Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUCIWATI tertunduk lesu. Air matanya menetes. Putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu pengujung tahun itu benar-benar menohok dirinya. Namun ibu dua anak ini mencoba tetap tabah. Dengan cepat ia menyeka air matanya. ”Meski saya sudah menduga keputusannya seperti ini, saya tetap syok, marah, dan sakit hati,” ujar perempuan 37 tahun ini kepada Tempo.
Beberapa jam sebelumnya, majelis hakim yang diketuai Suharto dan beranggotakan Achmad Yusak dan Haswandi membebaskan Muchdi Purwoprandjono dari seluruh dakwaan keterlibatan dalam pembunuhan suaminya, Munir Said Thalib. Padahal jaksa menuntut Muchdi hukuman 15 tahun penjara.
Menurut hakim, dakwaan jaksa bahwa Muchdi—saat itu Deputi Penggalangan Badan Intelijen Negara—menganjurkan atau menyuruh Pollycarpus Budihari Priyanto membunuh Munir tidak terbukti. Hakim memang merontokkan semua dakwaan yang ditembakkan jaksa terhadap Muchdi dalam kaitan dengan tewasnya Munir.
Empat tahun silam, 7 September 2004, aktivis pembela hak asasi manusia itu tewas dalam pesawat Garuda GA-974 yang sedang membawanya ke Amsterdam. Tubuh pria 39 tahun ini kaku di atas langit Rumania, tujuh jam setelah pesawat meninggalkan Bandara Changi, Singapura.
Belakangan, terungkap pelaku pembunuhan itu Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot garuda yang ”merangkap” agen Badan Intelijen Negara. Polly sendiri, setelah dituntut penjara seumur hidup, pada 25 Januari 2008 divonis Mahkamah Agung 20 tahun penjara. Menurut majelis hakim, Polly meracun Munir saat pesawat transit di Singapura. Caranya: memasukkan racun arsenik ke dalam minuman kopi saat keduanya kongko di Coffee Bean Bandara Changi.
Tim penyidik kasus Munir terus bergerak. Belakangan, setelah memeriksa belasan saksi yang terlibat kasus ini, termasuk sejumlah agen Badan Intelijen Negara, polisi menahan Muchdi. Deputi bidang penggalangan ini diduga sebagai pihak yang berperan penting dalam operasi pelenyapan Munir.
Menurut ketua tim jaksa, Cirus Sinaga, motif utama yang membuat Muchdi ingin melenyapkan Munir adalah dendam dan sakit hati. Gara-gara Munirlah, menurut jaksa, Muchdi dicopot dari jabatannya sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Saat itu, kata Cirus, Munir mempersoalkan peran Kopassus dalam kasus penculikan sejumlah aktivis mahasiswa. Menurut Suciwati, suaminya pernah mengatakan Muchdilah orang yang paling sakit hati lantaran terungkapnya kasus penculikan oleh Tim Mawar Kopassus.
Tapi motif sakit hati ini diruntuhkan hakim. Menurut majelis hakim, ucapan Munir itu hanya menggambarkan kekhawatiran. Kesaksian Suciwati yang mengaku pernah diteror dengan cara dikirimi ayam mati dinilai hakim tidak merujuk siapa pun. ”Saksi (Suciwati) tidak tahu siapa pengirimnya,” kata Haswandi, salah satu anggota majelis hakim.
Bukan hanya soal motif, surat rekomendasi agar Pollycarpus dijadikan aviation security juga dinilai hakim tak ada sangkut-pautnya dengan Muchdi.
Surat ini sebenarnya mata rantai penting menuju ”penghilangan” Munir. Ini bukan surat asli. Inilah dokumen yang ”dikeluarkan” tim penyidik Markas Besar Kepolisian Indonesia dari komputer Badan Intelijen. Surat aslinya ditandatangani Wakil Kepala Badan Intelijen Negara M. As’ad . Isinya: memerintahkan Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan menjadikan Polly sebagai aviation security. Dalam kesaksiannya, Indra menyatakan pernah ke kantor Badan Intelijen untuk menanyakan perihal surat itu. Di sana, ia bertemu dengan Muchdi dan As’ad.
Kendati menyebutkan ”surat kloning” itu sah sebagai alat bukti, hakim menyatakan surat tak bisa menunjukkan keterlibatan Muchdi dalam kasus tewasnya Munir. ”Dalam surat itu, tidak ada yang mengarah kepada terdakwa (Muchdi),” kata Haswandi. ”Rekomendasi Pollycarpus masuk dalam unit keamanan korporasi itu bukan tindakan pidana atau permufakatan jahat yang diatur dalam undang-undang,” katanya lagi.
Hakim juga menyingkirkan fakta adanya catatan hubungan telepon (call data record) antara Pollycarpus dan Muchdi. Sebelumnya, tim penyidik menemukan terjadi sedikitnya 41 kali hubungan telepon antara Polly dan Muchdi. Bahkan, saat Munir tewas, terungkap ada 16 kali hubungan telepon antara Polly dan Muchdi.
Di persidangan, Muchdi berkali-kali menepis pernah menelepon atau ditelepon Polly. Untuk soal ini rupanya hakim sepakat. Menurut hakim, tidak ada yang menunjukkan telepon itu dipakai sendiri oleh Pollycarpus dan Muchdi. ”Isi pembicaraannya juga tidak diketahui,” ujar Haswandi.
Soal kesaksian Budi Santoso, mantan Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara, yang disodorkan jaksa juga ditampik hakim. Kepada polisi, Budi sebelumnya mengaku pernah memberikan Rp 10 juta kepada Polly atas perintah Muchdi. Ia juga pernah mendengar beberapa kali Polly menyatakan akan ”menghabisi” Munir. Ia juga menyatakan kerap menjadi penghubung Polly dan Muchdi.
Nah, menurut hakim, bukti ini juga tak kuat untuk menyatakan Muchdi berada di balik tewasnya Munir. Menurut hakim, bukti yang ada sekadar catatan pengeluaran keuangan dalam buku kas yang dibuat Budi. ”Tak ada satu pun yang mendukung keterangan saksi itu,” ujar Haswandi.
Dengan tidak adanya satu pun bukti keterlibatan Muchdi inilah majelis hakim menyatakan Muchdi tidak terlibat apa pun dalam kasus tewasnya Munir.
Putusan hakim Rabu pekan lalu itu disambut gegap-gempita ratusan pendukung Muchdi. Selain berteriak-teriak, ”Hidup Muchdi,” puluhan pendukung Muchdi—yang sejak pagi sudah ”menguasai” ruang sidang—menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sedangkan ratusan pendukung Munir, yang kecewa atas putusan hakim, dengan lantang berteriak, ”Pembunuh… pembunuh….”
Muchdi sendiri tersenyum lebar menyambut ”hadiah” yang diterimanya menjelang tutup tahun 2008 itu. ”Saya yakin bebas,” katanya. ”Tidak ada bukti dan saksi yang memberatkan saya.”
SEJUMLAH saksi yang sebelumnya diperkirakan akan membuat Muchdi tersudut dan tak berkutik memang sudah rontok di tengah jalan. Semuanya menyatakan mencabut pengakuan mereka seperti yang tertera dalam berita acara pemeriksaan.
Anggota staf tata usaha Deputi V Badan Intelijen Negara, Zondy Anwar dan Aripin Rachman, misalnya. Saat diperiksa polisi, keduanya mengaku pernah melihat Pollycarpus di ruangan Muchdi. Belakangan, di persidangan, keduanya mencabut keterangan itu. Demikian pula bekas Kepala Seksi Administrasi Badan Intelijen, Kawan. Kepada polisi, Kawan bercerita pernah melihat Polly di ruangan Direktur Perencanaan dan Pengendalian Operasi Budi Santoso. Tapi, lagi-lagi, di persidangan Kawan berkelit dan mencabut keterangannya.
Keterangan paling dahsyat adalah yang diberikan Budi Santoso. Dua kali Budi diperiksa penyidik, yakni pada 3 dan 8 Oktober 2007. Kepada penyidik, Budi mengaku pernah melihat Polly di ruangan Muchdi. Ia juga pernah menyerahkan uang Rp 10 juta, Rp 3 juta, dan Rp 2 juta kepada Polly atas perintah Muchdi. Ia mengaku, saat kematian Munir, ditelepon Polly yang menanyakan keberadaan Muchdi.
Budi sendiri tak bisa dihadirkan di ruang sidang. Agen Badan Intelijen ini tengah bertugas di Afganistan. Yang mengejutkan, belakangan, pengacara Muchdi menyatakan mendapat surat dari Budi. Dalam surat berlogo burung garuda itu, Budi menyatakan mencabut pengakuannya dalam berita acara pemeriksaan polisi.
Ramai-ramainya saksi menarik kembali pengakuannya tentulah menguntungkan Muchdi. Menurut Suciwati, pencabutan itu jelas merupakan perintah dari ”atas”. ”Padahal, dalam setiap pemeriksaan, para saksi itu didampingi penasihat hukum dari BIN,” ujar Suci. ”Kalau satu-dua yang menarik, mungkin logis, tapi ini kan semuanya.”
Menurut Koordinator Komite Aksi Solidaritas untuk Munir, Usman Hamid, meskipun para saksi mencabut kesaksiannya, bukan berarti kebenaran peristiwa dan keterlibatan Muchdi itu otomatis tidak ada. Menurut dia, inilah yang seharusnya dikejar hakim. ”Tapi hakim tidak mengejar kebenaran materiil, hanya mengejar formil.”
Ditemui Tempo seusai sidang, ketua majelis hakim Suharto menolak berkomentar atas putusan terhadap Muchdi itu. Menurut dia, mereka yang tak puas atas putusannya bisa mengajukan upaya hukum lain. ”Bisa saja nanti putusan ini dibatalkan atau dikuatkan di peradilan lebih tinggi,” ujarnya.
Jaksa memang akan mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan yang membuat Muchdi melenggang keluar dari ruang tahanannya di markas Brigade Mobil, Depok, itu. Tak hanya jaksa, pengacara Pollycarpus, M. Assegaf, menyatakan akan memakai putusan bebasnya Muchdi sebagai dasar memperkarakan kembali status kliennya. ”Kalau tak terbukti Muchdi menyuruh Pollycarpus membunuh Munir, lalu kenapa Pollycarpus dihukum?” katanya.
Di mata ahli hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satriyo Mukantardjo, jika hakim menyatakan seluruh dakwaan atas Muchdi tidak terbukti, itu berarti Muchdi bebas murni. Konsekuensi hukumnya, kata dia, jaksa dalam hal ini bukan meminta kasasi, melainkan mengajukan upaya hukum peninjauan kembali. ”Syaratnya, harus ada bukti baru,” ujarnya.
Dari Markas Besar Kepolisian Indonesia, juru bicara kepolisian, Inspektur Jenderal Abubakar Nataprawira, menegaskan polisi sudah bekerja maksimal mengusut kasus ini. ”Unsur-unsur Muchdi terlibat pembunuhan Munir pun sudah dipenuhi,” ujarnya. ”Kalau tidak diterima hakim, itu risiko.”
Pekan-pekan ini, Presiden Yudhoyono juga akan mempertanyakan bebasnya Muchdi kepada Kepala Kepolisian Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. ”Instruksi Presiden kepada Kepolisian dan Kejaksaan Agung jelas, yakni tuntaskan kasus pembunuhan Munir. Siapa pun pelakunya harus diadili,” kata Andi Mallarangeng, juru bicara Presiden.
Dengan bebasnya Muchdi ini, praktis dalam pembunuhan Munir hanya dua orang yang dinyatakan terlibat: Pollycarpus dan Indra Setiawan. Polly kini meringkuk di penjara Sukamiskin, Bandung, sementara Indra, yang diganjar hukuman setahun penjara karena bersalah mengeluarkan surat tugas untuk Polly, sejak April 2008 sudah menghirup udara bebas.
Bebasnya Muchdi pada akhirnya memang meninggalkan pertanyaan: apakah Polly memang dikorbankan dalam kasus ini? Usman tak yakin Polly bekerja sendirian. ”Tak mungkin Pollycarpus otak dari semua ini.” Menurut Usman, Komite Aksi Solidaritas untuk Munir akan mengawal langkah kasasi yang ditempuh kejaksaan. ”Aparat hukum wajib menuntaskan kasus ini seadil-adilnya,” kata sahabat Munir itu.
Ditemui Rabu pekan lalu di rumahnya di kawasan Pamulang, Tangerang, Yosepha Hera Iswandari, istri Pollycarpus, menegaskan tetap tak percaya suaminya membunuh Munir. ”Naif sekali kalau Pollycarpus mau diupah Rp 10 juta, tambah Rp 3 juta, dan tambah beberapa juta lagi untuk membunuh Munir,” ujarnya.
Menurut Hera, pertemuan Munir dan suaminya di Coffee Bean itu hanya rekaan. ”Saksi Ongen Latuihamallo juga menarik kesaksian adanya pertemuan di tempat itu,” ujar perempuan yang kini membiayai kehidupan keluarganya dengan berjualan telur asin ini.
Seandainya pun Pollycarpus membunuh Munir, kata Hera, sangat tidak masuk akal jika itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. ”Tidak ada latar belakang Pollycarpus yang menjadikan alasan ia harus membunuh Munir,” ujar ibu tiga anak ini.
Anne L. Handayani, Rini Kustiani, Munawwaroh, Cornila, Eko Ari Wibowo
Tewas Sebelum Mendarat di Belanda
7 September 2004
Munir, 39 tahun, tewas diracun dalam penerbangan ke Belanda. Rencananya ia akan belajar ilmu hukum .
23 Desember 2004
Presiden membentuk tim pencari fakta.
3 Maret 2005
Tim melaporkan perkembangan kasus Munir ke Presiden. Ketua tim, Brigadir Jenderal Polisi Marsudhi Hanafi, menyatakan indikasi kematian Munir adalah kejahatan konspiratif.
18 Maret 2005
Pollycarpus menjadi tersangka dan langsung ditahan.
23 Maret 2005
Suciwati memberikan kesaksian di sidang Komisi Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa.
28 Maret 2005
Presiden memperpanjang masa kerja tim hingga 23 Juni 2005.
13 Mei 2005
Tim pencari fakta memanggil Muchdi. Panggilan ini diabaikan.
17 Mei 2005
Tim melapor ke Presiden tentang adanya kontak berkali-kali antara Pollycarpus dan Muchdi pada September-Oktober 2004.
3 Juni 2005
Tim gagal memeriksa Muchdi. Lima hari kemudian, Muchdi tak juga memenuhi panggilan.
24 Juni 2005
Tim menyerahkan laporannya kepada Presiden.
27 Juni 2005
Marsudhi Hanafi yang ditunjuk menjadi ketua tim penyidik Kepolisian Indonesia untuk kasus Munir. Namun, pada pertengahan Desember, dia dimutasi menjadi anggota staf ahli bidang sosial ekonomi Markas Besar Kepolisian Indonesia.
9 Agustus 2005
Pollycarpus mulai diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
9 November 2005
Anggota Kongres Amerika Serikat menyurati Presiden. Isinya mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam menuntaskan kasus Munir.
17 November 2005
Muchdi bersaksi di persidangan. Dia menyangkal punya hubungan dengan Pollycarpus.
1 Desember 2005
Jaksa menuntut penjara seumur hidup untuk Pollycarpus.
20 Desember 2005
Pollycarpus terbukti bersalah. Hakim memvonis 14 tahun penjara.
27 Maret 2006
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperkuat vonis Pollycarpus.
6 September 2006
Suciwati mengajukan gugatan perdata terhadap Garuda Indonesia atas terbunuhnya Munir di dalam pesawat.
3 Oktober 2006
Majelis kasasi Mahkamah Agung menyatakan Pollycarpus tidak terbukti terlibat pembunuhan tapi terbukti memalsukan surat dan dihukum dua tahun penjara dikurangi masa tahanan.
25 Desember 2006
Pollycarpus bebas.
1 Januari 2007
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan akan mengajukan peninjauan kembali perkara Pollycarpus dengan sejumlah bukti baru.
24 Januari 2007
Markas Besar Kepolisian Indonesia membentuk tim penyidik baru yang diketuai Kepala Badan Reserse Kriminal Inspektur Jenderal Bambang Hendarso Danuri.
5 April 2007
Polisi menetapkan mantan Direktur Utama Garuda Indonesia Indra Setiawan dan mantan Sekretaris Kepala Pilot Garuda Rohainil Aini sebagai tersangka.
3 Mei 2007
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan Garuda melakukan perbuatan melawan hukum dan wajib membayar kerugian sebesar Rp 664 juta kepada Suciwati. Namun hakim menolak gugatan Suciwati agar Garuda meminta maaf dan melakukan investigasi internal. Suciwati minta banding.
7 Juni 2007
Pollycarpus diperiksa terkait dengan tersangka Indra Setiawan dan Rohainil Aini.
16 Agustus 2007
Sidang pertama peninjauan kembali kasus Munir dengan terdakwa Pollycarpus digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
23 Agustus 2007
Hasil sadapan percakapan telepon antara Pollycarpus dan Indra Setiawan diputar di persidangan. Di situ, Pollycarpus menyebut ”Avi dan Asmini” yang ternyata kata sandi untuk menyebut Muchdi dan M. As’ad.
14 Januari 2008
Budi Santoso, bekas bawahan Muchdi, mengaku pernah diminta Muchdi memberikan uang kepada Pollycarpus.
25 Januari 2008
Putusan peninjauan kembali memvonis Pollycarpus 20 tahun penjara karena terbukti membunuh Munir.
11 Februari 2008
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis mantan Direktur Utama Garuda Indra Setiawan hukuman satu tahun penjara.
12 Februari 2008
Rohainil Aini dibebaskan dari dakwaan.
19 Juni 2008
Muchdi ditetapkan sebagai tersangka dan langsung ditahan.
11 Agustus 2008
Muchdi diserahkan ke Kejaksaan Agung.
21 Agustus 2008
Sidang perdana Muchdi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
2 Desember 2008
Muchdi dituntut 15 tahun penjara.
31 Desember 2008
Muchdi bebas.
Rini Kustiani
Sumber: Riset, wawancara
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo