Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Akhir Sunyi Kepala Manggala

MENJELANG akhir hayatnya, Sarwo Edhie tersisih dari lingkar kekuasaan. Jabatan terakhirnya di pemerintah hanya Kepala Badan Pembinaan, Pendidikan, dan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Tugasnya jauh dari desing peluru: menatar para manggala penyebar tafsir Pancasila versi Orde Baru.

Sempat menjadi legislator, Sarwo Edhie memilih mundur dan menyepi. Sampai melepas tongkat komando dan seragam militer, dia tak pernah menggapai pucuk pimpinan TNI Angkatan Darat yang dia idamkan.

Tapi trah Sarwo Edhie tak ikut tutup buku. Anak-anak dan menantunya kini tampil di panggung politik negeri ini. Mereka disebut-sebut sebagai awal dinasti Sarwo Edhie di jagat kekuasaan Indonesia.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak Cocok Berpolitik

Urung menjadi Ketua DPR/MPR akibat dijegal para jenderal salon yang dekat dengan Soeharto di Golongan Karya. Kesepian di dunia politik.


Sarwo Edhie Wibowo sudah berdiri melipat tangan di dada ketika sebuah Mini Cooper parkir di depan halaman rumahnya. Saat itu sekitar pukul delapan malam. Jenderal bintang tiga itu membukakan pintu mobil, mempersilakan masuk, dan menyuguhkan sendiri teh untuk si tamu, Permadi. "Kok, tak seperti Jenderal Sarwo yang saya bayangkan," kata Permadi. "Dia menuangkan teh untuk saya," ujar politikus Partai Gerakan Indonesia Raya itu.

Keduanya lalu duduk santai, berhadapan di ruang tamu rumah itu, di Jalan Flamboyan, kompleks Resimen Para Komando Angkatan Darat—sekarang Komando Pasukan Khusus—Cijantung, Jakarta Timur. Permadi diundang ke rumah Sarwo untuk membicarakan Sukarno. Namun akhirnya tema obrolannya meluas. Mereka berdua berbicara tentang berbagai topik kenegaraan dan politik hingga pukul satu dinihari. "Kesan saya, Sukarno betul-betul orang besar. Tak seperti pendapat yang dijejalkan kepada saya," kata Permadi menirukan Sarwo.

Bagi Permadi, pertemuannya dengan Sarwo memang penuh kejutan. Politikus yang gemar berpakaian hitam-hitam ini tidak menyangka pendukung utama lahirnya Orde Baru itu memerlukan pendapat seorang penentang rezim Soeharto yang sekaligus pengagum Sukarno. Di masa politik yang otoriter ketika itu, undangan Sarwo ke Permadi sungguh tak masuk akal.

Dengan kritis Permadi menyindir peran Dewan Perwakilan Rakyat yang menjadi tukang stempel kebijakan pemerintah. Dia sebetulnya ingin menanyakan alasan mundurnya Sarwo dari parlemen karena, ketika itu, Sarwo baru sekitar tiga hari mundur dari Dewan. "Saya enggak bisa apa-apa di sana. Jadi, saya enggak nyaman," kata Permadi menirukan Sarwo.

Pengakuan tak bisa berbuat banyak di Dewan juga diutarakan Sarwo kepada Tempo setelah menyerahkan surat pengunduran diri dari Golongan Karya. "Lebih baik digantikan yang lebih muda saja," ujar Sarwo waktu itu. Keinginan mundur sudah diajukan sang Jenderal sejak sebelum sidang umum pada April 1988.

Banyak yang menduga-duga alasan sebenarnya Sarwo mundur dari Senayan. Dalam surat, Sarwo cuma mengatakan, "Karena ada kesibukan lain." Tapi Sarwo memberikan sinyal kepada wartawan, setelah pertemuannya dengan Ketua Umum Golkar Sudharmono, "Pokoknya saya tak bisa berbuat banyak. Saya kira itu banyak artinya." Pembicaraan dengan Sudharmono tak pernah dibeberkannya. "Itu confidential. Secara politis saya tak bisa menjelaskannya," ujar Sarwo.

Saat pertemuan dengan Sudharmono itu, dia memberikan surat pengunduran diri dari Golkar. "Yang mengirim saya ke DPR itu DPP Golkar. Kalau saya menulis surat duluan ke DPR, nanti saya dianggap indisipliner."

1 1 1

Setelah menyeruput teh hangat, Sarwo menunjukkan surat berhuruf italic (miring) berstempel "Rahasia" di kepala surat kepada Salim Said. Itu surat penjelasan pengunduran dirinya dari DPR untuk istri dan anak-anaknya. Bekas Duta Besar Indonesia di Republik Cek itu memang sering ke rumah Sarwo untuk mengobrol. Hubungan mereka akrab setelah Sarwo menjadi saksi pernikahan Salim dengan istrinya, Herawaty.

"Dia kecewa melihat kondisi politik di Senayan," kata Salim. Memang, menurut Salim, Sarwo tak cocok jadi politikus—dunia yang butuh kepiawaian diplomasi demi kepentingan sekelompok orang. Apalagi praktek politik lebih dikenal sebagai ajang tipu muslihat. "Dia terlalu jujur, terlalu serius, enggak bisa belak-belok," ujar Salim.

Sarwo tambah kecewa melihat anak-anak muda calon anggota DPR yang sedang mendaftar ulang dan mengukur jas untuk pelantikan di Hotel Indonesia. "Mereka kok bercanda dan tertawa-tawa saja, ya," kata Salim menirukan Sarwo. Padahal mereka adalah anak-anak jenderal senior dia.

Motivasi Sarwo masuk Senayan adalah ingin mengubah wajah Dewan agar lebih baik, lebih banyak berbuat untuk rakyat, dan bukan cuma menjadi stempel kebijakan pemerintah. Kebetulan, dia dipanggil Sudharmono atas perintah Presiden Soeharto untuk masuk DPR.

Apalagi santer beredar kabar Sarwo akan didapuk menjadi Ketua DPR/MPR 1987-1992. Hal itu dibenarkan Bambang Wiratmadji Soeharto, Ketua Angkatan Muda Pembaruan Indonesia, organisasi onderbouw Golkar, saat itu. Tapi Sarwo gagal akibat dijegal.

Gelagat "memotong" Sarwo sudah dibaca Bambang ketika para calon anggota legislatif akan dilantik. Bambang, yang dekat dengan elite Golkar, mendengar kasak-kusuk para jenderal salon—istilah bagi para jenderal yang tak mengenal lapangan dan medan pertempuran—mulai membuat friksi di Golkar. "Biasa jenderal lapangan dengan jenderal salon berseteru, tapi yang menang jenderal salon karena dekat kekuasaan (Soeharto)," katanya.

Menurut Bambang, Sarwo urung menjadi Ketua DPR/MPR karena kehendak Soeharto, yang "digosok" para jenderal yang sudah piawai berpolitik. Bahkan rencana menjegal Sarwo sudah dimulai saat ia akan dilantik menjadi anggota DPR. Kata Bambang, sebagian elite Golkar berencana menurunkan pangkat Sarwo menjadi Ketua Fraksi Karya Pembangunan. Akhirnya, Sarwo menjadi Kepala Badan Kerja Sama Antarparlemen.

Sebenarnya, Bambang pernah mencoba menyampaikan kepada Sarwo soal intrik politik di Golkar yang ingin menjegalnya. Bukannya mendapat simpati, Bambang malah ditegur. "Jangan punya pikiran begitu, jujur saja, pikiran kita ke depan," ujar Sarwo seperti ditirukan Bambang.

Kedekatan Bambang dengan Sarwo baru dimulai saat Sarwo menjadi Ketua Senat Penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) untuk calon anggota Dewan. Bambang menjadi salah satu wakilnya. Memang, untuk masuk Senayan, Sarwo mesti ikut Penataran P4. Padahal, sebagai Kepala BP7 hingga 1987, dia adalah kepala menggala alias para penatar P4.

Bambang memang sering bertamu ke kantor Sarwo yang menjadi Ketua Dewan Pengawas Bank Bumi Daya. Suguhan teh hangat dan kue klepon kesukaan Bambang selalu jadi teman berbincang tentang kondisi negara. "Sebetulnya kue kesukaan dia itu kue lapis, tapi stafnya pasti dia suruh beli klepon kalau ada saya," ujar Bambang sambil tertawa.

Daftar kekecewaan Sarwo di dunia politik memang panjang. Sebelumnya, ketika menjadi Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri, sepulang dari Korea Selatan sebagai duta besar, dia merasa ditempatkan bukan pada keahliannya. "Tapi dia juga senang melihat saya," kata Rais Abin, jenderal bintang tiga, yang menemui sahabatnya itu di kantornya di Departemen Luar Negeri.

Rais, yang baru pulang bertugas di Timur Tengah sebagai Panglima United Nations Emergency Forces for the Middle East, mengunjungi sahabatnya sejak di pasukan Pembela Tanah Air alias Peta zaman Jepang itu. Dia melihat sahabatnya tak nyaman. "Yang dia inginkan karier profesional. Saya tahu betul dia." Tapi, setelah menjadi Panglima Komando Daerah Militer Bukit Barisan, Sarwo lebih sering menduduki jabatan politik.

Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia itu menceritakan, sahabatnya itu sempat bilang Rais akan menjadi Kepala Staf Angkatan Darat setelah moncer sebagai panglima dalam misi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Tapi itu segera disanggah dan Rais mengatakan justru Sarwolah yang pantas memimpin Angkatan Darat. "Saya sudah habis," kata Rais menirukan Sarwo yang terlihat sedih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus