Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ANGKA kekerasan terhadap perempuan meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2001, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat ada 3.169 kasus. Dua dasawarsa kemudian, angkanya melonjak menjadi 338.496. Kekerasan itu berupa fisik, psikis, ekonomi, dan seksual. Selain di dalam rumah tangga, sebagian kasus itu terjadi di ruang publik atau komunitas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan seksual umumnya berbentuk pemerkosaan dan pencabulan. Korbannya mencakup semua umur, dari kalangan anak di bawah lima tahun (balita) hingga lanjut usia, dengan rata-rata usia 13-18 tahun. Ini hanya data yang dilaporkan ke lembaga negara dan sosial. Sebab, kasus kekerasan seksual biasanya sulit diungkap karena terkait dengan tradisi dan budaya atau pandangan keagamaan yang menabukan pembicaraan seks di muka umum. Lebih dari itu, pengungkapannya sering menggandakan penderitaan korban perempuan dan keluarganya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saking gawatnya, Komnas Perempuan menyebut realitas tersebut sebagai “kegentingan kekerasan seksual”. Sebab, kejadian kekerasan seksual ada di semua ranah: personal, publik, dan negara, dengan korban dari berbagai tingkat pendidikan dan profesi. Para korban juga meliputi perempuan penyandang disabilitas, pekerja migran, serta pembantu rumah tangga. Tempat kejadian pun di segala ruang, dari rumah, sekolah, angkutan umum, kampus, tempat kerja, hingga di dalam sel tahanan.
Ada sejumlah asumsi yang berkembang di publik tentang akar kekerasan seksual. Pertama, mengarahkan kesalahan kepada perempuan. Mereka disalahkan karena memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang terlarang (aurat) di depan publik. Mereka tidak menutupinya atau tidak mengenakan jilbab ataupun hijab. Perempuan difitnah dengan tuduhan menggoda dan memicu hasrat seksual laki-laki.
Anggapan-anggapan ini sulit dipahami akal sehat. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak melakukan tindakan kejahatan dan mengenakan pakaian yang ia pilih bisa bersalah dan berhak dilecehkan bahkan diperkosa?
Dalam banyak kasus, kekerasan terhadap perempuan, terutama pemerkosaan, juga menimpa perempuan berjilbab. Koalisi Ruang Publik Aman, dalam survei nasional tentang pelecehan di ruang publik pada 2019, mendapati sejumlah komponen mengenai pakaian yang dikenakan perempuan saat mengalami pelecehan seksual. Dari semua responden yang mengalami pelecehan seksual, sebanyak 17,47 persen mengenakan rok panjang dan celana panjang. Di peringkat bawahnya ada perempuan berbaju lengan panjang (15,82 persen), seragam sekolah (14,23 persen), serta pakaian lain hingga 19 jenis. Pelecehan juga menimpa perempuan berhijab pendek atau sedang (13,20 persen), berhijab panjang (3,68 persen), serta berhijab dan bercadar (0,17 persen). Total sekitar 17 persen korban mengenakan hijab.
Sementara itu, perempuan tanpa jilbab tidak selalu memicu pemerkosaan atau kekerasan seksual. Hal ini menunjukkan pemerkosaan dan penampilan tidak berjilbab atau berhijab tak memiliki hubungan sebab-akibat.
Demikian juga alasan bahwa pemerkosaan terjadi karena pelaku terpengaruh pornografi. Tidak semua orang yang melihat gambar atau menonton video porno terlibat dalam aksi kekerasan seksual. Faktor-faktor ini lebih dari sekadar pemicu bagi munculnya impuls-impuls hasrat berahi laki-laki terhadap perempuan.
Kedua, asumsi yang menyalahkan pelaku dengan basis moralitas atau agama. Pandangan ini menganggap kekerasan seksual terjadi karena pelaku punya moralitas rendah, tidak bermoral, atau kurang memiliki pengetahuan agama. Pandangan ini boleh jadi benar. Namun baik-buruknya moralitas seseorang sulit didefinisikan atau diidentifikasi sebelum ia melakukan suatu perbuatan. Masalahnya, dalam sejumlah kasus pelecehan, pelakunya justru orang-orang terhormat atau yang dianggap terhormat oleh masyarakat.
Komnas Perempuan mencatat pelaku kekerasan seksual sangat beragam. Ada tokoh masyarakat, pejabat negara, anggota parlemen, bahkan tokoh agama. Di Jombang, Jawa Timur, misalnya, putra pengasuh Pondok Pesantren Shiddiqiyyah, Moch. Subchi Azal Tsani alias Mas Bechi, menjadi sorotan publik karena mencabuli sejumlah santri perempuan. Kasusnya terkuak setelah salah satu korbannya memberanikan diri melaporkannya ke polisi pada 2017. Pada 17 November lalu, Bechi dijatuhi hukuman pidana tujuh tahun penjara.
Berkaca pada kasus Bechi, bagaimana kita mendefinisikan orang yang bermoral baik sebelum ia melakukan suatu tindakan? Dalam perkara itu, Kiai Muchtar Mu'thi, pemilik Pondok Pesantren Shiddiqiyyah yang ketokohannya cukup berpengaruh, justru melindungi putranya. Kejadian ini jelas telah menggugurkan argumen “moralitas” dalam kasus-kasus kekerasan seksual.
Kekerasan seksual hanya satu bagian dari kekerasan terhadap perempuan. Pasal 1 Deklarasi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan menyebut kekerasan seksual sebagai “setiap perbuatan berdasarkan pembedaan berbasis gender yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman terjadinya perbuatan tersebut, pemaksaan atau perampasan kebebasan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di ruang publik maupun di dalam kehidupan pribadi”.
Maka kekerasan seksual terhadap perempuan cenderung berakar pada ketimpangan relasi kuasa berbasis gender yang mengakar dalam budaya masyarakat kita. Ia adalah sistem sosial-budaya patriarki; sebuah sistem atau ideologi yang melegitimasi laki-laki sebagai pemegang otoritas dan superioritas, menguasai, kuat, pintar, dan sebagainya. Dunia dibangun dengan cara berpikir untuk kepentingan laki-laki. Keyakinan bahwa perempuan secara kodrat adalah makhluk yang lembut dan lemah, inferior, melayani hasrat seksual laki-laki, dan sebagainya telah menempatkan perempuan seakan-akan sah ditaklukkan dan diperlakukan seenak laki-laki, termasuk dengan cara-cara kekerasan.
Ideologi patriarkis ini mempengaruhi cara berpikir masyarakat, mempengaruhi penafsiran atas teks-teks agama, juga para pengambil kebijakan publik atau politik. Pengaruh ini melampaui ruang dan waktu kehidupan manusia, baik dalam domain privat (domestik) maupun publik. Ketimpangan yang didasarkan pada sistem sosial atau ideologi ini yang berpotensi menciptakan ketidakadilan, subordinasi, dan dominasi atas perempuan. Dan semuanya ini merupakan sumber utama tindak kekerasan terhadap perempuan.
Ketimpangan relasi kuasa berbasis gender kian parah ketika satu pihak (pelaku) memiliki kendali lebih terhadap korban, baik dalam hal ekonomi, pengetahuan, maupun status sosial. Kendali muncul dalam bentuk hubungan patron-klien, seperti orang tua-anak, majikan-buruh, guru-murid, tokoh masyarakat atau tokoh agama-warga, pengasuh-santri, dan kelompok bersenjata atau aparat-penduduk sipil, bahkan orang pusat-orang daerah.
Kehidupan manusia dikonstruksikan oleh tiga kekuatan raksasa: adat, hukum negara, dan agama (pandangan keagamaan). Dari ketiganya, kekuatan agama memiliki resistansi paling tinggi karena diyakini sebagai keputusan Tuhan. Kritik terhadap teks keagamaan dipandang sebagai upaya melawan Tuhan, meski ia sesungguhnya tafsir manusia atas teks. Dan teks sesungguhnya tidak berbicara.
Adat dan hukum negara bukannya tak berpengaruh. Namun kedua kekuatan itu lebih mudah dikritik dan diubah karena profan. Perdebatan di lembaga legislatif sering macet dan menimbulkan huru-hara saat rancangan undang-undang terkait dengan isu yang diyakini publik bertentangan dengan teks agama. Misalnya kekerasan seksual dalam pernikahan (marital rape), usia nikah perempuan, atau kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga. Padahal diskriminasi gender bertentangan dengan prinsip tauhid, konstitusi, serta etika kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan manusia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo