Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALEIDOSKOP hukum 2022 pasti merekam kelahiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) pada Mei lalu. Undang-undang ini patut mendapat catatan khusus. Sebab, selain akhirnya disahkan seusai proses panjang sejak 2013, undang-undang ini adalah penanda dobrakan pemikiran kita tentang kekerasan seksual.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak mudah memutus rantai kekerasan seksual dalam sebuah masyarakat patriarkis, yang bertumpu pada nilai-nilai dan kepatutan yang ditentukan oleh dominasi laki-laki. Pelecehan seksual verbal atau sentuhan tanpa persetujuan, misalnya, kerap dianggap hal yang seharusnya diterima sebagai kewajaran pergaulan. Sedangkan orang-orang yang melawan nilai-nilai yang didominasi laki-laki justru sering mendapat kecaman dan ancaman. Bahkan, tak jarang, kekerasan seksual dianggap bagian dari adat dan tradisi yang harus dihormati, meskipun tradisi itu sekarang sudah jauh bergeser dari praktiknya di masa lalu, seperti yang terjadi dengan adat kawin lari di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Maka upaya melawan kekerasan seksual atas nama tradisi dan kewajaran yang salah kaprah dianggap perlawanan terhadap kemapanan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kekerasan seksual memang bukan hanya tentang korban perempuan, melainkan korban dari segala orientasi seksual dan ekspresi gender. Kekerasan seksual bisa terjadi pada siapa saja karena ia berawal dari relasi kuasa, yaitu pandangan mengenai hubungan mereka yang menguasai dan mereka yang dikuasai. Dalam masyarakat yang patriarkis, perempuan berposisi rentan karena selalu dianggap tak berdaya.
Dengan relasi kuasa sebagai akar persoalan, korban kekerasan seksual sering dianggap bukan korban. Dalam masyarakat patriarkis, perempuan atau korban yang kalah kuasa selalu dianggap bersalah karena menimbulkan hawa nafsu pelaku. Baju yang dikenakan atau bepergian sendirian dianggap sebagai kesalahan.
Masyarakat yang patriarkis seperti ruang tertutup yang tak menyisakan udara untuk bernapas bagi korban kekerasan seksual. Korban acap dicatat sebagai statistik, kasus personalnya tak mendapat penyelesaian hukum yang memadai. Pemulihan korban juga biasanya luput dari perhatian. Bahkan sering para korban kembali menderita dalam proses hukum karena harus mengungkap trauma untuk kepentingan pembuktian yang tak paham bahwa kekerasan seksual berdampak psikologis bagi mereka.
Dalam ruang yang pengap itulah para pendamping korban kekerasan seksual bekerja. Saraiyah, Ana Abdillah, Puput Joan Riwukaho, dan banyak perempuan lain berupaya mendampingi mereka dalam masyarakat yang menganggap kekerasan seksual sebagai kewajaran. Maka kelompok-kelompok pendamping korban kekerasan seksual mencoba menjernihkan ruang pengap itu dengan mengonkretkan ide tentang kerangka hukum bagi kekerasan seksual hampir satu dekade lalu.
Yang menyatukan mereka adalah mimpi tentang pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban. Tak mudah mewujudkan mimpi ini dalam sebuah masyarakat patriarkis. Mereka harus menerobos cara pandang tentang relasi antarmanusia.
Untuk itu, kita membutuhkan kebijakan yang bersifat mengatur umum dan memaksa, dalam bentuk undang-undang, sebagai faktor penting pendorong perubahan sosial. Undang-undang bisa memaksa masyarakat berubah melalui ancaman sanksi dan insentif. Undang-undang juga bisa membangun sistem bernegara untuk mengatasi masalah sosial, seperti pembentukan institusi, mekanisme, dan penganggaran.
Karena itu, UU TPKS tak melulu tentang hukuman. Di dalamnya diatur pencegahan kekerasan seksual; penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban; pelaksanaan penegakan hukum dan rehabilitasi pelaku; upaya mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual; serta upaya menjamin ketidakberulangan kekerasan seksual.
Meski begitu, UU TPKS bukan panasea atau obat ajaib yang mampu menyelesaikan segala persoalan kekerasan seksual dalam sekejap mata. UU TPKS adalah sebuah perangkat pengaturan yang harus dilaksanakan oleh penegak hukum dan institusi pelaksananya. Bahkan, dalam sistem hukum kita, sebuah undang-undang juga membutuhkan peraturan pelaksanaan agar bisa benar-benar diselenggarakan. Ada beberapa sumber daya, baik anggaran maupun institusional, yang hanya bisa diakses dengan peraturan pelaksana yang diminta undang-undang.
Paling tidak ada sepuluh topik peraturan pelaksanaan UU TPKS. Di antaranya tentang tata cara penanganan, pelindungan, dan pemulihan korban serta penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparat penegak hukum, tenaga layanan pemerintah, dan tenaga layanan pada lembaga penyedia layanan berbasis masyarakat serta kebijakan nasional mengenai pemberantasan tindak pidana kekerasan seksual. Semua peraturan pelaksanaan ini harus telah ditetapkan paling lambat dua tahun terhitung sejak aturan tersebut diundangkan, 9 Mei 2024.
Tenggat ini sebenarnya pendek, mengingat kondisi darurat kekerasan seksual yang kita hadapi serta kebutuhan perubahan paradigma penegak hukum dan pelaksana undang-undang. Belakangan, berkat UU TPKS, makin banyak kasus yang naik ke permukaan karena keberanian masyarakat mengungkapkannya. Namun keberanian masyarakat itu belum diimbangi kesiapan institusional dan sistem untuk menanganinya.
Kabar buruknya, setelah sembilan bulan berlalu, belum ada satu pun peraturan pelaksanaan. Penyebabnya: hambatan birokrasi dan anggaran, karena program penyusunan peraturan pemerintah dan peraturan presiden harus mengikuti siklus perencanaan reguler yang ternyata tak bisa mengakomodasi kedaruratan kekerasan seksual. Padahal para pemangku kepentingan UU TPKS sudah menyiapkan berbagai rancangan peraturan untuk mendukung pelaksanaannya.
Bila tak dilaksanakan, undang-undang hanya seonggok kertas tak bermakna. Apalagi UU TPKS memang akan mengubah sistem penegakan hukum dan pencegahan kekerasan seksual secara signifikan. Kita tak hanya membicarakan perangkat institusional, tapi juga cara institusi penegakan hukum memperlakukan korban kekerasan seksual.
Kita tak hanya membicarakan kesiapan fasilitas, tapi juga perubahan paradigma penegak hukum. Tak boleh ada lagi berita tentang korban kekerasan seksual yang laporannya ditolak karena korban dianggap menyetujui hubungan seksual tanpa ada pemeriksaan mendalam tentang peristiwanya. Juga jangan ada lagi ruang pengadilan yang justru menghakimi para korban karena pakaian yang dikenakan atau ketidaksetujuan yang tak bisa disampaikan akibat ketakutan dan relasi kuasa yang tak hendak dilihat oleh sistem hukum yang berwatak patriarkis.
UU TPKS bukan akhir perjuangan korban dan pendamping korban kekerasan seksual, tapi justru awal kerja panjang menyebarluaskan gagasan tentang kesetaraan manusia dalam relasi seksualitas. Selama ini kasus-kasus kekerasan seksual seperti disembunyikan di bawah karpet, tak terlihat dan diinjak-injak, bahkan dalam institusi-institusi negara. Ada kasus-kasus yang baru terungkap, yang justru melibatkan institusi negara, seperti di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah serta Tentara Nasional Indonesia. Wajar saja jika kita mempertanyakan komitmen pemerintah melaksanakan UU TPKS karena undang-undang ini juga mencakup upaya pencegahan dan penanganan korban, bukan hanya penegakan hukum.
Negaralah yang harus memulai penghapusan kekerasan seksual dengan komitmen tinggi, bukan pendamping korban yang selama ini bekerja tanpa meminta dukungan dan jauh dari lampu sorot. Pemerintah harus menyegerakan pembuatan peraturan pelaksanaan UU TPKS, institusi pelaksana, serta sumber daya manusia dengan paradigma baru tentang kekerasan seksual.
Sudah terlalu banyak korban kekerasan seksual yang tak tampak dalam statistik serta pendamping mereka yang bekerja dalam kesenyapan, bahkan tekanan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo