Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kurnia JR
Sebuah tim tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Kebahasaan. Secara khas mengingatkan kita pada gagasan politik bahasa nasional yang pertama kali dicetuskan Slametmuljana pada 1959, rancangan ini tampaknya hendak mencakup wilayah pemakaian bahasa yang luas, dari lingkup formal kenegaraan sampai bahasa spanduk dan stiker.
Terkait dengan faktor ”lambang kebanggaan” dan ”identitas nasional”, kiranya rancangan ini lebih realistis jika hanya mencakup pengaturan bahasa Indonesia pada dokumen dan surat resmi negara, pidato kenegaraan di dalam negeri, nota kesepahaman dalam dan luar negeri (dwibahasa), serta informasi dan aturan pakai produk komersial dan obat-obatan demi hak-hak dasar dan legal konsumen.
Politik bahasa nasional pun akan lebih bermakna apabila diletakkan pada konteks eksistensi kenegaraan yang sepenuhnya formal, sebagai konkretisasi kesadaran hidup sebagai bangsa berdaulat dan berdampingan dalam kesetaraan dengan bangsa-bangsa lain.
Pasal 36 UUD 1945 menyatakan ”Bahasa Negara adalah Bahasa Indonesia.” Bahasa negara adalah bahasa resmi. Sementara itu, ada ”bahasa ekspresi”, bahasa yang hidup pada lisan rakyat dalam berjual-beli, berkesenian, bermain, dan mengelaborasi bahasa itu sendiri demi pencarian jati diri.
Dalam status warga negara Indonesia, setiap orang Indonesia adalah warga dunia, yang mudah terhubung dengan Yoko di Tokyo dan Eduardo di Madrid via internet. Konsep negara memudar di sini tanpa mengikis kesadaran kebangsaan dengan bahasa ibu masing-masing.
Mengenai bahasa media massa, dapat dikatakan bahwa wartawan sama gigihnya dengan sastrawan dalam upaya tak kenal lelah menggali dan memperkaya bahasa Indonesia. Bahkan kini berkembang apa yang disebut jurnalisme sastra. Kreativitas ekspresi dan artikulasi, serta eksplorasi makna, berjalan konsisten dan intensif pada puisi, cerita pendek, novel, naskah seni pertunjukan, dan drama tanpa pernah terpikir bahwa segalanya memerlukan sebuah undang-undang. Sastrawan dan wartawan bertahan menyuburkan bahasa sekuat-kuatnya. Justru para pejabat negara dan politikus yang kerap menampakkan sikap abai dalam pidato dan pernyataan publik.
Dalam draf rancangan itu, Bab I Bagian 2 Pasal 3 ayat 3 berbunyi: ”Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara berfungsi sebagai sarana pengungkapan sastra Indonesia serta pemerkaya bahasa dan sastra daerah.” Tidakkah kondisinya terbalik dengan menafikan kenyataan bahwa justru kreativitas menggali unsur-unsur dari bahasa dan sastra daerah yang memperkaya bahasa Indonesia? Bahasa dan sastra daerah akan mendapat pengayaan semacam apa dari ”bahasa nasional dan bahasa negara”? Tidakkah pada gilirannya hanya akan terjadi peleburan antara dua anasir, yakni ”bahasa nasional” dan ”bahasa/sastra daerah”, pada kedua pihak tersebut? Setelah itu terjadi, ke manakah keunikan?
Frase ”bahasa nasional dan bahasa negara” di ayat itu pun mengundang persoalan ”rambu-rambu” yang harus dijelaskan kepada sastrawan dalam proses kreatif sastra, sebab sastrawan harus hati-hati meramu ungkapan-ungkapannya yang digalinya dari berbagai bentuk ekspresi verbal yang hidup di dunia batinnya yang tak terduga, agar tak melanggar asas-asas ”bahasa nasional”. Mungkin saja situasinya akan jadi lucu, entahlah.
Lantas bagaimana mengatur bahasa iklan, spanduk, stiker komunitas dan komersial, serta slogan yang pada hakikatnya butuh keleluasaan ekspresi? Iklan adalah salah satu aspek kegiatan komersial yang berurusan langsung dengan antusiasme gaya hidup. Tatkala publik konsumen lebih akrab dengan dialek Jakarta, dapatkah sebuah iklan membujuk mereka agar sudi berbelanja dengan ”bahasa undang-undang”?
Marilah kita bayangkan seorang remaja pemenang olimpiade fisika, ketika ia ingin menghibur diri dengan menonton televisi atau membaca majalah atau ke toserba, yang dijumpainya di mana-mana hanya bahasa satu warna karena semuanya diatur undang-undang. Berdosakah terhadap negara jika ia memendam hasrat akan ekspresi interjeksi yang melenting dari jalanan Harajuku atau film Hollywood? Atau kita biarkan ia kembali ke kamarnya dan, lagi-lagi, hanya bermain puisi angka bernama fisika?
Bahasa dalam syair Carl Sandburg adalah uap gunung yang turun ke lembah, melintasi batas negeri-negeri dan membaur.
Rancangan itu mungkin diperlukan untuk bahasa formal kenegaraan, tapi jangan sampai kelak memaksa kita seakan menyaksikan Surabaya yang monokromatis: banal aspal bersambung dengan beton kelabu pencakar langit, segara lumpur Lapindo di selatan, di bawah naungan langit kusam asbes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo