Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sepuluh anggota Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI memadati ruang kerja Wakil Sekretaris Jenderal Komisi Pemilihan Umum Asrudi Trijono, Rabu siang pekan lalu. Beberapa di antaranya sibuk mengotak-atik komputer jinjing. Ada juga yang meminta anggota staf Komisi Pemilihan memanggil Sigit Joyowardono, Kepala Biro Hukum KPU. Sekitar sepuluh menit kemudian, yang dipanggil datang membawa sejumlah berkas. "Mereka sedang mengumpulkan bukti soal surat palsu," kata Sigit.
Sejak pukul dua siang hingga sebelas malam, sepuluh polisi tanpa seragam itu, empat di antaranya perempuan, mengubek-ubek gedung Komisi Pemilihan Umum, Jalan Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat. Sebagian masuk ruang anggota Komisi, Saut Sirait, di lantai dua dan mengambil komputer yang dulu digunakan anggota staf Andi Nurpati Baharuddin, bekas anggota KPU. Setelah Andi menjadi Ketua Divisi Komunikasi Publik Partai Demokrat, komputer itu dipindahkan ke ruang Saut, yang menggantikannya.
Sumber Tempo di KPU menyebutkan komputer itu dulu digunakan Sugiharto, bekas anggota staf Andi, yang kini jadi anggota staf Saut Sirait. Dengan komputer itu, Sugiharto mengetik konsep surat permintaan penjelasan ke Mahkamah Konstitusi soal perselisihan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Surat itu lalu dikirim melalui mesin faksimile, yang juga disita polisi. Di hadapan Panitia Kerja Mafia Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas persoalan surat palsu Kamis malam pekan lalu, Sugiharto mengaku konsep surat yang diketiknya berasal dari Andi.
Andi Nurpati memang sedang menjadi sorotan dalam kasus surat palsu Mahkamah Konstitusi tertanggal 14 Agustus 2009. Surat palsu bernomor 112 itu menambah perolehan suara Partai Hati Nurani Rakyat di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I sehingga kader Hanura, Dewi Yasin Limpo, lolos ke Senayan. Belakangan, surat itu diketahui palsu dan Dewi tak jadi dilantik. Awal Juni lalu, Ketua Mahkamah Mahfud Md. melaporkan kasus itu ke polisi. Salah satu nama yang disebut Mahfud adalah Andi Nurpati.
Juni lalu, tiga kali polisi mendatangi Komisi Pemilihan. Mereka meminta keterangan dari sejumlah anggota staf dan pensiunan yang dianggap mengetahui persoalan tersebut, termasuk alur penetapan calon terpilih berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi.
Rabu pekan lalu, polisi juga menyita lima kaset rekaman, notulensi, dan foto dokumentasi rapat penetapan calon anggota DPR terpilih serta notulensi rapat penetapan calon. Pemeriksaan difokuskan pada Hari Alma Vintono atau Ario, bekas sopir Andi, dan dua bekas anggota staf Andi Nurpati—Sugiharto dan Matnur. Polisi juga memeriksa anggota staf Ketua Komisi Pemilihan, Chairul Anam, yang mendapati surat palsu Mahkamah tergeletak di meja kerjanya.
Kepala Bagian Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Besar Boy Rafli Amar mengatakan peran Andi belum bisa disimpulkan karena penyelidikan terus berjalan. "Nanti kita lihat bukti-bukti, ada keterkaitan dia atau tidak," katanya. Namun salah seorang yang diperiksa polisi kepada Tempo menyebutkan pemeriksaan mulai mengarah ke peran Andi.
Rapat pleno di ruang Ketua Komisi Pemilihan Umum Abdul Hafiz Anshary pada Senin siang pekan lalu terhenti sejenak. Seorang anggota staf mengabarkan Andi Nurpati datang ingin bertemu dengan para komisioner. Hafiz menyuruh Nurpati menunggu.
Sekitar 20 menit kemudian, rapat yang membahas sejumlah kasus pemilihan umum kepala daerah itu dihentikan. Dua komisioner, Abdul Aziz dan Saut Sirait, memilih meninggalkan ruangan. Masih tersisa di ruangan itu anggota Komisi, Syamsulbahri, Endang Sulastri, dan Sri Nuryanti, serta Kepala Biro Hukum Sigit Joyowardono.
Sumber Tempo yang mengikuti pertemuan itu mengatakan Andi tak diterima dengan hangat. Tak ada satu pun anggota mengambil inisiatif menyalaminya. Walhasil, Andi yang mendatangi mereka satu per satu untuk bersalaman. "Suasananya kaku," kata sumber ini.
Andi ingin memperoleh dukungan dari koleganya di KPU. Dalam pertemuan itu, ia menyodorkan dokumen kepada tuan rumah. Andi ingin KPU menggelar konferensi pers untuk membelanya. Tapi para komisioner menyatakan semua penjelasan sudah diberikan ke Panitia Kerja Mafia Pemilihan Umum DPR.
Sadar tak mendapat dukungan, Andi memilih pulang. Kepada Tempo, ia membenarkan meminta dukungan kepada para komisioner. Kepada bekas koleganya itu, Andi menyatakan ada surat lain yang dikirim dari nomor faksimile yang sama. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. mengatakan nomor faksimile itu sudah tak aktif dan surat yang dimaksudkan Andi nyatanya tak palsu. Soal sengkarut ini, "Saya meminta Komisi Pemilihan meng-clear-kan ini," kata Andi.
Seorang anggota staf KPU mengatakan tak hanya kali ini Andi mendatangi bekas kantornya. Beberapa kali ia datang menemui Matnur, bekas anggota stafnya, dan bekas komisioner lainnya. Andi juga beberapa kali berusaha menghubungi Ario, bekas sopirnya.
Kesaksian Matnur dan Ario dalam rapat dengan panitia kerja DPR pada 14 Juni lalu memang memberatkan Andi. Ario mengaku menerima dua surat—nomor 112 dan 113—dari anggota staf Mahkamah bernama Mashuri Hasan. Surat itu diterimanya di Jak TV pada 17 Agustus 2009 saat Andi diwawancarai di stasiun televisi itu. Seharusnya surat resmi diberikan ke kantor Komisi.
Kepada Tempo, Ario mengatakan sebenarnya Andi juga menyuruhnya berbohong saat ia dimintai keterangan oleh Ketua KPU saat heboh surat palsu muncul pada 2009. "Saya disuruh Bu Andi supaya bilang surat itu saya terima di kantor, bukan di Jak TV. Ya, saya nurut aja," ujarnya.
Sedangkan Matnur dalam rapat dengan DPR mengaku disuruh Andi menyimpan surat nomor 112 dan menyerahkan surat nomor 113 kepada anggota staf Ketua Komisi Pemilihan Abdul Hafiz Anshary. KPU sempat menetapkan Dewi Yasin Limpo sebagai calon terpilih dengan menggunakan surat nomor 112 palsu yang ada di meja Chairul Anam, anggota staf Ketua Komisi Pemilihan. Matnur mengaku pernah diminta menemui Andi. Tapi ia menilai tak ada tekanan dari bekas bosnya itu.
Sedangkan Ario mengaku pernah ditelepon oleh Andi setelah dimintai keterangan di DPR. Ia tak mengangkat telepon dari Andi karena takut. Belakangan, Andi menelepon melalui nomor adiknya yang menjadi pegawai negeri di Komisi Pemilihan. Dalam telepon itu Andi menanyakan keterangan Ario kepada Panitia Kerja DPR. "Selebihnya saya tak tahu dia bicara apa karena terlalu teknis. Ribet," kata Ario.
Andi Nurpati mengaku belakangan kerap ke Imam Bonjol untuk mengumpulkan data yang diperlukan dalam menghadapi berbagai tuduhan. Ia juga mengakui menelepon Ario dan bertemu dengan Matnur. Tapi ia membantah menekan bekas anggota stafnya itu. Andi juga membantah pernah meminta Ario berbohong. Soal pengakuan anggota stafnya yang lain, Sugiharto, bahwa ada perintah darinya mengetik surat ke Mahkamah Konstitusi, Andi membantah. "Tak mungkin ada surat atas nama saya. Semua surat itu atas nama lembaga," katanya.
Dalam posisi Andi Nurpati terpojok, koleganya di partai juga berlalu satu per satu. Anggota panitia kerja dari Partai Demokrat, Khatibul Umam Wiranu, mengatakan secara moral tak ada kewajiban fraksinya mendukung Andi. Soalnya, kasus itu terjadi sebelum Andi bergabung dengan Demokrat. "Kami proporsional saja," katanya. Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR dari Demokrat, Taufiq Effendi, juga mengatakan tak akan membela Andi jika terbukti salah. "Kalau dia benar, ya kami dukung. Tapi kalau salah, ya kami salahkan," ujarnya.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo