Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akemashite omedeto gozaimasu

Perayaan tahun baru di jepang. (sel)

21 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN baru di Jepang ditandai dengan ucapan akemashite omedeto gozaimasu. Akemashite, artinya "tahun baru telah tiba", sedangkan omedeto gozaimasu kira-kira sebanding dengan "selamat". Berbeda dengan kita di Indonesia, yang menerima tahun baru Masehi - semata sebagai tanda waktu yang formal sifatnya, orang Jepang memandang tahun baru sebagai saat yang sangat penting dalam hubungan pribadi dan, bahkan, agama. Pohon cemara, bambu, dan kembang tampil di mana-mana - di muka setiap rumah, kantor, toko, bank, hotel, restoran. Tapi satu jenis hiasan yang merupakan ciri khas perayaan Tahun Baru Jepang ialah ini: pohon pinus di pintu depan. Hiasan ini dibikin dari dahan pinus dan bambu, didirikan pada sebuah dasar yang terbuat dari tali dan kayu. Ini ditempatkan di pintu masuk rumah atau gedung. Sejumlah lembaran kertas putih terlipat rapi, digantung pada seutas tali, direntangkan pula di atas pintu, menyambut kedatangan Dewa Tahun Baru ke rumah. Tali itu dinamakan shimenawa, tali keramat, yang berperan dalam dongeng Jepang paling tersohor. Menurut dongeng itu, Amaterasu, Dewi Matahari, bersembunyi dalam sebuah gua karena tersinggung oleh kelakuan galak saudaranya, Susa-no-o. Dunia menjadi gelap gulita. Sejumlah dewa lain lantas berusaha membujuk Amaterasu yang ngambek itu, tetapi tak berhasil. Akhirnya, dewa-dewa itu mulai menari, menyanyi, dan ketawa di muka gua. Begitu ramai dan gaduh, hingga Amaterasu terpancing menengok ke luar. Dan saat itu, cahaya kembali meliputi dunia. Secepatnya para dewa merentangkan seutas tali di depan gua, untuk mencegah cahaya masuk kembali ke dalam. Dorongan rohaniah di balik perayaan Tahun Baru di Jepang memang sangat kuat dan nyata. Pada hari terakhir Desember, di seluruh Jepang dimulai persiapan untuk suatu kehidupan baru dengan meninggalkan segala kekisruhan tahun yang silam. Rumah dibersihkan, pakaian bekas dibuang, utang-utang dilunasi, sengketa didamaikan. Bagai Idul fitri di kalangan kita layaknya, atau lebih lagi. Bila saat tengah malam menjelang, genta di kuil ditabuh 108 kali. Ini menurut agama Budha melambangkan jumlah dosa yang mungkin menghinggapi seorang manusia. Dengan lenyapnya bunyi genta dan dosa - tahun barupun tiba. Orang lalu mengenakan baju dan kimono mereka yang terbagus, dandanam jumlah puluhan ribu memenuhi jaran-jalan dan segala jenis transportasi - mengalir menuju kuil dan tempat keramat lain. Mereka berdoa untuk nasib baik dan sukses di tahun yang baru. Menurut data statistik terbitan Lembaga Polisi Nasional lepang, bertanggal 4 Januari tahun lalu, 81,6 juta orang Jepang berziarah ke kuil atau wihara selama 7 jam pertama tahun baru 1983. Dan ini menunjukkan kenaikan 2,9 juta dari jumlah di tahun 1982. Yang terbanyak menarik pengunjung rupanya Kuil Meiji di Tokyo - 3,71 juta peziarah. Wihara Kawasaki Daishi mencatat 3,16 juta, sedangkan wihara yang lebih besar di Narita 3,03 juta. Sementara itu, Kuil Agung Sumiyashi di Osaka mencatat 2,91 juta, mengalahkan dengan tipis Kuil Fushumi Inari di Kyoto dengan 2,81 juta. Walhasil, hampir delapan dari setiap sepuluh orang Jepang merayakan tahun baru dengan ziarah ke kuil atau tempat suci. Di seluruh Jepang terdapat sekitar 100.000 kuil Shinto, plus 80.000 wihara Budha, menyebar bagai suatu jaringan yang secara simbolis mempersatukan seluruh kawasan, sejak kota besar hingga permukiman terkecil di gunung, lembah, dan pantai. Di kuil dan wihara yang terbesar mereka dituntun oleh anggota polisi yang menggunakan pengeras suara, dan diimbau untuk mengucapkan doa sesingkat mungkin. Sekitar setengah juta orang berdiri dalam suatu barisan panjang, sabar menantikan giliran untuk berada di muka bangunan utama kuil, melemparkan beberapa mata uang ke dalam kotak pengumpulan, bertepuk tangan dua kali, membungkuk dalam doa tertentu, kembali bertepuk dua kali, dan pergi. Kesibukan seperti ini seiring dengan hijrah besar-besaran para pekerja kota Jepang yang pada kembali mudik. Tahun lalu, Stuart D.B. Picken, profesor ilmu filsafat di Universitas Kristen Internasional, mempelajari kegiatan khas orang Jepang itu. Picken ingin membuktikan bahwa Tahun Baru Jepang mempunyai arti yang besar sebagai ungkapan religius khas Jepang. Menurut Picken, yang menulis dalam penerbitan Look Japan dua pekan ialu, kegiatan Tahun Baru terbagi dalam empat kelompok. Tiga di antaranya kita kutipkan: yang berlangsung sebelum 31 Desember, yang berlangsung selama tiga hari pertama Januari, dan yang sekitar tanggal 7 Januari. Orang Jepang masa kini merayakan Tahun Baru dengan cara yang hampir sama dengan yang dipraktekkan nenek moyang mereka, dan pasti dengan kegairahan yang sama. Perusahaan Siaran Jepang (NHK), misalnya, tak pernah lalai menyambut saat itu dengan bunyi genta wihara Budha yang disebut yoya no kane. Dentang genta itu memang mewakili semangat agama Budha yang telah menyesuaikan diri dengan pandangan Jepang, yang memandang tahun baru sebagai saat kebangkitan, pembaruan, dan pembersihan - tema yang menyelusuri berbagai upacara lain. Misalnya upacara susu-harai - menyapu secara simbolis semua sawan dan debu dari tiap sudut, hingga rumah menjadi siap, bersih, dan suci menjelang Tahun Baru. Upacara ini, yang masih banyak dilakukan, bisa juga disertai dengan upacara penyucian rumah dan keluarga sesuai dengan ibadat kuno agama Shinto. Biasanya, ini secara sungguh-sungguh dilakukan berbagai keluarga yang kuat mempertahankan tradisi. Beberapa tradisi utama yang mengawali dan menyusul Tahun Baru, dalam pada itu, mencerminkan suatu kesadaran akan lambang religius Jepang sepanjang tahun. Yakni seperti yang terlihat bila banyak orang tua menghadap ke matahari terbit, dan perlahan menepuk tangan tiga kali. Mereka itu sedang memberi penghormatan pagi hari, sebelum memulai kerja. Pemujaan terhadap matahari, sebagai sumber utama cahaya dan panas sepanjang tahun, memang terungkap dari situ. Lebih-lebih di hari pertama tahun baru. Menyambut terbitnya matahari pertama kali - di puncak gunung tertentu, atau di tepi samudra - dengan upacara yang dinamakan hatsu hi node. Ini masih banyak dilakukan secara umum sebagai bagian perayaan Tahun Baru. Sering sekali kegiatan sekitar awal tahun itu mencakup pengiriman kartu ucapan selamat atau nengajo. Kebiasaan ini cukup rumit: kartu sering sekali dilukis dengan alat fude, yakni pit atau kuas kecil, sekalipun sebuah keluarga harus mengirim kartu dalam jumlah yang banyak. Waktu yang tersita tentu saja tidak sedikit. Arti khas Tahun Baru hanya terpengaruh jika terjadi suatu musibah di tahun yang sedang silam. Mengucapkan selamat tahun baru dan mengirimkan kartu malah dianggap tak senonoh dalam keadaan semacam itu. Tamu di rumah pun tak akan mengucapkan akemashite omedeto goaimasu. Kedatangan tahun itu biasanya disambut dengan cara sangat sederhana. Suatu persamaan yang menarik, antara tradisi dan keadaan kini, terdapat pada kebiasaan perusahaan untuk membayar bonus pada akhir Juni dan Desember. Baik perusahaan maupun pribadi bisa membereskan neraca mereka, menyelesaikan utang, dan mengirimkan hadiah. Itu menandakan saat-saat pertengahan dan akhir tahun. Sejak sekitar 200 M, berdasarkan perintah kaisar wanita Jingu, sebuah upacara besar memang diadakan pada hari-hari terakhir Juni dan Desember. Yakni upacara Obarae. Tujuannya: membersihkan seluruh bangsa dari segala kesalahan dan kekeliruan. Di Jepang masa kini, upacara itu diadakan di Kuil Meiji di Tokyo. Para biksu lebih dulu menyucikan diri sendiri, kemudian menuju tempat masing-masing, yang sudah ditentukan. Mereka membacakan doa norito - bagian ibadat yang melambangkan peristiwa itu - kemudian menyobek secarik tenunan rami menjadi beberapa helai, dan melemparkannya di hulu Sungai Tama, Tokyo Barat. Melalui upacara itu, ketidak-sucian seluruh bangsa secara simbolis dihanyutkan ke laut. Ini juga selaras dengan bonenkai pesta akhir tahun, yang melambangkan rasa menyucikan diri yang sama. Di sini pun dosa yang terhimpun selama setahun dihanyutkan dengan meminum beberapa gelas sake alias arak Jepang. Tukar-menukar hadiah di pertengahan tahun (chagen) dan di akhir tahun (seibo) memenuhi fungsi yang serupa pula. Kegiatan ini jatuh bersamaan dengan kebiasaan tradisional untuk memperingati saat-saat itu sebagai tahapan waktu yang telah lengkap, yang "disucikan" dengan cara menyelesaikan berbagai problem, utang, dan urusan peka, sebelum tahapan berikutnya mulai. Secara sosial, Tahun Baru mengandung suatu pemantapan identitas dan pengukuhan solidaritas antara anggota keluarga, yang merupakan basis sistem sosial Jepang. Sekalipun keluarga inti semakin merupakan kenyataan umum, ungkapan seperti furusato (kampung halaman) dan fikko (rumah orangtua) masih hidup dalam bahasa Jepang - dibedakan dari heya (kamar) atau apaato (apartemen), yang mungkin saja berarti kediaman sementara. Pulang ke kampung halaman, pada Tahun Baru, merupakan perlambang kekuatan keluarga besar. Orang lari dari hiruk kota, menikmati kembali pemandangan, bunyi, dan rasa seperti yang mereka kenal pada masa kecil. Para wanita menyiapkan makanan bukan saja bagi keluarga mereka, tapi juga bagi arus tamu yang akan mengalir masuk dan keluar rumah selama hari-hari pertama tahun baru. Perusahaan dan organisasi lainnya pun mengadakan upacara pembukaan Tahun Baru. Direktur, atau pejabat utama lainnya, mengucapkan selamat dan menyampaikan kata-kata nasihat. Pada upacara ini, yang dinamakan hatsu-kao-awase (pertemuan hadap muka pertama), ibu-ibu biasanya mengenakan kimono. Shinnen-kai atau pesta Tahun Baru juga diadakan di rumah atau di restoran, tergantung kesukaan. Pesta ini dimaksud untuk membantu mengukuhkan solidaritas kelompok. "Seorang temanku," tutur Picken, sumber tulisan ini, "manajer sebuah perusahaan angkutan dan perjalanan selalu mengadakan shinnen-kai di rumahnya." Sang manajer memanfaatkan kesempatan itu untuk membangkitkan sedikit rasa kebersamaan tim, dan memberi semangat baru kepada anggota seksinya agar bisa mencapai sasaran yang telah digariskan pada tahun mendatang. Berbagai kegiatan sosial itu mengungkapkan, harapan yang sebenarnya sehubungan dengan tahun baru itu terutama adalah kesejahteraan dan keberhasilan materi. Segala upacara agama pun hakikatnya ditujukan ke sini. Sumbangan dari berbagai perusahaan kepada kuil Shinto sendiri, di hari Tahun Baru, sering cukup besar. Gepokan uang melebihi US$ 1.000 sering terlihat dalam kotak sedekah kuil yang sering bukan kotak, tapi lembaran kain lebar. Penyumbang lain mungkin mengundang seorang biksu Shinto datang ke perusahaan, dan mendirikan suatu upacara di kuil perusahaan, yang sering menempel bagaikan musala di kantor-kantor kita. Kami, dewa Jepang itu, rupanya bersikap fungsional dan pragmatis, alias tak pernah menolak masalah duniawi. Mereka menyukai kehadiran seorang manusia yang berseri karena keberhasilan dan menampilkan ciri kekayaan. Tak diragukan, ketiadaan batasan moral tentang keberhasilan dan kekayaan itu memberikan pada orang Jepang suatu sikap tertentu dalam hal bisnis dan ekonomi. Itu berbeda dengan berbagai bangsa lain, yang memiliki nilai tradisional yang mengajarkan penolakan akan harta, atau pandangan bahwa kekayaan materi hakikatnya hambatan bagi pengampunan. Para kami Jepang bersikap selaras dengan sukses ekonomi. Dan seperti halnya pada orang Cina, banyak ibadat yang mereka lakukan itu tertuju bukan kepada keselamatan akhirat, melainkan sukses duniawi. Kaisar, pada. hari Tahun Baru, tampil di muka umum - di balkon Istana Kekaisaran di Tokyo Pusat. Ia menyambut para pengucap selamat yang berhimpun di situ. Lalu lembaga olah raga kekaisaran, sumo, menyelenggarakan hatsubasho, pertarungan pertama. Waktu adalah penting dalam pandangan dunia Jepang. Waktu tidak hanya tersusun, tapi kegiatan manusia berlangsung sekitar berbagai tahapan waktu. Sejarah ekonomi telah menunjukkan bahwa penahapan waktu dan organisasi kerja sekitar suatu jadwal telah memberi sumbangan penting bagi kemajuan Barat. Bangsa Jepang memperoleh penataan waktu mereka terutama dari bangsa Cina. Tapi, lebih penting, mereka belajar memanfaatkan waktu yang tersusun dalam tahapan itu dengan suatu cara yang jauh lebih praktis daripada bangsa Cina. Tingkat piawai dari pembuatan berbagai macam lonceng dan alat pengukur waktu lainnya di Jepang, bukan hanya membuktikan suatu strategi pemasaran, tapi juga suatu masyarakat yang sadar waktu. Kedudukan Tahun Baru, dalam kerangka filsafat tentang waktu, memberikan kesempatan untuk mempelajari, menilai, merencanakan dan menentukan sasaran, serta memungkinkan pembagian suatu tugas yang besar dalam tahapan dua tahun, tiga tahun, atau empat tahun. Perusahaan Jepang terkenal unggul dalam perencanaan semacam itu. Logika waktu dalam kesadaran Jepang merupakan warisan yang sangat berharga dan, rupanya, memungkinkan perkembangan yang lebih mudah. Tahun Baru itu menandai usainya satu perjalanan bumi mengelilingi matahari, penyudahan suatu tahap perkembangan, dan dimulainya kembali upaya pembaruan. Sekalipun tanpa latar belakang di bidang astronomi, bangsa Jepang zaman kuno, dalam kosmologi mereka, menemukan suatu alasan untuk merayakan Tahun Baru - barangkali karena mulai saat itu hari-hari yang lebih panjang kembali lagi. Tapi, bagi orang Jepang, peristiwa itu bukan hanya saat perayaan yang ramai. Melainkan erat terjalin dengan sasaran pribadi, sosial, juga politis, di dalam masyarakat yang secara simbolis menyatakan suatu pengertian tentang dirinya dan proses gerakan. Tahun Baru menjadi melembaga. Dan menjadi lebih penting sebagai batas tahapan daripada sebagai tanda kenangan akan kejadian masa lampau. Bagi orang Jepang, agaknya, tak penting benar bahwa awal tahun itu di zaman mutakhir ditetapkan 1 Januari, dan bukan menurut kalender asli yang berdasarkan peredaran bulan. Apa yang dirasakan orang Jepang pada Tahun Baru? Ungkapan yang paling sering dihubungkan dengan Tahun Baru ialah penyegaran, pencerahan, dan penghargaan akan apa yang pada hakikatnya penting. Tindakan mengenakan kimono, mengunjungi tempat suci, dan memenuhi semua ibadat yang lain menyatakan hasil budaya yang berlapis-lapis - yang akhirnya diarahkan pada pelayanan bagi kesejahteraan bersama. Dan tampaklah hubungan kesemuanya itu, bagi profesor yang terkagum-kagum ini, dengan denyut lantung masyarakat Jepang modern yang dinamis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus