TINGKAH LAKU POLITIK PANGLIMA BESAR SOEDIRMAN Oleh : Dr. Abdul Haris Nasution (et. al.) Penerbit: PT Karya Unipress, Jakarta, 1983, 134 halaman KEEMPAT karangan dalam buku ini, yang ditulis Dr. Abdul Haris Nasution, Dr. H. Roeslan Abdulgani, Prof. S.l. Poeradisastra, dan Sides Sudyarto, tidak memberikan pertanggungjawaban mengenai apa yang mereka maksud dengan tingkah laku politik. Karena itu, terasa kurang adanya kerangka konseptual dalam uraian mereka mengenai tema "Tingkah Laku Politik Panglima Besar Soedirman". Uraian keempat penulis - dengan pendekatan dan pemusatan perhatian yang berbeda - terutama berupa catatan mengenai sikap, pandangan, dan tindakan Panglima Besar Soedirman berhubung dengan perundingan dalam rangka strategi politik militer yang ditempuh pemerintah-pemerintah RI, berturut-turut sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949. Kedudukan dan peranan panglima besar selama kurun waktu itu sangat penting, tapi juga sangat sulit dan rumit. Seorang - panglima besar selain melihat persoalan dari dimensi militer, yang: menyangkut penentuan strategi dengan mengingat perbandingan kekuatan antara kita dan musuh, juga - harus memperhitunkan dimensi politik bahkan emosi politik baik di pihak pemerintah maupun di kalangan masyarakat ramai. Sebab, strategi militer tidak dapat dikembangkan lepas dari faktor emosi dan semangat rakyat. Pada tahun 1945, ada tiga macam usaha pendekatan untuk menyelesaikan konflik kita dengan Belanda mengenai pertanyaan yang sangat mendasar: Siapa yang berdaulat atas Indonesia (Hindia Belanda) sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945? Kita atau Belanda? Pertama, mengharapkan penyelesaian konflik melalui perundingan atau diplomasi. Pendekatan ini didasarkan pada perhitungan bahwa setelah negara-negara demokrasi memperoleh kemenangan dalam Perang Dunia II, kekuatan-kekuatan demokrasi di dunia - termasuk di Negeri Belanda - akan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia asal saja kita memperhatikan wajah demokrasi secara meyakinkan. Kedua, menolak perundingan dan yakin bahwa penyelesaian konflik hanya dapat dicapai melalui perjuangan rakyat yang radikal dan revolusioner. Pendekatan ini didasarkan pada paham bahwa antara imperialisme dan revolusi tidak mungkin ada kompromi. Ketiga, yakin bahwa kemenangan hanya dapat dicapai apabila strategi politik militer kita bisa menggabungkan perundingan, perjuangan militer, dan perjuangan rakyat. Pendekatan ini didasarkan pada perhitungan bahwa pada 1945, bahwa baik kita maupun Belanda terlalu lemah untuk memaksakan kemauan kepada pihak lain dengan kekuatan militer. Sebab itu, kedua pihak, juga karena faktor internasional, harus berunding. Meskipun demikian, tidak realistis mengharapkan penyelesaian konflik yang bersifat mendasar melalui perundingan saja. Kedua pihak akan berusaha memperoleh simpati dunia, akan memberikan konsesi-konsesi, kecuali di bidang-bidang yang mereka anggap vital, sambil bersiap-siap menghadapi adu kekuatan terakhir. Sejak mula, saya secara konsisten ikut mengembangkan ketiga kerangka konseptual. Kerangka inilah yang menghasilkan kemenangan bagi kita dalam Perang Kemerdekaan, dalam arti Belanda akhirnya mengakui bahwa kitalah yang berdaulat atas Indonesia. Sebab, yang disebut RIS itu secara de facto adalah Rl. Antara lain, karena angkatan perang RIS itu tidak lain dari TNI ditambah unsur KNIL, sepanjang unsur itu akseptabel bagi TNI. Dalam kerangka konseptual itulah kita dapat mengadakan beberapa catatan mengenai keempat tulisan pada buku Tingkah Laku Politik Pangllma Besar Soedirman. Dalam tulisan A.H. Nasution, sepintas lalu diceritakan suatu peristiwa yang cukup penting, yaitu Presiden Soekarno pernah memberikan kekuasaan kepada Panglima Besar Soedirman untuk menyerang musuh di semua front dengan hasil berupa "pertempuran-pertempuran pinggiran" (halaman 16 dan 17). Dengan latar belakang pengalaman itu, maka Panglima Besar Soedirman pada umumnya telah mengikuti strategi politik-militer pemerintah, yang menggabungkan diplomasi dengan perjuangan militer. Catatan Nasution bahwa Pak Dirman menegakkan semacam "otonomi" ABRI sangat penting untuk memahami sejarah RI sampai sekarang ini. Dari tulisan Roeslan Abdulgani, yang menarik ialah surat untuk Panglima Besar Soedirman sebelum Presiden Soekarno meninggalkan Yogyakarta (halaman 52). Berdasarkan rekonstruksi Peristiwa 3 Juli 1946, S.l. Poeradisastra memberikan penilaian watak bahwa Soedirman adalah seorang patriot besar. Tapi ia juga seorang manusia biasa: tidak selalu dapat konsekuen dan, demi memelihara persatuan serta demi ketaatan kepada pemerintah, telah mengalah dengan kebesaran jiwa (halaman 85). Menurut Tulisan Sides Sudyarto, kunci bagi tingkah laku politik Panglima Besar Soedirman ialah loyalitasnya terhadap Soekarno (halaman 124). Dalam batas-batas tujuan penerbitan ini, yaitu sekadar "sebagai usaha untuk ikut menyumbang penyajian data dan analisa yang mengarah tersusunnya sejarah yang Iebih mantap, kelak di kemudian hari" (Kata Pengantar), maka buku ini dapat dihargai sebagai dorongan untuk menulis sejarah yang Iebih mantap seperti yang diharapkan. T.B. Simatupang *) Kepala Staf Angkatan Perang RI (1950-1951)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini