Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Islam dan negara

Islam kini telah masuk dalam kehidupan politik indonesia. terlihat dengan banyaknya anggota mpr berasal dari kalangan islam.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI akhir 1980-an hubungan antara negara dan Islam di Indonesia menarik sekali diamati. Ungkapan seperti, jangan campur adukan Islam dan politik, ekstrem kanan, kelompok sempalan, yang dulu sangat memojokkan Islam, sudah tidak dikenal. Hubungan yang bersifat konfrontatif sudah berkurang. Malah ada kecenderungan hubungan antara Islam dan negara berubah dengan adanya kebijaksanaan Pemerintah yang akomodatif sekali. Lahirnya Yayasan Amal Bakti Muslimin Pan casila, terbentuknya Badan Amil, Zakat, Infak dan Sadakah, dihapusnya larangan berjilbab, sampai terbentuknya ICMI yang didukung oleh pimpinan negara, merupakan indikator yang dapat digunakan untuk melihat berubahnya pola hubungan itu. Hati orang Islam makin berbunga ketika Kepala Negara beserta keluarga dan sejumlah pejabat tinggi negara menunaikan ibadah haji. Hal itu terlihat dengan jelas menjelang pemilu lalu. Adalah tokoh Islam dan organisasi massa Islam yang membulatkan tekad untuk mendukung terpilihnya kembali Presiden Soeharto. Menjelang 1 Oktober lalu banyak orang ribut melihat adanya gejala baru dalam proses rekrutmen anggota MPR. Anak pejabat, istri pejabat, saudara pejabat, dan konglomerat yang dekat dengan pejabat diangkat jadi anggota lembaga tertinggi negara itu. Para politisi, pengamat politik, dan ilmuwan politik terhenyak begitu banyaknya anggota MPR "perimbangan" yang berasal dari kalangan Islam, khususnya aktivis dan komponen ICMI di pusat maupun daerah. MPR jadi hijau. Tak kalah menarik adalah tidak terpilihnya Abdurrahman Wahid, pimpinan salah satu organissi massa Islam terbesar di Tanah Air. Mengapa? Apakah karena keterlibatannya dalam Forum Demokrasi? Wallahualam. Politik, kata Harold Laswell, merupakan aktivitas yang menyangkut siapa memperoleh apa, bagaimana, dan kapan. Sedangkan, menurut David Easton, politik merupakan aktivitas yang menyangkut alokasi nilai secara otoritatif dalam sebuah masyarakat. Politik memang menyangkut juga masalah pembagian rezeki. Aktivitas politik yang dilakukan seseorang ataupun sebuah kelompok mestinya sudah diperhitungkan untung dan ruginya. Dalam konteks seperti ini apakah Islam terlepas dari politik? Tentu saja tidak. Islam dan politik ibarat gula dengan manisnya, kata Kiai Isya Anshari (almarhum), tokoh Masyumi yang dikenal keras. Dalam kerangka inilah kita melihat bagaimana menghijaunya anggota MPR (bukan DPR) seperti sekarang ini. Islam sejak dulu sesungguhnya komoditi yang sangat laris dalam politik. Hanya saja dalam sejarah kehidupan politik kita banyak sekali para politisi Islam yang memilih "Islam jalan lurus". Pokoknya ajaran Islam harus ditegakkan, sedangkan mereka lupa bahwa mereka berada di Indonesia, bumi mereka tempat berpijak yang basis sosialnya merupakan campuran dari segala macam asal-muasal. Akibatnya, penganut Islam jalan lurus berhadapan dengan kenyataan yang membenturkan kepala mereka di tembok. Lalu mereka mengambil jalan konfrontatif, mereka jadi pemain pinggiran. Mereka tidak tahu bahwa politik di Indonesia merupakan zero sum games, satu pertaruhan yang kalau kalah akan kehilangan segalagalanya. Orde Baru sebetulnya merupakan rahmat bagi orang Islam. Dengan Orde Baru intelektual muslim, yang sebelumnya sarungan dan sering ketinggalan dari kalangan intelektual gereja dan kelompok sosialis dalam mengkaji masalah kontemporer, memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan diri. Mereka dikirim belajar ke luar negeri. Generasi pertama hasil Orde Baru antara lain tercatat Amien Rais, Nurcholis Madjid, Syafi'i Ma'arif (Chicago), Yahya Muhaimin (MIT), A.M. Syaefuddin, Imaduddin, Jalaludin Rakhmat (Iowa State). Ketika kembali, mereka menebarkan kiprah. Mereka bukan hanya ilmuwan, tapi juga pendakwah Islam (dai) yang sangat laris terutama di kalangan kampus. "Quran di tangan kanan, ilmu pengetahuan duniawi di tangan kiri," kira-kira seperti itulah misi mereka. Sedangkan mereka yang berkiprah di luar kampus antara lain tercatat Dawam Rahadjo, Adi Sasono, dan Amin Azis. Di samping itu Orde Baru juga melahirkan figur, seperti Abdurrahman Wahid, tokoh yang melihat Islam dan negara dalam dimensi lain yang secara substansif sebenarnya sama, yaitu Islam mendapat tempat yang wajar di Indonesia. Mereka berpolitik? Tentu saja. Tak ada yang tidak ber politik di atas muka bumi ini. Bedanya terletak pada substansi perpolitikannya. Kalau pada permulaan Orde Baru, Islam sangat alergi dengan birokrasi, keadaannya sekarang sudah berubah. Proses saling mengakomodasi terjadi, Islam dan negara dapat berjalan seir ing. Tapi, menurut saya, kita masih perlu waktu untuk mengamati kelanjutan tesis ini. Apakah hanya sampai pada Sidang Umum MPR saja ataukah sampai dengan pembentukan kabinet? Kalau hanya sekadar pada SU MPR, tesis akomodasi harus diragukan diganti dengan tesis aji penggembosan. Kalau kabinet yang baru nanti wajah hijau-kuning semakin tampak, maka era baru perpolitikan Indonesia sudah berawal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus