investor akan bermigrasi besar-besaran dari deposito ke pasar modal,” kata analis Recapital Securities, Haryajid Ramelan.
Jenis saham yang diburu investor tampaknya masih berkutat pada sektor pertambangan dan energi, agribisnis, infrastruktur, serta retail. ”Saya yakin indeks bisa mencapai posisi 3.100 di penghujung 2008,” ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, berkata dalam nada optimistis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo