"Ketika hukuman itu dibacakan, saya bagaikan roboh ke bumi. Pandangan saya ber kunang-kunang". Kalimat itu meluncur dari mulut Teungku Muhammad Hasan Mahmud, 50 tahun, dukun tersohor di Desa Samuti Makmur, Gandapura, Aceh Utara. Ia sangat terpukul. Peradilan adat di desa itu memvonisnya hukuman dikucilkan selama tiga tahun. Ia di anggap terbuki menghamili Ramlah binti Sabil, 23 tahun, seorang janda yang menjadi pasiennya. Ayah 9 anak ini malu besar. Putusan majelis adat, yang diketuai Keuchik (kepala desa) Samuti Makmur, Ben Buleuen Ahmad, dibacakan di hadapan 400 penduduk desa. Khalayak memadati meunasah -- semacam balai desa -- tempat peradilan itu berlangsung. Vonis itu jatuh Januari lalu. Akibatnya terasa hingga hari ini. Hasan dan keluarganya tak lagi diajak gotong-royong atau jaga malam. Penduduk bahkan menghindari bicara dengan Hasan. Sampai-sampai lelaki tegap hitam itu tak berani minum kopi di warung. Ia terpaksa ngopi ke Cot Mane, desa tetangga. Kisahnya berawal pada kunjungan janda Ramlah, suatu hari. Janda ini bermaksud untuk berobat. Keluhannya, perutnya ke rap sakit. Konon Hasan memang sering mengobati perempuan itu dalam kamar tertutup. Tak begitu jelas bagaimana cara pengobatan dilakukannya. Tahu-tahu belakangan dike tahui bahwa Ramlah hamil. Kesialan Hasan muncul ke permukaan ketika ia digunjingkan menolong Ramlah menggugurkan kandungannya. Isu berkembang. Bisik-bisik terdengar: Hasan berbakat Don Juan. Dalam praktek pedukunannya ia, katanya, suka mengganggu pasien wanitanya. Contohnya, ia pernah ketahuan menggerayangi Wardiyah, 20 tahun, ketika gadis itu berobat. Keterangan Wardijah itulah yang membuat Hasan digiring ke majelis peradilan adat. Apalagi sebelumnya Ramlah memang mengakui semua itu perbuatan Hasan. Masyarakat desa diundang ke meunasah. Majelis peradilan dibentuk. Anggota nya diambil dari pengurus Lembaga Musyawarah Desa (LMD). Di antaranya Ben Buleuen, Kepala Desa, Teungku Jamilun, Imam Masjid, dan dua orang ulama terkenal di desa itu. Ketika sidang digelar, terungkap bahwa tak seorang pun saksi melihat gejala Hasan menodai Ramlah. Dan yang terasa kurang adil, Hasan, yang juga hadir di sidang itu, tak dimintai keterangan. Satu-satunya pembuktian adalah cerita Ramlah. "Karena Ramlah mengaku, kami menganggap perbuatan yang dituduhkan itu benar," kata Ben Buleuen kepada TEMPO. Apalagi ketika Ramlah bertutur, Hasan terdiam. "Hasan sama sekali tak membantah. Berarti cerita Ramlah benar," Ben melanjutkan. Karena itu majelis sepakat bahwa Hasan bersalah. Amar putusan cukup berat. Hasan, misalnya, tak boleh ikut gotong-royong, jaga malam, dan meminjam aset desa. Ia juga tak boleh menyumbang mesjid, apalagi melakukan kenduri. Jika ia ditimpa musibah kematian, yang boleh datang ke rumahnya cuma Keuchik, Imam Masjid, dan beberapa orang tua. Namun, untungnya, keputusan itu tidak merambat ke sanksi administrasi. Misalnya mengurus KTP dan sebagainya. Hasan tetap diperkenankan berhubungan dengan kepala desa dalam urusan ini. Tentu saja putusan itu sangat berat bagi Hasan. Karena, "Tidak diproses menurut hukum, tapi saya dihukum," kata Hasan dalam bahasa Aceh. Ia mengaku sengaja berdiam diri dan tak membantah dalam persidangan itu karena merasa tak ada gunanya. Soalnya, masyarakat sudah menganggapnya bersalah. "Semua saya serahkan kepada Allah," kata Hasan yang bersekolah hanya sampai kelas II SD itu. Ia membantah keras menodai Ramlah. "Tuduhan masyarakat itu fitnah belaka," katanya. Termasuk juga tuduhan mengganggu Wardiah. Istri Hasan, Aisyah, menguatkan pernyataan suaminya. Ia menyebut suaminya seorang pria jujur. "Ia biasanya malu kepada perempuan," kata sang istri. Aisyah menduga banyak orang iri pada Hasan karena suaminya didatangi orang dari segala penjuru Aceh. Karenanya, Aisyah meminta Keuchik mencabut putusan itu. Belum lama ini permohonan itu diulangnya, tapi hingga kini permintaan itu tak di tanggapi. Aisyah bahkan minta Kades memproses suaminya ke pengadilan. "Jika suami saya bersalah, biarlah pengadilan yang memutuskannya. Jangan peradilan adat," kata Aisyah. Menurut ketua majelis adat, hukuman terhadap Hasan tidak melanggar hak-hak- nya. Sebab hak Hasan sebagai warga negara tak diikutkan dalam keputusan. Misalnya, Hasan tetap dilayani dalam soal pembayaran pajak, mengurus kredit, serta urusan semua surat-surat melalui kepala desa. Yang dihukum adalah hak adatnya di masyarakat karena ia telah merusak harkat dan martabat adat. Agaknya keistimewaan Provinsi Aceh bisa transparan dengan kisah Hasan ini. Namun jika dibandingkan dengan hukuman pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) jadi raja Aceh, hukuman atas Hasan tersebut tergolong ringan. Di masa itu pezina bisa dijatuhi hukuman mati, "Jika zina itu diketahui putra kandungnya, atau zina dengan istri panglima." Setidaknya itulah yang tertulis dalam buku Aceh Sepanjang Abad karangan Mohammad Said. Bersihar Lubis & Mukhlizardy Mukhtar (Lhokseumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini