Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dia yang Tersingkir

Diperalat Soeharto untuk menumpas Orde Lama, Sarwo Edhie Wibowo didepak. Tak boleh ada matahari kembar.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM pertemuan dengan wartawan di Markas Operasi Khusus di Jalan Raden Saleh, Jakarta, pada 1967, Ali Moertopo berkali-kali berkata, "Adanya matahari kembar di Indonesia hanya membawa bencana. Karena itu, matahari kembar harus dicegah dan tak boleh dibiarkan terjadi."

Ali, Kepala Operasi Khusus dan kemudian menjadi penasihat utama Soeharto, memang tak pernah menyebut nama. Tapi hampir semua orang tahu, Ali menyindir Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD), yang baru saja sukses menumpas Partai Komunis Indonesia.

Ketika itu, Soeharto baru beberapa pekan menjabat presiden. "Muncul desas-desus bahwa Sarwo Edhie akan menggusur Soeharto dan menjadi matahari baru," kata Susanto Pudjomartono, wartawan senior, dalam sebuah artikelnya. Lewat telinganya sendiri, Susanto mendengar Ali berkata soal "matahari kembar" tadi.

Tak lama kemudian, Juni 1967, Sarwo dipindahkan ke Medan. Menjabat Panglima Kodam Bukit Barisan, ia langsung membekukan Partai Nasional Indonesia. Selain Bali, Sumatera Utara adalah basis partai ini. Di provinsi itu, PNI Ali Sastroamidjojo-Surachman—disingkat PNI Asu oleh Orde Baru—juga punya banyak pengikut. Faksi PNI Asu dikenal sebagai pendukung Sukarno paling keras.

Mengasosiasikan PNI dengan Sukarno dan PKI, Sarwo menggagas pembubaran PNI. Menurut Syamsul Hilal, bekas Ketua Gerakan Pemuda Partai Nasional Indonesia Front Marhaenisme Medan, sejak Sarwo datang ke Medan, tudingan bahwa PNI prokomunis kerap terdengar. Syamsul beruntung cuma diterungku. Tiga sahabat dekatnya hilang diculik. "Sampai kini makamnya pun tak diketahui," katanya.

Operasi penumpasan PNI itu semula disokong Penjabat Panglima Angkatan Darat Jenderal Maraden Panggabean. Menurut Panggabean, langkah Sarwo sejalan dengan kebijakan Jakarta. Dukungan datang pula dari Panglima Antardaerah Pertahanan Sumatera Mayor Jenderal Kusno Utomo, yang menyatakan marxisme-marhaenisme sudah tak punya tempat lagi di Republik.

Tapi tindakan Sarwo membabat PNI bertentangan dengan kehendak Soeharto. Pada 21 Desember 1967, Penjabat Presiden Soeharto menerbitkan instruksi kepada penguasa daerah untuk membantu PNI "menyesuaikan diri" dengan Orde Baru.

Menurut Syamsul, sebelum Sarwo tiba di Medan, PNI berubah. Nama PNI Front Marhaenisme berganti menjadi PNI Massa Marhaenisme pada kongres di Bandung, April 1966. Kongres itu ia sebut inisiatif Soeharto untuk membersihkan PNI dari kubu Asu. Hasil kongres mendapuk Osa Maliki dan Usep Ranu Miharja, yang pro-Soeharto.

Kendati tak setuju, Sarwo mau tak mau mesti menjalankan perintah Soeharto. Jakarta, yang melihat Sarwo setengah hati, memangkas kewenangannya. Akhir Desember 1967, Kepala Staf Komando Wilayah Sumatera Brigadir Jenderal J. Muskita mengambil alih kepemimpinan Sarwo di Medan. Ada kabar Jenderal Panggabean murka karena ada kerabatnya menjadi korban pembersihan PNI di Sumatera Utara. Kehilangan dukungan, pada 1968, Sarwo dilempar ke Irian Barat.

Nasib serupa dialami Panglima Komando Cadangan Strategis TNI AD (Kostrad) Mayor Jenderal Kemal Idris dan Panglima Kodam Siliwangi Mayor Jenderal H.R. Dharsono. Bukan kebetulan, mereka, termasuk Sarwo, merupakan perwira yang paling keras menyuarakan pengadilan bagi Sukarno. Bahkan, sebelum Sukarno jatuh, pada awal 1967, ketiganya pernah bertemu di Cipayung, Jawa Barat, membicarakan kesiapan militer menghadapi krisis yang diramalkan bakal terjadi.

Ketika itu, menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia, seusai pertemuan, Dharsono berkata, "Persetujuan Siliwangi, Kostrad, dan RPKAD diharapkan mempercepat hancurnya Orde Lama." Kemal sendiri mengumumkan pasukannya dalam kondisi siap tempur.

Selanjutnya, mereka satu demi satu dibuang. Sementara Sarwo dibuang pada 1967, Kemal dan Dharsono disingkirkan belakangan. Dipindahkan ke Makassar sebagai Panglima Komando Antardaerah Wilayah Indonesia Timur pada Januari 1969, Kemal kemudian dilantik sebagai Duta Besar RI untuk Yugoslavia pada September 1972.

Tak senang dengan jabatan barunya, Kemal menghadap Soeharto. "Saya lebih tepat di dalam negeri," kata Kemal seperti tertulis dalam memoarnya, Bertarung dalam Revolusi. "Saya akan lebih banyak membantu Pak Harto, terutama menghadapi kaum muda."

- Sebagai apa?

+ Misalnya pembantu militer.

- Sudah banyak kritik terhadap Ali Moertopo (pembantu militer Soeharto). Saya tahu di mana harus menempatkan kamu.

+ Ya, sudahlah, tapi saya tetap tidak senang.

- Heh! Kamu militer apa enggak, sih? Kalau kamu masih militer, ini perintah.

Dari Jenderal Panggabean, Kemal mendengar ada yang menjelek-jelekkan dirinya di depan Soeharto. "Kenapa saya tak dibela?" Kemal bertanya kepada Panggabean. "Ya, bagaimana saya bisa membela kalau yang tertinggi sudah tidak mempercayai," kata Panggabean.

Belakangan, setelah setahun di Yugoslavia, Kemal mengetahui ada yang melaporkannya kepada Soeharto. Isinya kurang-lebih Kemal berhasil menenangkan kaum muda di wilayah timur Indonesia. Dia terlalu populer di sana. Popularitas itu ia perlukan untuk memperoleh jabatan tertinggi. Dulu dia berani melawan Bung Karno, yang sedang berada di puncak kejayaannya. Tentu dia akan berani pula melawan Soeharto.

Adapun penyingkiran Dharsono terjadi pada 1969, ketika ia tiba-tiba ditunjuk sebagai Duta Besar RI untuk Thailand. Saat itu, Dharsono tengah mengusulkan pemangkasan jumlah partai dan menggantinya dengan dua partai baru berbasis kesatuan aksi dan generasi muda. Ide Dharsono tak didukung rekan-rekannya di militer, kecuali Kemal Idris. Sedangkan Sarwo memang tak berpikir politik. "Ia benar-benar seorang serdadu," kata Harbrinderjit Singh Dillon, pakar sosial-ekonomi, yang mengenal Sarwo sejak di Medan.

Berikutnya, Dharsono dilarang Soeharto membicarakan lagi gagasannya itu. Takut kehilangan legitimasi, Soeharto rupanya berupaya merangkul partai-partai, termasuk PNI, lewat pemilihan umum dan undang-undang politik yang baru. Pada Oktober 1969, Soeharto mengatakan kepada para pemimpin partai politik bahwa pemilihan umum akan diselenggarakan pada pertengahan 1971.

Satu rahasia yang diketahui belakangan adalah selalu ada pertemuan antara Soeharto dan perwira yang hendak disingkirkannya. Sementara pertemuan dengan Kemal dan Dharsono terungkap lebih dulu, pertemuan dengan Sarwo baru diketahui sebelas tahun kemudian. Ketika itu, 1978, Susanto dan Salim Said—keduanya mantan wartawan Tempo—mengunjungi Sarwo di rumahnya di Cijantung. Sarwo mengaku pernah dipanggil Soeharto ke Cendana pada 1967.

Menurut cerita Sarwo, Soeharto menunjukkan sebuah dokumen yang diteken sejumlah orang yang mengungkapkan Sarwo berencana menggusur Soeharto, sebagaimana Kolonel Gamal Abdul Nasser merebut kursi Presiden Mesir dari Jenderal Muhammad Najib pada 1954. Najib dan Nasser adalah perwira yang menggulingkan kekuasaan Raja Farouk pada 1952.

Sarwo menyanggah dokumen rekayasa tersebut. "Pak Harto diam saja mendengar bantahan saya," ujarnya. Faktanya, penjelasan Sarwo tak ampuh. Ia dicopot dari RPKAD dan dibuang ke Medan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus