Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akhir Kongsi Dua Sekawan

Berkolaborasi sejak 2007, hubungan Anas dan Nazaruddin berakhir setelah sejumlah skandal korupsi Nazar terbongkar. Gaya hidup sang Ketua Umum dikritik.

11 Juli 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski masih ditutup pagar seng, kemegahan rumah itu sudah bisa dilihat. Menurut tukang yang bekerja di situ, total luas bangunan dua lantai itu 1.000 meter persegi. Bangunan luarnya sudah hampir selesai. Satu pendapa besar berbentuk joglo berwarna merah berdiri di halaman rumah, merupakan perpaduan arsitektur Jawa-Bali.

Puluhan pekerja masih terus melanjutkan pembangunan rumah di Jalan Teluk Langsa, Kaveling Angkatan Laut, Duren Sawit, Jakarta Timur, itu. Lurah Duren Sawit Suprapto mengatakan bangunan itu milik Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Imin, tukang ojek yang mangkal di kompleks itu, menyebutkan bangunan tersebut merupakan tiga rumah yang kemudian disatukan. ”Itu akan jadi satu rumah,” katanya.

Tempo menghubungi kantor ERA, agen properti, untuk mengetahui harga pasar di Kaveling Angkatan Laut Duren Sawit. Menurut seorang petugas di kantor itu, harga rumah dua lantai seluas 300 meter persegi berkisar pada Rp 3-5 miliar. Artinya, dengan tiga rumah yang disatukan, bangunan yang sedang dikerjakan itu bernilai setidaknya Rp 9 miliar.

Sementara rumah barunya masih dibangun, Anas tinggal tak jauh dari situ. Rumah mantan Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam itu jauh ”lebih sederhana” daripada rumah barunya. Berdiri di tanah seluas 300 meter persegi, rumah yang catnya sudah pudar itu ditutupi pagar kayu cokelat setinggi dua meter. Dua pohon belimbing besar merindangkan halaman.

Sebelum memimpin partai bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu, Anas merupakan pengurus pada periode kepemimpinan Hadi Utomo. Ia masuk partai itu pada 2007, sesaat setelah melepaskan jabatannya sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum. Ia berpengalaman menyelenggarakan pemilihan anggota legislatif dan pemilihan presiden 2004. Saat di Komisi Pemilihan Umum, koleganya adalah Nazaruddin Sjamsuddin, Chusnul Mar’iyah, Daan Dimara, Hamid Awaludin, Mul­yana W. Kusumah, Ramlan Surbakti, Rusadi Kantaprawira, dan Valina Singka Subekti.

Pada Desember 2007, setelah keluar dari Komisi Pemilihan Umum, Anas melaporkan harta kekayaannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Di situ tercatat, ia memiliki kekayaan Rp 2,24 miliar dan US$ 2.300.

Dalam laporan itu, Anas menyatakan memiliki sejumlah tanah dan bangunan senilai Rp 965,5 juta yang tersebar di Jakarta Timur, Depok, dan Karawang. Perinciannya, di Jakarta Timur terdapat bangunan seluas 275 meter persegi yang diperoleh sendiri pada 2001. Pada saat harta dilaporkan, bangunan itu dinilai Rp 155 juta. Selain itu, ada tanah dan bangunan seluas 539 dan 237 meter persegi, yang dihargai Rp 613,3 juta. Aset ini disebutkan diperoleh pada 2001.

Di Depok, tercatat tanah seluas 1.550 meter persegi. Pada 2007, nilai tanah itu ditaksir Rp 127,1 juta. Kemudian, di Karawang, Anas melaporkan memiliki dua petak tanah seluas 11.412 dan 1.620 meter persegi. Kedua lahan yang diper­oleh sendiri pada 2007 itu bernilai Rp 57 juta dan 11 juta.

Pada 2007, Anas tercatat memiliki tiga mobil dan satu sepeda motor. Mobil pertamanya Kia Carens keluaran 2000, yang saat itu ditaksir bernilai Rp 110 juta. Mobil kedua Nissan Serena keluaran 2004, senilai Rp 110 juta. Lainnya Innova buatan 2007, yang dibeli sendiri pada tahun itu juga senilai Rp 155 juta.

Masuk Partai Demokrat, Anas tampaknya segera menemukan rekan seiring. Pada 2007, ia mulai berkongsi dengan Muhammad Nazaruddin, ketika itu wakil bendahara umum. Melalui PT Panahatan, dua politikus ini merenda bisnis dengan menguasai sejumlah perkebunan kelapa sawit di Duri, Riau, serta proyek konstruksi dan pengadaan alat-alat rumah sakit. Anas dicantumkan sebagai komisaris dan Nazaruddin komisaris utama, masing-masing memiliki 35 persen saham. Adapun Muhammad Nasir, adik Nazaruddin, tercatat menguasai 30 persen.

Pada 2008, Anas dan Nazaruddin bekerja sama melalui PT Anugrah Nusantara. Dari akta yang diperoleh Tempo, modal awal perusahaan yang berdiri pada 1999 di Pekanbaru, Riau, itu Rp 2 miliar. Modal itu bertambah menjadi Rp 100 miliar pada 2006 dan meroket menjadi setengah triliun rupiah pada 2009. Aneka proyek pemerintah mendongkrak pertumbuhan bisnis kedua politikus.

Anugrah Nusantara tercatat sebagai salah satu pemenang dalam tender Proyek Pengadaan dan Revitalisasi Sarana dan Prasarana Pendidikan di Kementerian Pendidikan senilai Rp 142 miliar pada 2007. Keberhasilan ini tak lepas dari permainan Nazar dalam memuluskan usulan proyek di Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat.

Dimintai konfirmasi soal ini, Anas mengatakan namanya tidak ada lagi di dua perusahaan itu. ”Saya sudah keluar di semua perusahaan,” katanya. Sekretaris Dewan Kehormatan Partai Demokrat Amir Syamsuddin mengatakan Anas mengundurkan diri pada 2009.

Menurut Amir, selama menjabat komisaris di perusahaan Nazaruddin, Anas tidak pernah menerima dividen atau terlibat dalam pengambilan keputusan. Ia juga tak pernah mendapat laporan keuangan dan mengikuti rapat umum pemegang saham. ”Bahkan, apakah kebun kelapa sawit Panahatan betul-betul ada, ia pun tak tahu,” ujarnya. Nazaruddin, yang dihubungi melalui BlackBerry Messenger, mengatakan hal sebaliknya. Menurut dia, Anas masih memiliki kuasa dalam pengaturan keuangan perusahaan.

Pada awal masa ”kerja sama” bisnis, Anas pernah menikmati Toyota Camry yang diberikan Nazaruddin. Tapi, menurut Anas, mobil itu bukan pemberian. ”Dia meminjami dan dalam beberapa bulan sudah saya kembalikan ,” kata pria 42 tahun itu.

Di rumah Anas kini terlihat dua mobil, yaitu Range Rover dengan nomor ”B 1 PD” dan Alphard Vellfire. Ketika Tempo menyambangi rumahnya, Range­ Rover terparkir di halaman. Beberapa orang yang berhubungan dengannya juga sering melihat Anas mengendarai mobil Hummer.

Orang-orang dekat Anas bukannya tidak pernah mengkritik gaya Anas. Sindiran yang dilontarkan kepada sang Ketum—akronim dari ketua umum—tidak digubris. ”Memangnya kenapa? Saya kan bukan pejabat negara,” begitu jawabannya setiap kali koleganya mengkritik.

Anas membantah semua tudingan. ”Tidak ada yang benar tudingan itu. Semuanya fitnah,” katanya. Asmar Omar Saleh, orang dekat Anas dan pengurus Demokrat, juga tak percaya. ”Ketua umum kami miskin, kok,” ujarnya.

Setahun lebih setelah Anas memimpin Partai Demokrat, hubungannya dengan Nazaruddin berakhir pahit. Dari pelariannya, Nazaruddin terus melancarkan tuduhan. Di Jakarta, pekan lalu, Anas dan sejumlah petinggi partai itu melaporkan sang mantan bendahara umum ke polisi. Dalam politik, tak ada kawan abadi.

Setri Yasra, Anton Septian, Fanny Febiana, Heru Triono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus