DUA sosok tinggi besar menyelinap ke balik reruntuhan gedung Sari Club. Warna kulit mereka, yang putih kemerahan, kontras dengan bangunan yang telah menghitam penuh jelaga. Senin siang kemarin, tak sampai 48 jam setelah sebuah bom berkekuatan besar merenggut 184 nyawa di Bali (sebagian besar warga asing), mereka sudah teliti menelisik tiap serpih yang tersisa.
Tak lain, kedua lelaki berpakaian preman itu adalah anggota skuad penyelidik dari mancanegara yang kini sibuk menyisir tiap senti wilayah Kuta. Mereka segera beraksi setelah rapat kabinet di Jakarta mengetuk sebuah keputusan: demi terungkapnya tragedi Kuta, pemerintah menyambut tawaran bantuan investigasi dari berbagai negara luar, seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Jerman.
Yang mendarat paling awal adalah para agen dari Biro Penyelidik Federal Amerika Serikat (Federal Bureau of Investigation—FBI) dan Scotland Yard, kepolisian Inggris. Hanya beberapa jam setelah bom meledak, mereka sudah terbang ke Pulau Dewata. Dan begitu mendarat Senin itu, mereka langsung terjun ke lapangan mengolah tempat kejadian dan melakukan identifikasi forensik terhadap para korban yang nyaris sudah menjadi arang.
Senin itu juga para investigator dari Kepolisian Federal Australia (Australian Federal Police—AFP) tiba di Bandar Udara Ngurah Rai. Di hari-hari pertama, mereka lebih berkonsentrasi pada evakuasi dan identifikasi korban, yang sebagian besar merupakan warga Negeri Kanguru.
Menurut Kepala Investigasi Kepolisian Australia, Mayor Jenderal Graham Ashton, penyelidik internasional yang telah berada di Bali saat ini berjumlah 91 orang. Yang terbesar berasal dari Negeri Kanguru dan Inggris, masing-masing 49 dan 21 petugas. Sisanya, 21 lainnya, datang dari FBI, BKA Jerman (Bundeskriminalamt, dinas semacam FBI), kepolisian Jepang, dan Selandia Baru. Jerman, kata seorang pejabat kedutaannya di Jakarta, mengirimkan tiga agen terbaik mereka.
Data di Kepolisian Daerah Bali menunjukkan 43 di antaranya bergabung dalam tim forensik. Mereka terdiri atas 19 personel AFP, 11 FBI, 9 kepolisian Jepang, dan masing-masing dua orang dari BKA dan Scotland Yard. Menurut seorang pejabat polisi Bali, mereka telah berbagi tugas. FBI mengkhususkan diri pada penelusuran bom Bali dengan jaringan teroris internasional. Sedangkan petugas AFP dikerahkan untuk mengidentifikasi bahan peledak yang digunakan.
Kehadiran para ”Sherlock Holmes” itu (tokoh detektif terkenal Inggris rekaan Sir Arthur Conan Doyle) tampaknya memang tak terhindarkan. Bukan rahasia lagi bahwa aparat negeri ini selalu kedodoran dalam mengungkap kasus bom yang telah meledak silih berganti.
Untuk itu, Rabu pekan lalu, dalam sebuah pertemuan di Istana Negara bersama delegasi pemerintah Australia, Presiden Megawati bersetuju membentuk sebuah tim gabungan investigasi dan kerja sama intelijen. Dipimpin Menteri Luar Negeri Alexander Downer, rombongan pejabat Negeri Kanguru terdiri atas Menteri Kehakiman dan Bea Cukai Chris Ellison serta para pejabat kepolisian dan Departemen Pertahanan Australia. Dua hari setelah itu, kesepakatan tersebut dikukuhkan lagi dengan pembentukan Tim Bersama Penyelidikan Intelijen. Ini, kata Downer, merupakan tindak lanjut isi nota kesepahaman yang telah diteken Presiden Mega dengan Perdana Menteri Australia John Howard, 7 Februari lalu, di Jakarta.
Meski begitu, kata Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, kendali tetaplah berada di tangan pemerintah Indonesia. Di lapangan, para agen asing itu juga bergabung dengan tim investigasi Kepolisian RI yang dikomandani Kepala Kepolisian Daerah Irian Jaya, Inspektur Jenderal I Made Mangku Pastika. Jenderal Ashton juga memastikan personelnya tak bakal bergerak sendiri, ”Koordinasi tetap berada di Polri. Kami hanya memberikan bantuan teknis.”
KD, Nezar Patria, Tomi Aryanto, Rommy F. (Bali)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini