BAHAN bakar "eksotis", tampaknya, bakal kehilangan daya tarik. Paling tidak di dunia perlistrikan. Di Lembah California, AS, para ahli sedang bergulat membangkitkan listrik dengan energi 'kuno". Misalnya angin, air terjun, matahari, uap bawah tanah. dedak. bahkan tahi lembu. Proyek terbaru ialah kilang photovoltaic berkekuatan 6,5 megawatt, yang langsung mengubah sinar matahari menjadi listrik untuk dua ribu rumah, dan direncanakan beroperasi tahun ini juga. Dalam semangat itu pula, sebuah lembaga riset nonprofit, Worldwatch Institute, melancarkan telaah tentang stasiun pembangkit listrik di seluruh dunia. Dengan ongkos yang makin tinggi, dan harga minyak yang selalu "menari", lembaga yang bermarkas di Washington ini menyimpulkan, lebih baik membangun pembangkit listrik tenaga beruap (PLTU) ketimbang yang bertenaga nuklir (PLTN). Telaah yang berjudul Tenaga Nuklir: Pengujian Pasar, itu juga menemukan, pengembangan tenaga nuklir akhir-akhir ini telah terjerumus menjadi korban ongkos pembangunan yang makin tinggi, dan tambahan kebutuhan listrik yang makin rendah. Faktor-faktor inilah yang membatalkan pembangunan 87 PLTN di seluruh Amerika Serikat, sejak 1975. Kecuali di beberapa negeri, PLTN di seluruh dunia diperhitungkan mulai lumpuh menjelang penghujung tahun 1980-an. "Mungkin hanya di Prancis dan Jepang nuklir bisa lebih murah ketimbang batu bara," ujar Christopher Flavin, peneliti dan penulis hasil telaah tadi. "Di negeri-negeri berkembang, PLTN jelas tidak ekonomis." Faktor utama yang meningkatkan biaya PLTN ialah alat-alat pengaman baru yang sangat mahal. "Ongkos yang digunakan untuk bangunan, pipa, dan kabel dalam dasawarsa terakhir ini naik menjadi dua kali lipat," demikian telaah itu. "Dan upah tenaga kerja naik lebih dari tiga kali." Di pihak lain, kebutuhan akan kapasitas listrik juga menurun di sejumlah negara maju. Pada 1970, Amerika Serikat, Rropa Barat, dan Jepang memperkirakan menambah kapasitas listriknya sampai 600.000 megawatt pada 1985. Perkiraan ini ternyata meleset. Kebutuhan tambahan listrik untuk negara-negara tersebut di atas pada tahun depan ditaksir tak lebih dari 200.000 megawatt. Menurut telaah tadi, listrik yang dihasilkan PLTN baru akan - berharga Rp 100 sampai Rp 120 per kilowatt/jam (di Amerika Serikat). Harga ini bakal naik menjadi Rp 140 sampai Rp 160 per kilowatt/jam pada 1990. Sementara itu, listrik yang dihasilkan PLTU pada kapasitas dan waktu yang sama hanya berjumlah separuhnya. Namun, tidak semua ahli ternyata langsung menjatuhkan pilihan bila dihadapkan pada batu bara dan nuklir. California, seperti dicontohkan oleh proyek photovoltaic tadi, menolak keduanya. Para ahli dan penduduk kawasan ini tampaknya lebih terpikat kepada energi matahari. Pada akhir 1970-an, negara bagian California mengumumkan akan memproduksikan 10% pendayaan energinya dari sumber yang dipakai ulang, pada 1990. "Kami akan mencapai tujuan itu sebelum penghuiung dasawarsa ini," ujar John Qumley, dari komisi pelayanan umum negara bagian. Kini, 2.500 megawatt, atau sekitar 5% suplai daya energi negara bagian itu, dibangkitkan oleh sistem inovatif. Mereka memanfaatkan bendungan-bendungan mini, geotermal, metode angin dan matahari, serta "kogenerasi", yang memanfaatkan bahang buangan. "Lima tahun lalu, sumber-sumber energi itu belum digunakan," tulis The Nev York Times, bulan lalu. Tapi kilang photovoltaic, seperti yang sekarang dibangun di sekitar San Andreas, secara teknologis hasihya belum bisa disimpulkan. Banyak pertanyaan belum terjawab di sekitar proyek baru ini. Antara lain: manfaatnya dalam jangka panjang, penyusutan biaya eksploitasi, dan perbandingan terperinci dengan sistem konvensional yang sedang berjalan. Lebih dari itu, photovoltaic adalah bentuk energi baru yang sangat mahal. Teknologinya tidak menggunakan pembakaran dan bahang. Pihak yang membangun kilang ini, Arco Solar, merahasiakan anggaran belanja mereka. Meskipun demikian, para ahli sependapat, anggaran itu pasti "astronomikal". Dengan teknologi ini, listrik akan dibangkitkan oleh sel-sel photovoltaic. Dibuat dari silikon yang diproses dan dimurnikan secara istimewa, sel-sel surya dalam sistem ini membangkitkan aliran listrik ketika tertimpa sinar matahari. Foton-foton cahaya akan melepaskan elektron dari setiap sel surya. EIektron-elektron tadi akan dikumpulkan, disalurkan melalui kabel, dan dibalikkan ke belakang sel setelah selesai melakukan tugasnya. Tak ada barang terbuang, tak ada pembakaran. Kilang baru ini akan memiliki sekitar empat juta sel surya, yang disebarkan melalui 756 "perangkap matahari". "Perangkap-perangkap" ini, yang menjulang bagaikan tonggak batu abad modern, secara saksama akan mengikutl peredaran matahari. Selselnya dihadapkan langsung ke arah sang surya. Seluruh fasilitas ini dioperasikan oleh komputer. Perintah diberikan melalui pengendalian jarak jauh. "Situs" photovoltaic ini bebas dari kehadiran manusia. Kegiatan di Lembah California memang menggalakkan kecenderungan baru untuk berpaling dari tenaga nuklir - paling tidak di bidang pembangkit listrik. Pilihan yang tuntas memang belum dijatuhkan. Namun, semangat ini membuat para ahli dan pengambil keputusan kembali menoleh kepada sumber energi konvensional. Apalagi mengingat perkiraan bahwa pada pertengahan abad ke-21, bumi akan kehabisan sumber nuklir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini