Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akankah mereka pulang

Eropa cemas. nasib muslim bosnia mirip bangsa palestina. arus pengungsi melebihi arus imigrasi akibat pd ii. krisis pengungsi membangkitkan sayap kanan di eropa. kerusuhan rasial meledak.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA dalam tempo kurang dari satu hari, sebuah distrik dekat Sarajevo berganti penghuni. Di pertengahan pekan lalu, tepat di hari Rabu sore, 300 warga distrik yang masih tinggal -- sebagian dari mereka sudah pada pergi -- dikumpulkan oleh tentara Serbia. Mereka diberi kesempatan beberapa menit, lalu diusir begitu saja. Distrik itu segera saja dikuasai oleh tentara Serbia dan para chetnik (orang sipil Serbia bersenjata) yang datang membawa lima tank. Ketika gelap mulai merayap, orang-orang terusir sampai di dekat Hotel Bristol di Sarajevo. Mereka lalu menyeberangi jembatan dekat hotel tersebut. Inilah salah satu jalan yang masih terbuka untuk menuju ke kamp Bulan Sabit Merah (palang merahnya muslim) di dekat kawasan itu. Setelah lewat jembatan, orang-orang yang berjalan kaki itu ditemui oleh beberapa anggota Bulan Sabit Merah Bosnia. Di antara para pengungsi itu tampak seorang wanita setengah baya tersaruk-saruk sambil menangis. Ia mengatakan kepada wartawan Reuters bahwa ia habis diperkosa oleh seorang Serbia yang berpakaian seragam tentara. Rombongan yang sebagian besar terdiri dari orang tua itu hampir semuanya punya satu cerita yang sama: barang-barang mereka dirampok oleh orang-orang Serbia bersenjata. "Mereka datang pukul 3.30 empat siang, dan katanya kami harus meninggalkan distrik itu pukul 7.30 malam hari itu juga," tutur Mujic Memo, pensiunan berusia 57 tahun. Maka Memo pun lalu mengemasi barang-barangnya. Ia memang sudah menunggu hal ini akan terjadi juga pada kampungnya, setelah kampung-kampung lain dekat Sarajevo diduduki orang Serbia. Yang tak ia ketahui, cara pengusiran itu bisa sangat tak berperikemanusiaan. Memo melanjutkan ceritanya, "Tapi belum sepuluh menit orang-orang itu sudah datang lagi, dan hanya satu perintahnya: angkat kaki sekarang juga." Itulah mengapa mereka mengatakan "dirampok" -- mereka hampir tak sempat membawa apa pun. Memo itu, umpamanya, cuma bisa membawa sebuah tas kecilnya berisi pakaian. Istrinya yang sangat gugup cuma sempat membawa sikat dan sisir rambut. Setelah pertemuan di London dan Jenewa, setelah keputusan PBB dua pekan lalu untuk mengeluarkan Yugoslavia dari daftar anggota, setelah PBB menyatakan sanksi ekonomi pada bekas Yugoslavia (Republik Serbia dan Montenegro) akan diperketat, waktu itu muncul harapan bahwa konflik di Bosnia akan bisa direm. Di luar dugaan, pihak Serbia menanggapi dengan dentuman mortir ke wilayah yang masih dikuasai Bosnia, dan makin intensifnya pengusiran orang-orang muslim Bosnia. Maka suara dari Eropa adalah suara kecemasan. Jerman, Prancis, Spanyol, Italia, dan Hungaria takut bila terjadi pengungsian orang Bosnia besar-besaran di hari-hari ini. Soalnya, masalah pengungsi Bosnia sudah lama belum terpecahkan. Ada bayangan yang sangat mengganggu negara-negara yang jadi tempat orang-orang itu mengungsikan diri: nasib muslim Bosnia akan mirip dengan nasib bangsa Palestina. Artinya, para pengungsi itu tak akan pergi dari negara tempat mereka berada kini karena tanah air mereka sudah berpindah tangan. Padahal angka pelarian dari Bosnia terus membengkak. Sampai akhir tahun lalu tercatat sekitar 600 ribu pengungsi dari Bosnia. Sampai pertengahan tahun ini jumlah itu telah membengkak menjadi lebih dari 2,3 juta kepala. Sebagian besar, sekitar 1,5 juta, masih berada di bekas Federasi Yugo itu sendiri. Yakni, terutama, ada di Republik Kroasia, yang sudah meneken gencatan senjata dengan Serbia Desember lalu. Yang lain berada di kantong-kantong di Bosnia-Hercegovina yang masih dikuasai orang muslim Bosnia. Mereka yang sudah keluar dari bekas Yugo sebagian besar (sekitar 250.000) berada di Jerman. Yang lainnya terserak di Hungaria, Prancis, Italia, Spanyol dan lain-lain. Mereka yang masih di Kroasia sebenarnya hanya singgah. Cita-cita orang-orang Bosnia itu, terutama orang-orang mudanya, mengungsi ke Eropa Barat. Memang suasana sehari-hari di pelabuhan Rijeka di wilayah Kroasia dalam enam bukan terakhir ini, sejak meletus konflik Bosnia-Serbia, seperti pasar. Menurut Peter Millar, wartawan Sunday Times Magazine yang mengunjungi pelabuhan ini, arus pengungsi kini jauh melebihi arus imigrasi akibat Perang Dunia II lalu. Di antara para pengungsi yang tiba di bulan lalu adalah Nimta Kominliya bersama putra dan putri kembarnya yang berusia 14 tahun. Suaminya masih di Dobrinja, kampung muslim di Sarajevo, ibu kota Bosnia yang terkepung itu. "Anak-anak sudah tidak bertemu dengan bapaknya sejak tiga bulan lalu," katanya, sepertinya tak lagi punya harapan akan bertemu dengan sang bapak itu. Jadi keluarga ini menempuh perjalanan pengungsian dalam tiga bulan. Memang sebagian rute pengungsian terpaksa ditempuh dengan jalan kaki. Bila kendaraan tak ringsek tersambar roket, ya kendaraan itu dirampas oleh orang Serbia di pos-pos penjagaan. Ini jelas berbeda dengan suasana di awal-awal perang. Ketika belum banyak wilayah diduduki orang Serbia, pengungsi sampai di daerah Kroasia dengan kendaraan: dari mobil sampai traktor. Ada juga yang lewat sungai dengan perahu. Sebulan terakhir ini hampir semua pengungsi datang berjalan kaki. Di Rijeka ada juga Leyla Krasnic, 24 tahun. Ia kehilangan abangnya yang ditembak tentara Serbia April lalu. Leyla adalah korban langsung propaganda yang dilancarkan oleh Serbia, bahwa orang muslim Bosnia adalah pembawa panji-panji Islam, dan mereka berniat mengislamkan Eropa. Maka Leyla terpaksa melepaskan atribut muslimnya, chador -- busana tradisional Iran yang menutupi ujung rambut sampai ujung kaki -- yang biasa ia pakai. Kini ia berdiri di dermaga dengan jins ketat, blus yang terbuka bahunya bak blusnya Madonna, lipstik ungu, dan perhiasan emas. Tampaknya "pakaian internasional" itu dikenakannya untuk memasuki Barat tanpa banyak menarik perhatian. Umumnya, setiba di Rijeka, orang-orang Bosnia itu berusaha bisa naik kereta api menuju ke Wina, ibu kota Austria. Di Wina, mereka akan berupaya berdiam di keluarga-keluarga yang mereka kenal atau siapa saja yang menyediakan rumah tangganya untuk menampung pengungsi. Atau ikut saja pada para sukarelawan penjemput yang akan membawa mereka ke kamp pengungsi. Dan di sini orang-orang itu disambut olah orang-orang Austria dengan pandangan aneh. Mungkin anak-anak muda Eropa Utara itu melihat mereka dengan pandangan ganda: belas campur cemas. Kecemasan bahwa mereka akan merebut lapangan kerja. Di antara mereka yang terpaksa menelan pandangan aneh itu adalah Aida Dzinovic, 20 tahun. Mahasiswi kedokteran itu tampak lebih cerah dalam pakaian jins putih, kaus garis-garis, dan sepatu karet. Ia bernasib sama dengan pengungsi di sekelilingnya. Aida meninggalkan teman-teman dan keluarganya untuk mencari kehidupan baru. Tapi sebelum ia menemukan kehidupan baru itu ia harus tinggal dulu di sebuah kamp, beberapa mil dari punggung pegunungan yang menutupi pantai Dalmatia, di Karlovac. Kamp ini memang khusus didirikan oleh pemerintah Austria untuk pengungsi Bosnia. Di sinilah mereka yang tak punya kenalan di Wina, atau tak mendapat tampungan di ibu kota, terpaksa tinggal. Kamp itu dulunya sebuah gedung olah raga. Mereka yang berjejal di sini umumnya datang dari Bosnia Utara. Tak layak disebut suatu pondokan yang nyaman, tapi di sinilah sekitar 1.200 orang terpaksa hidup, setidaknya untuk sementara. Di ruang ini, yang dulunya tempat pertandingan basket, angin menerobos dari kaca-kaca jendela yang pecah di sana-sini, dan lembab merayap dari lantai yang kebanjiran air kotor. Tempat itu, kata Maida Garcevic, 15 tahun, memang "tidak terlalu bersih, di mana-mana ada kutu air". Soalnya, banyak yang terpaksa mandi di lingkungan kamp. Dulunya hampir semua mereka mandi dan buang air di sungai. Tapi kemudian ada kasus: dua gadis diperkosa di pinggir sungai. Sejak itulah banyak pengungsi, terutama para gadis dan wanita, lebih memilih membikin lembab lingkungan kamp. Konsekuensinya: agar tak menghirup udara lembab dalam ruangan, Maida dan ibunya, seperti yang lainnya, lebih suka menyeret kasurnya ke luar dan tidur beratap langit. Tapi itu memang hanya mungkin selama musim panas. Sejak akhir bulan lalu mereka tentunya harus tidur dalam ruangan bila tak mau beku kedinginan. Dan semua saja mereka yang di kamp itu memimpikan kereta api yang akan membawa mereka ke Jerman. "Kereta yang akan membawa kami ke Jerman, tanah impian," kata Maida. Jerman, dalam bayangan Maida dan orang-orang itu, adalah negara dermawan yang siap membantu mereka dengan dana dan pekerjaan. ANTARA RASA BELAS DAN KEMAMPUAN Korban konflik di bekas Yugo tentu saja bukan cuma orang Bosnia. Sebelum konflik yang sekarang ini, Republik Kroasia tahun lalu bentrok pula dengan Republik Serbia. Sekitar enam bulan, sampai Desember lalu, pertempuran berlangsung sebelum gencatan senjata diteken bersama. Tapi selama itu telah terjadi arus pengungsian orang Kroasia. Di perbatasan selatan Hungaria, di negara yang demokrasi masih barang baru, ada tawaran menarik: sebuah bekas pangkalan militer Pakta Warsawa diubah menjadi kamp pengungsi buat orang-orang Kroasia. Musim dingin lalu, akibat pertempuran di Osijek dan pengepungan Vukovar (dua kota di perbatasan timur Kroasia) arus pengungsi surut. Kini tinggal beberapa ratus keluarga Kroasia terdampar di kamp ini. Sebagian di antaranya telah kembali. Di sejumlah tempat tidur masih terlihat bekas-bekas pengungsi itu: tempelan bendera atau emblem Kroasia di tiang atau di kepala tempat tidur. Di Eropa Timur simbol-simbol seperti itu kini menjadi penting, lebih penting daripada sebelumnya, setidaknya di bekas Yugo. Nasionalisme menjadi seperti pakaian: Anda akan merasa telanjang tanpa menyatakan dari etnis mana Anda berasal. Sialnya, menurut seorang kolomnis Amerika ternama, inilah kebanggaan yang bikin perang antaretnis di Yugo itu. Tapi keramahan Hungaria kini harus diubah. Pemerintah di sini belum lagi menjadi Barat yang sanggup menyisihkan sejumlah dana untuk pengungsi. Untuk mengatasi kemiskinan bangsa sendiri saja Hungaria belum punya anggaran yang cukup. Jozsef Antall, perdana menteri terpilih lewat pemilu, mengeluh dengan pahit. Apa boleh buat, belakangan ia memerintahkan pasukan Hungaria menjaga perbatasan dengan bekas Yugo. Itulah mengapa tak banyak orang Bosnia mengungsi ke Hugaria kini. Tapi negara seperti Austria menghadapi dilema. Menolak para pengungsi itu sama halnya dengan mengingkari hak-hak asasi manusia. Membuka perbatasan lebar-lebar bukannya tak ada masalah. Lihat saja kamp pengungsi lain di Austria selain di Karlovac itu, yakni di Traiskirchen. Kamp ini lebih dulu didirikan daripada Karlovac, yakni di awal komunisme runtuh di Eropa Timur. Niat pemerintah Austria, Traiskirchen dipakai menampung para pengungsi dari negara-negara komunis: mereka yang terpaksa angkat kaki dari kampung halamannya demi sesuap nasi, itu bukan politik. Dan sebenarnya saja nama Traiskirchen begitu terkenal di negara- negara bekas komunis. Mereka menyebutnya sebagai dunia baru. Tapi "dunia baru" itu kini pun harus berpikir kembali, akankah melanjutkan reputasinya atau tidak. Dengarlah kata Frits Knotzer, wali kota Traiskirchen. Berakhirnya perang dingin seharusnya berarti lenyapnya kamp pengungsi, kata orang yang ramah, yang jadi pelindung sebuah klub musik rakyat itu. Ia mengaku tak keberatan adanya kamp pengungsi di kotanya. Tapi ia mengeluh tentang naiknya kasus pengutilan di toko-toko, tentang orang-orang yang suka tidur di jalan-jalan dan menggunakan Sungai Scwechat sebagai kamar mandi dan WC di musim panas. Dewan kota, katanya, lebih senang melihat bekas sekolah tentara itu berubah sebagai sekolah menengah. Sebab penghuni kamp itu, menurut penilaian sang wali kota, seperti masih berharap pulang kampung, dan tak berusaha menyesuaikan diri dengan suasana dan aturan hidup di Austria. Mestinya keluhan Knotzer karena ulah pengungsi etnis Albania. Di Traiskirchen sebagian besar penghuninya memang orang Albania, tapi bukan dari negara Albania, melainkan dari Kosovo, provinsi otonom di selatan Republik Serbia. Mereka adalah orang-orang Islam yang ditekan oleh Beograd untuk menyesuaikan diri dengan tradisi Serbia yang Kristen Orotodoks. Begitu konflik Bosnis- Serbia meledak, kecemasan di Kosovo pun muncul. Setelah Bosnia tentulah giliran mereka ditindas Serbia, pikir orang-orang Albania di Kosovo. Itu sebabnya, meski belum ada perang di Kosovo, pengungsi etnis Albania dari provinsi otonom ini cukup banyak. Lihat misalnya Beki Kurti, si gemuk dalam mantel panjang, pensiunan guru besar sastra di Universitas Pristina di Kosovo. Dulunya di Kosovo ia membuka usaha kecil-kecilan untuk menambah uang pensiunnya. Tapi penguasa Serbia menutup usahanya dengan alasan yang tak jelas. Maka ia memutuskan mengungsi ke Austria. Suatu hari ia berangkat dengan mobil dari Pristina lewat jalur-jalur sulit masuk ke republik Yugo yang lain, Republik Makedonia. Kemudian ia melintasi perbatasan Bulgaria, Rumania, lalu melalui bukit kayu Transylvania dan naik ke Hungaria sebelum berbelok ke barat menuju Wina, dan berakhir di beberapa kilometer ke Traiskirchen. Ia tidak bermaksud menetap di Austria, katanya. Ia hanya ingin menengok anaknya yang mendapat suaka musim panas lalu, setelah desersi dari pasukan Yugoslavia. Anaknya terpaksa melakukan desersi di masa tentara Federal Yugo disuruh berperang dengan Republik Slovania yang menyatakan kemerdekaannya -- konflik etnis pertama di Yugoslavia setelah Perang Dingin usai. Si anak juga tak ingin kembali ke Albania. Meski rakyat Albania pun akhirnya menyingkirkan komunisme, bagi orang Albania yang sudah lama berdiam di luar negeri, kembali ke negeri ini bisa dianggap pengkhianat: kembalinya mereka hanya akan menambah jumlah pengangguran dan keresahan sosial. Selain itu arus pengungsi dari Albania sendiri, terutama ke Italia, sungguh besar. Dan di Eropa terjadi penolakan kasar terhadap pengungsi, itulah yang terjadi di Italia tahun lalu terhadap orang Albania. Adalah pemuda Lutfi Troksi, 25 tahun, salah seorang pengungsi Albania itu. Pemuda kurus yang di kampungnya tinggal dengan abang dan dua kakaknya di pondok berlantai batu itu suatu hari menebeng di belakang truk untuk mencapai pelabuhan Durres, Albania. Ia menyelinap di antara barang-barang dagangan yang akan di bawa ke luar Durres, dan masuk ke kapal barang. Di situ ternyata sudah banyak orang yang menempuh cara serupa dengan Troksi. Bersama-sama orang dan penuh sesaknya barang, Lutfi ikut berlayar sehari semalam. Hawa bersuhu 40 derajat Celsius, menghimpit dirinya, juga rasa haus dan lapar. Tapi pintu masuk Italia tak menyambutnya dengan ramah. Setelah tiga hari hampir tanpa makan, 300 orang di antara pengungsi bersedia dipulangkan. Lutfi termasuk yang boleh tinggal. Ia diwawancarai berjam-jam oleh petugas imigrasi Italia, dan bersama hampir 30 orang lainnya ia dibawa ke sebuah penginapan di Milan. Ia merasa tinggal selangkah lagi menuju kemenangan. Suatu hari seorang lelaki medatangi mereka. Katanya, hendak membawa Lutfi dan kelompoknya ke Roma. Mereka agak bingung, tapi menurut saja. Barulah di pelabuhan udara mereka tahu yang sebenarnya, tapi sudah terlambat. Dalam waktu singkat Lutfi ternyata telah mendarat lagi di bumi Tirana, ibu kota Albania. Ia tak mencoba melakukan imigrasi gelap lagi -- karena terang-terangan hampir mustahil. Soalnya, tentara Italia kini berjaga di sepanjang perbatasannya. Demikianlah ironi pasca-Perang Dingin terbentuk. Sementara negara-negara bekas komunis membuka perbatasannya, mengangkat pagar kawat berdurinya, negara-negara Eropa Barat justru membangun menara-menara pengawas perbatasan. Maka para penjaga di tempat transit yang dibangun darurat di bekas pabrik gula di luar Siegendorf, daerah perbatasan Austria dan Hungaria, mendapat tugas baru: menjaring imigran. Dengan pengawasan itu rata-rata tiap hari bisa dijaring 55 pendatang haram di siang hari, sekitar 120 di malamnya. Itu angka di musim panas. Di musim dingin jumlahnya menurun, paling hanya 24 orang. Tapi tak pernah ada musim tanpa imigran gelap. TOLERANSI, ALHAMDULILLAH, DI MANA-MANA Krisis masalah pengungsi di Eropa menyulutkan kebangkitan sayap kanan di sepanjang benua. Di Jerman, bayangan masa lalu muncul. Kerusuhan rasial. Di Prancis, kerusuhan rasial akibat pendatang-pendatang ini juga merebak. Tahun lalu Prancis masih memberikan lebih dari 46.000 suaka politik. Tahun ini Prancis hanya mau menerima secara resmi tak lebih dari 1.100 pengungsi resmi dari Yugoslavia. Tapi itu yang resmi. Orang Bosnia yang nekat mencari hidup di negaranya Mitterrand itu konon mencapai 20.000 pengungsi. Penolakan Prancis bukan karena apa-apa, tapi sudah sejak sebelum terjadi krisis di bekas Federasi Yugoslavia, Prancis sudah direpotkan oleh pendatang haram dari Maroko. Orang-orang Maroko menyelundup dalam peti barang ketika kapal buang jangkar di Afrika. "Mereka hanya membawa sedikit makanan dan sebotol air. Kalau air bersih habis, mereka menampung air seninya di botol itu. Mereka umumnya kami temukan dalam keadaan menyedihkan," kata Alain Grassaud, jenderal tentara perbatasan Prancis. Tapi tak hanya satu jalan menuju Prancis. Banyak yang semula mengaku sebagai turis, mengunjungi kerabat, atau sekedar belanja. Hampir semua yang mendarat dengan feri La Napoleon dari Aljazair mengatakan bahwa mereka hanya akan tinggal beberapa hari, dan tak akan pergi dari Marseilles. Tapi itu cuma omongan, dan hampir semuanya lalu berusaha tinggal di Prancis, resmi atau tak resmi. Di Marseilles, di lantai II sebuah gudang tua dekat Islamic Meat Centre, ada "kerajaan" Syaikh Muhammad Abdelhadi Doudi, imam dan rektor Masjid Agung Prancis Selatan. Tiap Jumat tempat itu penuh orang bersalat jamaah, lebih dari seribu orang. "Islam tak punya kebangsaan," kata Syaikh itu. Itukah yang membuat orang-orang Maroko lalu berdatangan ke Prancis? Yang jelas, tuan-tuan tanah setempat memusuhi mereka dan menghalang-halangi pembuatan masjid yang dapat menjadi pusat berkumpulnya imigran gelap maupun resmi dari Afrika. Namun ketegangan paling terasa di Jerman, negeri pilihan kebanyakan pengungsi. Akhir Agustus lalu kerusuhan etnis merebak di berbagai kota di Jerman setelah "dipelopori" pendukung Neo Nazi di Kota Rostock. Tahun lalu tercatat 2.380 kasus kriminal yang menyangkut penyerangan terhadap orang asing. Orang-orang Jerman Timur, yang lama terisolasi dari pengaruh luar, belum punya kesempatan membangun tradisi toleransi yang umum di Barat adalah salah satu sumber kerusuhan rasial itu. Sampai-sampai sebuah stasiun radio di Frankfurt terang-terangan memotori gerakan anti-orang asing. "Di 170 negara di dunia cuma Jerman yang isinya orang-orang asing," bunyi salah satu poster mereka. Tapi bukan cuma poster seperti itu dibuat. Poster yang langsung membenci, langsung menantang ada juga. Sebuah wajah tampak tersenyum, lalu di bawahnya dicantumkan kata-kata yang artinya: "Siapa yang mau membantu merontokkan gigi si Abdul?" Atau, bila wajah itu wanita: "Siapa yang mau merontokkan rambut Aisha?" Selain yang terang-terangan, rakyat Jerman juga melakukan protes yang lebih "berseni". Di Schwalbach, kamp pengungsi yang padat di luar Frankfrut, laki-laki dan perempuan berbagai jenis kulit berkerumun di koridor bagian administrasi, mengisi formulir untuk mendapat sumbangan uang saku bulanan sekitar 80 DM, permohonan mendapatkan pondokan, atau mendapatkan tanggal wawancara dengan pejabat yang akan menentukan nasib mereka. Tiba-tiba, dari luar, sekelompok bocah-bocah perempuan menerobos di tengah kerumunan imigran itu. Pakaian anak-anak yang berwarna-warni dan bagus-bagus itu kelihatan kontras dengan penampilan para pendatang itu. Mereka tampaknya hendak menyampaikan "inilah kami masyarakat makmur, yang tidak mengakui orang yang tak segolongan". Schwalbach adalah tempat penyortiran pertama bagi pengungsi yang tiba di Bandara Frankfurt, tempat Klaus Sewerin mengepalai polisi perbatasan. Di situ ada sebuah tempat khusus perumahan darurat berupa asrama yang dapat menampung lebih dari 100 orang. Tapi mereka hanya bisa tinggal di situ paling lama tiga minggu sebelum pindah ke hotel atau ke penginapan prodeo di dekatnya: kamp pengungsi. Siapa pun yang datang, dengan paspor palsu atau tak membawa surat apa pun, di bawa ke tempat wawancara. Namun pada akhirnya Jerman menghormati undang-undang liberalnya. Yang berarti para imigran dibolehkan masuk untuk mendapatkan suaka, dan tidak menjadi urusan polisi perbatasan lagi. Mereka hanya boleh melindungi dan tabu menghakimi. Apakah kemudian permohonan para pengungsi itu -- untuk bertempat tinggal di Jerman -- dikabulkan atau tidak terserah pengadilan. Tahun lalu, dari 25.000 permintaan suaka hanya 7% yang dikabulkan. Yang jadi masalah, mereka yang permohonannya itu ditolak ternyata berusaha dengan segala cara untuk tetap tinggal di negeri itu. Celakanya, pemerintah Jerman tak bisa, misalnya, bertindak seperti pemerintah Inggris ketika memulangkan pengungsi Vietnam. Undang-undang Jerman manyatakan bahwa para peminta suaka harus dilindungi dan tak bisa dipaksa pergi dari Jerman begitu saja. Memang undang-undang itu disusun dekat setelah Perang Dunia, dan waktu itu siapa membayangkan bahwa akan terjadi suatu arus pengungsian dari banyak negara. Waktu itu justru Jerman (Barat) membutuhkan tenaga kerja dari seluruh dunia. Tapi undang-undang adalah undang-undang, kenyataan adalah kenyataan. Sampai Juli tahun ini Jerman telah mengeluarkan lebih dari 46.000 pencari suaka. Dan boleh dikatakan, semua pencari suaka setelah Perang Dingin usai adalah karena kemiskinan. Mereka ingin mencari hidup yang lebih baik. "Saya melihat melonjaknya angka ini karena alasan ekonomi, orang-orang yang mencoba memperbaiki standar kehidupannya," kata Seiter, Menteri Dalam Negeri Jerman. Bagaimanapun, masuknya imigran itu menimbulkan masalah dalam negeri, seperti yang dikatakan Seiter, "Kebanyakan negara tidak bisa lebih lama lagi menyediakan permukiman dan makanan bagi pencari suaka." Maka Jerman sedang memikirkan suatu amandemen undang-undang yang berkenaan dengan pencari suaka yang masuk ke Jerman. Padahal beberapa waktu lalu Jermanlah yang mengecam Inggris karena memulangkan pengungsi Vietnam. Sebelum amandemen disahkan memang sulit bagi Jerman menampik para pengungsi. Agustus lalu, misalnya, enam gerbong kereta api yang disewa orang-orang Bosnia menggelinding masuk ke Jerman. Dan di lapangan, kecuali polisi yang ditugasi memeriksa mereka dan kelompok ektrem kanan, umumnya tak seorang pun sampai hati mengatakan kepada mereka: negeri kami sudah penuh sesak. Alhamdulillah, toleransi, rasa sebagai sesama manusia masih ada di mana-mana. BSU

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus