Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Bagaimana Tawaja Ramzia Djanoan mengorganisasi perempuan Kepulauan Morotai melawan kekerasan seksual.
Tawaja Ramzia Djanoan membentuk LBH Perempuan dan Anak pertama di Morotai.
Tawaja Ramzia Djanoan merintis sekolah perempuan di desa-desa Pulau Morotai.
MATAHARI baru terbit ketika Tawaja Ramzia Djanoan menutup pintu rumah lalu bergegas menyusuri jalan Desa Daruba menuju pelabuhan. Setelah sepuluh menit, perempuan 54 tahun itu tiba di pelabuhan, kemudian naik perahu motor. Ia hendak menuju Pulau Galo-Galo di Kecamatan Morotai Selatan, yang berjarak tempuh satu jam dari Pulau Morotai, Maluku Utara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, Ahad, 18 Desember 2022, Tawaja hendak mensosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) kepada perempuan pesisir di Galo-Galo. Hampir setiap hari Ona—sapaan Tawaja Ramzia Djanoan—datang ke desa di pulau itu untuk memberikan pendampingan buat mengenalkan pentingnya pengetahuan kesetaraan gender dan pelindungan diri mencegah kekerasan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada 88 desa di Pulau Morotai yang menjadi wilayah pendampingan Ona. Desa-desa itu terpencar di banyak pulau yang berbatasan langsung dengan laut Filipina. Sejak 2015, dia mendirikan sekolah di beberapa desa. Sekolah itu sekaligus menjadi pusat pengaduan kasus kekerasan seksual. Di sekolah-sekolah ini pula ia mensosialisasi Undang-Undang TPKS.
Para “siswa” sekolah tersebut adalah perempuan desa, dari remaja hingga ibu rumah tangga. Jika ada aduan, para ibu yang menjadi pengurus kelompok akan mendiskusikannya bersama Ona untuk menempuh jalur hukum. Ona mendampingi mereka melalui Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Anak yang ia dirikan. “Kasus kekerasan seksual marak di daerah terpencil ini,” kata Ona.
Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Anak (LBH PA), Tawaja Ramzia Djanoan Pulau di Pulau Morotai menuju Galo-Galo, Maluku Utara, 17 Desember 2022. Tempo/ Febri Angga Palguna
Syahdan, kesadaran memberikan pengetahuan tentang kekerasan seksual dan cara menanganinya muncul 20 tahun lalu. Saat itu Ona tinggal di Desa Nain, di kawasan Taman Nasional Bunaken, Sulawesi Utara. Kala itu ia menyaksikan banyak perempuan nelayan tidak berdaya dan terpaksa menjual rumput laut ke perusahaan dengan harga murah. Perusahaan hanya membeli dengan harga Rp 1.000 per kilogram.
Rumput laut menjadi komoditas andalan penghasilan keluarga perempuan Bunaken. Selama tinggal di sana, Ona melihat ketidakadilan kepada perempuan-perempuan itu karena mereka perempuan. Bias gender dalam perlakuan terhadap nelayan perempuan mendorong Ona mengorganisasi mereka agar punya kekuatan bernegosiasi saat transaksi rumput laut.
Pada 2015, dia mendapat undangan mengikuti pelatihan yang diadakan Institut Lingkaran Pendidikan Alternatif Perempuan atau Kapal Perempuan. Kapal Perempuan adalah wadah pendidikan informal berbasis komunitas untuk memberdayakan perempuan miskin di akar rumput.
Di Jakarta, Ona belajar cara menggerakkan perempuan sehingga memiliki kesadaran kritis dan peka terhadap persoalan yang mereka hadapi. Dari pelatihan yang diikuti, Ona tahu bahwa ketidakadilan akan berakhir jika perempuan punya kesadaran diri bergerak bersama. Pulang dari Jakarta, Ona punya bekal pengetahuan mengorganisasi perempuan nelayan.
Namun, pengorganisasian belum stabil, suaminya, Marwan Adam, mesti pindah ke Maluku Utara. Marwan dari Ternate. Ia dosen di Politeknik Halmahera. “Di Morotai tantangannya lebih pelik karena ada banyak kasus kekerasan seksual,” ujar Ona.
Ia pun mengontak pengurus Kapal Perempuan. Ona hendak mendirikan LBH Perempuan dan Anak. Dalam bayangan Ona, LBH yang ia dirikan bisa memberikan pendampingan hukum bagi korban-korban kekerasan seksual, terutama karena adat dan budaya yang permisif terhadap kejahatan ini. Dari informasi yang ia kumpulkan, pada 2015 itu setidaknya ada 15 kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan di pulau-pulau kecil sekitar Morotai.
Pendiri Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Perempuan dan Anak (LBH PA), Tawaja Ramzia Djanoan (kanan) bersosialisasi dengan warga masayarakat di kawasan Pulau Morotai, Maluku Utara, 16 Desember 2022. Tempo/ Febri Angga Palguna
Ona mengajak 12 orang untuk bergabung merintis LBH itu. Namun, baru dua tahun LBH berdiri, mereka mengundurkan diri karena mendapat banyak tentangan dari penduduk setempat. “Masyarakat menolak LBH dan yang akan kami kerjakan karena bertentangan dengan tradisi,” kata Ona. “Di sini laki-laki harus lebih tinggi dibanding perempuan.”
Alih-alih menyerah, Ona makin rajin berkeliling ke kampung-kampung dan pulau untuk mengajak penduduk bergabung melawan kekerasan seksual. Toh, cibiran makin keras. Ona dianggap hendak merusak budaya dan tradisi di desa-desa itu. “Setiap hari saya mendatangi mereka, sekadar menanyakan kabar,” tuturnya.
Pelan tapi pasti, kunjungan silaturahmi itu berkembang menjadi diskusi tentang perlunya pelindungan bagi perempuan. Setelah mengenal Ona, penduduk berhenti menaruh curiga. Mereka mulai percaya bahkan bersedia diajak datang ke sekolah perempuan Ona yang dipusatkan di salah satu rumah penduduk. Ona mulai mengajarkan kedudukan perempuan, perspektif hak perempuan, hingga cara menangkis pelecehan seksual.
Karena umumnya tak menamatkan pendidikan dasar, banyak penduduk desa yang tak bisa baca-tulis. Ona memulai pelajarannya dengan kemampuan dasar ini. Pelajaran baca-tulis diselingi dengan materi tentang cara melawan kekerasan seksual, jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga, hingga mencegah pernikahan anak.
Mula-mula ia mendirikan sekolah perempuan di Desa Waringin. Kini sekolah perempuan sudah ada di Wewmo, Tiley Pante, Pulau Kolorai, dan Pulau Galo-Galo. Karena sendirian, tak setiap pekan Ona bisa mengunjungi semua sekolah di pulau-pulau itu. Apalagi ia juga harus membagi waktu sebagai dosen di Universitas Pasifik Morotai. Tapi penduduk yang bersedia menjadi pengurus membantunya memberikan materi pelajaran.
Tawaja Ramzia Djanoan memberi penyuluhan kepada warga Pulau Morotai, Maluku Utara, 17 Desember 2022. Tempo/ Febri Angga Palguna
Sekretaris Sekolah Perempuan Desa Waringin, Boki, mengatakan anggota sekolah perempuan di desanya saat ini sudah mencapai 50 orang. Sejak ada sekolah perempuan, jumlah kasus kekerasan berkurang. “Dulu kerap terjadi kekerasan, suami pulang mabuk pukul istri. Sekarang mereka tidak berani lagi karena kami datangi dan kami beri tahu main pukul bini bisa dihukum,” ucap Boki.
Pusat pengaduan kekerasan di Desa Waringin dan empat desa lain saat ini juga sedang gencar mensosialisasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual kepada penduduk laki-laki. Salah satunya dengan memanfaatkan forum-forum di gereja. Misalnya di Desa Waringin yang menggunakan forum di Gereja Palungan Raja. “Sempat ragu awalnya,” kata Boki. “Tapi ternyata pengurus gereja mendukung.”
Sekretaris Jemaat Nesar Senduk memberi izin para pengurus Sekolah Perempuan Desa Waringin mengadakan pertemuan rutin setiap ibadah Minggu usai. Ada sekitar 30 anggota jemaat laki-laki yang bergabung dalam tiap sesi. “Sekarang kasus kekerasan di desa kami sudah jarang terjadi karena kesadaran warga meningkat,” ujar Boki.
Firjal, Sekretaris Pusat Studi Gender Universitas Pasifik Morotai, mengatakan Pulau Morotai merupakan salah satu daerah dengan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan lumayan tinggi. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak menyebutkan ada 200 kasus kekerasan seksual di Maluku Utara pada Januari-November 2022. Dari jumlah tersebut, 15 kasus berasal dari Pulau Morotai.
Sekretaris Sekolah Perempuan Desa Waringin, Boki, di depan bangunan Sekolah Perempuan Marimoi sekaligus Posko Pengaduan, Desa Waringin, di Pulau Morotai, Maluku Utara., 16 Desember 2022. Tempo/ Febri Angga Palguna
Menurut Firjal, tingginya angka kekerasan seksual di Morotai terdorong oleh budaya dan tradisi. Salah satunya adalah budaya menyelesaikan kasus kekerasan seksual dengan membayar denda kepada keluarga korban sehingga jarang ada pelaku yang diseret ke pengadilan.
Tradisi penyelesaian kasus dengan cara membayar denda itu, kata Firjal, diadopsi dari hukum Islam yang belakangan direduksi menjadi transaksional. Selama pelaku sanggup membayar denda, persoalan akan dianggap selesai. “Sayangnya, hal itu telanjur dianggap lumrah,” tutur Firjal.
Kepala Seksi Hubungan Masyarakat Kepolisian Resor Morotai Brigadir Kepala Sibli Siruang membenarkan kabar maraknya kekerasan seksual di Morotai. Bahkan kekerasan seksual terhadap anak perempuan kerap terjadi di lembaga pendidikan, dari sekolah dasar, menengah, hingga atas. Polres Morotai menerima tiga-empat kasus pengaduan kekerasan terhadap perempuan setiap tahun.
Sibli menduga kasus yang tidak dilaporkan jauh lebih banyak karena masyarakat memilih penyelesaian kasus kekerasan seksual di luar jalur hukum. “Keberadaan LBH Perempuan dan Anak membuat sejumlah korban kekerasan sekarang berani melapor. Ini bagus karena masyarakat makin sadar hukum,” kata Sibli.
Meski begitu, jalan Tawaja Ramzia Djanoan alias Ona membangun kesadaran akan bahaya kekerasan seksual belum sepenuhnya berhasil. Banyak kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk kekerasan seksual, melaju ke jalur hukum tapi terhenti di tengah jalan karena pengadunya mencabut laporan dengan alasan membuka aib keluarga. “Perjuangan masih panjang,” ujar Ona.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo