Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dealer Daihatsu di Sunter, Jakarta Utara, masih kewalahan memenuhi pesanan konsumen. Dari 208 surat perintah kerja pemesanan pada November lalu, sampai pekan lalu baru 126 unit yang bisa dipenuhi. Sisanya terpaksa menunggu lumayan lama. Konsumen yang membeli Gran Max, produk terbaru Daihatsu, pada Desember ini, misalnya, baru bisa memperoleh mobilnya pada Maret tahun depan.
Calon pembeli Daihatsu Xenia bahkan harus bersabar hingga empat bulan untuk mendapatkan mobilnya. “Daftar inden terus menumpuk,” kata Kepala Cabang Daihatsu Sunter S. Bambang Darjanto. Toyota Avanza, Suzuki APV, dan beberapa produk baru seperti Nissan Grand Livina pun menghadapi situasi yang sama. Permintaan konsumen selama tahun ini ternyata jauh di atas produksi hampir semua pabrikan mobil.
Tak pelak lagi, tahun 2007 merupakan titik balik penjualan mobil di Indonesia. Setelah ambruk dihantam kebijakan pemerintah yang dua kali menaikkan harga bahan bakar minyak pada 2005, penjualan mobil mulai menunjukkan tren menanjak pada tahun ini. Sampai Oktober, penjualan mobil sudah naik lebih dari sepertiga penjualan tahun sebelumnya.
Produsen barang-barang elektronik juga menikmati lonjakan penjualan sepanjang tahun ini. Televisi layar kristal (LCD), misalnya, sampai September lalu sudah terjual 150 ribu unit. Penjualan ini cukup fantastis karena sepanjang 2006, televisi jenis itu hanya terjual 60 ribu unit. Produk lain seperti televisi layar datar, lemari es, dan pendingin udara juga naik cukup signifikan. Penjualan AC pada tahun ini, misalnya, naik sampai 34 persen.
Bisa dibilang, hampir tak ada sektor yang tercecer. Tahun 2007 memang cukup kondusif. Suku bunga perbankan terus bergerak turun. Pada akhir tahun silam suku bunga acuan perbankan nasional (BI Rate) masih 9,75 persen, sedangkan awal Desember lalu sudah 8 persen. Suku bunga simpanan yang rendah akan mendorong orang membelanjakan duitnya, dan tingkat bunga pinjaman yang rendah juga akan menarik orang untuk membeli secara kredit.
Pada saat yang sama, angka inflasi juga cenderung turun. Pada September tahun lalu, inflasi tahunan (year on year) masih berada pada posisi 14,55 persen, tapi pada November 2007 tinggal 6,71 persen. Sebaliknya, daya beli meningkat. Paling tidak, itu bisa dilihat dari pendapatan masyarakat yang terus naik. Pada akhir 2005, pendapatan per kapita penduduk Indonesia masih US$ 1.320. Tahun ini, BNI memperkirakan pendapatan per kapita sudah US$ 1.835.
Berbagai faktor itulah yang kemudian mendorong bangkitnya sektor industri. Ketua Umum Electronics Marketer Club M. Agus Subiantoro dan Bambang membenarkan bahwa turunnya suku bunga ditambah berbagai iming-iming dari produsen atau pedagang yang mendorong tingginya penjualan mereka. Agus memperkirakan, tahun depan sekitar dua pertiga penjualan produk elektronik akan dilakukan melalui kredit.
Apalagi sekarang makin banyak produsen yang bekerja sama dengan bank untuk menjual produk mereka melalui fasilitas kartu kredit. Bahkan penjualan motor pun kini bisa dilakukan hanya dengan kartu kredit. Riset BNI menunjukkan kemungkinan adanya peningkatan transaksi melalui kartu kredit, dari Rp 18 triliun pada 2007 menjadi hampir Rp 22 triliun pada 2008.
Ditambah kondisi makroekonomi yang stabil, termasuk nilai tukar rupiah yang relatif anteng sepanjang tahun ini, banyak pelaku usaha yang optimistis penjualan tahun depan masih akan melaju. Agus, misalnya, yakin penjualan produk elektronik bisa tumbuh 20-25 persen pada 2008. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga mematok target 20 persen karena penjualan tahun ini bisa melampaui target.
Proyeksi pemerintah yang tercantum pada APBN 2008 juga membuat pelaku usaha optimistis. Memang, pemerintah sudah mengubah beberapa asumsi APBN 2008, misalnya nilai tukar rupiah dari Rp 9.100 per dolar AS menjadi US$ 9.200, inflasi 5+1 persen, dan pertumbuhan ekonomi 6,4-6,7 persen. Namun angkanya masih menyisakan optimisme. “Angka-angka pemerintah merupakan prasyarat bagus bagi penjualan mobil,” kata Presiden Direktur Indomobil Sukses Internasional Gunadi Sindhunata.
Keyakinan itulah yang membuat banyak perusahaan melakukan ekspansi usaha sepanjang tahun ini. Daihatsu, misalnya, belum lama ini menambah investasi Rp 1,2 triliun untuk memperluas pabriknya di Sunter, Jakarta Utara. Investasi ini dilakukan untuk memperpendek masa inden, terutama untuk Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia. PT Panasonic Gobel Battery Indonesia juga menambah kapasitas pabrik baterai litium dengan investasi sekitar US$ 40 juta.
Secara keseluruhan, investasi pada 2007 memang meningkat lumayan pesat. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan realisasi investasi asing selama sembilan bulan pertama 2007 meningkat 103 persen menjadi US$ 9 miliar dibanding periode yang sama tahun lalu. Investasi dalam negeri malah meningkat lebih tinggi, 143 persen, menjadi Rp 33 triliun. Salah satu sektor yang paling banyak menyerap investasi adalah perkebunan kelapa sawit.
Sawit memang tengah berkibar. Sampai pertengahan bulan lalu, menurut Ketua Harian Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Derom Bangun, harga rata-rata CPO di Rotterdam pada November lalu sudah US$ 960 per ton, padahal di awal tahun baru US$ 593. Tahun depan diperkirakan masih akan tinggi karena permintaan dunia tetap tinggi. Selain untuk minyak goreng, sawit kini dijadikan biofuel.
Seperti sawit, bisnis batu bara juga sedang panas-panasnya. Lagi-lagi, naiknya harga minyak membuat batu bara dijadikan alternatif, terutama untuk pembangkit listrik. Tahun depan, kata Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Jeffrey Mulyono, harga batu bara bisa mencapai US$ 90 per ton, naik dari tahun ini US$ 80 per ton.
Yang menarik, ekspor gabungan batu bara dan CPO makin mendekati ekspor migas. Berdasarkan data selama delapan bulan pertama, ekspor batu bara dan CPO tahun ini sudah setara dengan 65 persen ekspor migas, jauh di atas tahun lalu yang baru 49 persen. Bisa dikatakan, kedua komoditas ini bisa menjadi andalan Indonesia di masa datang untuk menggantikan ekspor migas yang terus menurun.
Sektor perdagangan internasional Indonesia pada tahun ini memang lumayan bagus. Hal itu antara lain ditandai oleh membaiknya surplus perdagangan. Menurut Chief Economist BNI A. Tony Prasetiantono, tahun ini surplus Indonesia akan mencapai US$ 41,3 miliar, lebih tinggi dibanding Singapura (US$ 37,4 miliar) dan Malaysia (US$ 29 miliar). “Ini sebuah prestasi bagus,” kata Tony.
Terus tumbuhnya permintaan dan meningkatnya ekspor diperkirakan masih akan berlanjut hingga tahun depan, yang bertepatan dengan tahun Tikus. Dan permintaan domestik masih terus mendominasi pertumbuhan ekonomi. “Dengan bunga rendah, orang cenderung berbelanja,” kata Chief Economist Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa. Tony menambahkan, permintaan domestik ini akan tumbuh 8,4 persen pada 2008, naik dari 6,4 persen pada tahun ini.
Sayangnya, gambaran yang bagus dan menjanjikan pada tahun depan dibayang-bayangi kekhawatiran para pelaku industri jika harga minyak melejit setinggi langit, terutama dari sektor industri manufaktur seperti elektronik dan otomotif. Mereka masih punya trauma dengan gebrakan 1 Oktober 2005, sewaktu pemerintah nekat menaikkan harga bahan bakar minyak lebih dari 100 persen.
Meski hampir semua pelaku meyakini pemerintah takkan berani memilih jalan itu lagi karena tahun depan memasuki persiapan pemilihan umum, pebisnis tetap saja khawatir. Pertanyaan mereka sama: sampai berapa lama pemerintah bisa menahan dampak kenaikan harga minyak ini. Kalau tak ada cara lain untuk menekan subsidi bahan bakar dan listrik, pemerintah pasti akan menaikkan harga BBM.
Kalau harga bahan bakar sampai naik, kata Agus, daya beli masyarakat akan anjlok lagi. Uang yang ada di tangan hanya cukup untuk membeli kebutuhan pokok. Jika tak ada pembelian barang, industri yang saat ini tengah berapi-api menggenjot produksinya akan langsung menyusut. Dua tahun lalu, setelah pemerintah menaikkan harga BBM, penjualan mobil merosot 40 persen dan penjualan elektronik juga turun sampai 20 persen, Mestinya, pemerintah tak perlu mengulang kesalahan masa lalu. Kalaupun harus naik, itu bisa dilakukan secara bertahap. Tidak harus dengan pukulan telak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo