Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hilangnya Surga bagi Para ’Backpackers’

Sari Club adalah surga buat pelancong dengan ransel di punggungnya. Kini tempat itu tinggal puing-puing. Tapi, apa istimewanya klub ini?

20 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tengah reruntuhan puing Sari Club, Ayu Sila menyapa para dewa. Gadis Bali berusia 21 tahun itu sehari-hari bekerja sebagai kasir Sari Club. Dia, di antara mereka yang tewas dan luka, Kamis pekan silam keluar dari rumah sakit dan segera melaksanakan persembahyangan ”ulapan”. ”Agar saya tidak mengalami trauma dengan peristiwa itu,” katanya kepada TEMPO. Dalam kepercayaan Hindu, agama yang dianut Ayu, ulapan merupakan upaya membersihkan roh jahat. Ayu mengaku masih terus dicekam peristiwa yang terjadi Sabtu dua pekan silam itu. Meski selamat, ledakan keras itu terasa masih terus mengiang di kupingnya. Ledakan keras itu tak hanya melukai tangannya tapi juga menghancurkan kebahagiaan dalam penggal kehidupannya. Belum genap setahun ia meraup kegembiraan bekerja di sana. Bagi perempuan lajang asal Negara ini, bekerja di tempat itu menawarkan sebuah keriangan yang tak pernah dikecapnya. Sebelumnya, ia bekerja di sebuah perusahaan garmen. Merasa gajinya kecil, ia banting setir dan menclok di klub malam itu. Gajinya di tempat baru itu pun tidak jauh berbeda. Tiap bulannya dia cuma digaji setengah juta rupiah. Kalaupun ada rezeki tambahan, cuma dari tip. Itu juga tidak besar. Namun, buat Ayu, Suasana di klub ini betul-betul menggairahkan. Tempat yang mulai dibuka sejak 15 tahun lalu itu memang menjadi ajang aksi pesta yang menyenangkan. Dentum musik house dari Sari Club biasa membuat tubuh para pengunjungnya jejingkrakan dalam keriangan khas Kuta sebagai kampung turis. ”Kebanyakan yang datang adalah anak-anak muda bule. Kalau sudah menari, mereka sering lupa diri,” kata Melati, 24 tahun, seorang remaja di Kuta yang kerap nongkrong di sana. Sebenarnya fasilitas di klub ini tak terlalu istimewa. Didirikan Melanie Tjin pada sekitar tahun 1970-an, SC—demikian nama populernya—dimaksudkan untuk menjadi tempat hiburan yang agak berbeda dengan tempat hiburan umumnya di Bali. Dengan konsep tempat hiburan yang santai dan bar dengan minuman khas, SC terdiri dari dua lantai, bangunan yang terbuka beratap alang-alang dan tak terlalu luas. Paling pol ia hanya mampu menampung sekitar 300 orang. Tapi di sana terdapat bale-bale terbuka yang mengelilingi bar. Di tempat itulah mereka bisa mengobrol santai. Sedangkan bagi mereka yang gemar berjingkrak-jingkrak, silakan melantai di sebelah peramu minuman alias bartender. Alhasil, bersama Paddy’s Cafe yang juga menjadi sasaran ledakan bom, tempat ini tak pernah sepi pengunjung. Di akhir pekan, tak pelak tempat ini menjadi sumber kemacetan di sepanjang Jalan Legian. Tempat ini memang menjadi surga bagi kaum backpackers alias turis yang membawa ransel di punggung dalam perjalanannya. Pengunjung, yang kebanyakan berasal dari Australia, memang bisa menemukan surga yang menyenangkan. Turis asing bisa datang ke tempat itu tanpa harus merogoh kantong. Sudah begitu, harga minumannya itu lo. Sementara di belahan Legian lainnya sebotol bir dihargai Rp 13 ribu-15 ribu, nah di sini harganya jauh lebih miring, cuma Rp 9.000. Kalau kepingin yang lebih ”nyetrum”, ada Jungle Juice, minuman khas klub ini yang merupakan oplosan arak lokal. Untuk ukuran mug, jus arak ini dijual Rp 12 ribu. Asyiknya lagi, transaksi bisa dilakukan dengan tiga macam mata uang, yakni rupiah, dolar Amerika, dan yen. Kenikmatan itulah yang membuat popularitasnya mendunia. Di berbagai situs internet tentang travel atau tempat-tempat ”dugem” alias dunia gemerlap, nama Sari Club selalu nyangkut. Salah satu keberanian SC dalam kebijakannya adalah membatasi klubnya hanya untuk turis asing sejak 1997. Menurut Suprobo, suami Melanie, keputusan itu dilakukan untuk menghindari keonaran yang terjadi. Pembatasan terhadap pengunjung lokal itu lantaran pemilik SC kerap dibuat jengkel oleh ulah pengunjung lokal yang suka bikin onar dengan pura-pura mabuk. ”Kami hanya menyeleksi,” ujar pria yang pernah menjadi bos di sebuah perusahaan bir itu. Klub ini makin kerap dikunjungi para backpackers. Bagi mereka, rasanya kurang lengkap bila melancong ke Bali tanpa mampir ke Sari Club. Mungkin, keistimewaan posisi SC yang begitu ramai itulah yang diendus sang pelaku pengeboman untuk mengirimkan sebuah pesan agar mudah diterima ke pelosok jagat. Bom itu tidak hanya menghancurkan surga kaum backpackers tapi juga mencederai Bali, pulau para dewata, dan Indonesia. Irfan Budiman, Rofiqi Hasan, Sunudyantoro (Kuta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus