Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sukarno menunjuk Ali Sadikin sebagai gubernur karena menganggapnya paham akan laut.
Ali Sadikin menyelesaikan proyek Ancol sebagai kawasan wisata pantai.
Ali mewujudkan visi maritim dengan menata lingkungan laut serta kehidupan nelayan.
BAGI Ali Sadikin, Presiden Sukarno adalah orang yang punya visi untuk membangun Jakarta sebagai kota pesisir. Bung Karno, menurut Ali, bahkan menjadi orang pertama yang punya gambaran bagaimana kawasan pesisir Jakarta, seperti Ancol, semestinya dibangun. "Agar rawa-rawa itu ditenung menjadi tempat untuk bersantai dan bersenang-senang," demikian kata Ali menirukan pernyataan Sukarno dalam buku Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pembangunan kawasan pesisir Ancol adalah salah satu impian besar Bung Karno. Proyek yang lokasinya berbatasan dengan Pelabuhan Tanjung Priok ini menyulap pantai dan rawa yang terbengkalai menjadi tempat rekreasi publik. Dalam buku Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966, Soemarno Sosroatmodjo, yang menjabat Gubernur Jakarta periode 1960-1964 dan 1965-1966, menyatakan warga Jakarta saat itu tak memiliki tempat rekreasi pantai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah lantas merancang Ancol menjadi kawasan permukiman, industri, perdagangan, dan rekreasi. Sukarno lantas memerintahkan Soemarno mengeksekusi rencana tersebut dengan menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 338 Tahun 1960 mengenai panitia perencana pembangunan Ancol.
Soemarno kemudian menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Jakarta Raya Nomor 11 tertanggal 30 Maret 1961 tentang badan pelaksana dan badan pengontrol pembangunan proyek Ancol. Soemarno menunjuk Soekardjo Hardjosoewirjo, pegawai di kantornya, sebagai Ketua Pelaksana Harian Proyek Ancol.
Di tengah proses ini, Soemarno digantikan Henk Ngantung. Saat itu pembiayaan kredit dari Bank Dagang Negara untuk proyek Ancol berhenti. Padahal pembangunan baru sampai tahap pembebasan tanah, penimbunan, dan penyemprotan daerah rawa-rawa. Menurut penuturan Soekardjo, tanah yang sudah ditimbun rata lantas dibiarkan lapang begitu saja.
Bukan cuma proyek Ancol yang mandek. Pembiayaan Bank Dagang Negara berhenti mengalir ke proyek lain Bung Karno, seperti pembangunan Tugu Monumen Nasional atau Monas, Masjid Istiqlal, dan Jalan Jakarta Bypass yang sekarang dikenal sebagai Jalan R.E. Martadinata.
Ali Sadikin, yang kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jakarta, ketiban masalah ini. Soekardjo melapor kepada Ali ihwal gaji pegawai serta tagihan listrik dan air belum dibayar. Pemerintah DKI saat itu tidak punya uang. Kemudian terpikir oleh Ali upaya mencari mitra untuk melanjutkan proyek Ancol.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin dan Ciputra dalam acara peresmian Proyek Senen, Jakarta, 1971. Dok. TEMPO/Ed. Zoelverdi
Soekardjo pun mengajak Tjie Tjin Hoan alias Ciputra, arsitek dan pengusaha yang memimpin PT Pembangunan Jaya. Pembangunan Jaya adalah perusahaan yang didirikan pemerintah Jakarta bersama sejumlah pengusaha. Selain Ciputra, ada Hasjim Ning, Dasaad Musin, R.A.B. Massi, J.D. Massi, dan Soecipto Amidarmo. Pada pertengahan 1960-an, perusahaan ini menyelesaikan proyek di Senen dan perumahan di Slipi, Jakarta Barat.
Namun masuknya Pembangunan Jaya tak menyelesaikan semua persoalan karena perekonomian nasional sedang didera krisis. Ali dan Soekardjo lantas kembali mendekati banyak pihak yang mau diajak dalam pembangunan proyek Ancol.
Walhasil, Ancol menjadi proyek jangka panjang. Pada 1970, ketika pulang dari berobat di Amerika Serikat, Ali meminta Ciputra pergi ke California untuk melihat tempat-tempat rekreasi di sana. "Melihat Disneyland serta ikan laut yang pandai-pandai, ikan lumba-lumba, si Sabu dan lain-lain," ujarnya.
Inilah cikal bakal Taman Impian Jaya Ancol, yang menjadi kawasan rekreasi pantai sekaligus theme park pertama di Jakarta. Ancol yang dulu dihindari karena wabah malaria dan dijuluki “tempat jin buang anak” berubah menjadi tempat yang menawarkan keriaan.
•••
ANCOL menjadi salah satu simbol kesuksesan Ali Sadikin dalam mewujudkan obsesi Bung Karno. Sejarawan Australia, Susan Blackburn, dalam buku Jakarta: Sejarah 400 Tahun menyebutkan banyak proyek impian Sukarno yang selesai saat Ali memimpin Jakarta. Proyek-proyek tersebut, menurut Blackburn, mengubah wajah Jakarta yang dulu identik dengan bentangan bangunan kumuh. “Sadikin yang menemukan dana untuk membangun," kata Blackburn.
Kepada Tempo, sejarawan JJ Rizal mengatakan Ali bisa meneruskan gagasan Bung Karno tentang Jakarta sebagai kota maritim. Sukarno, menurut Rizal, menunjuk Ali sebagai Gubernur Jakarta demi mewujudkan visi itu. Sukarno menganggap Ali paham akan urusan kemaritiman karena ia berpengalaman sebagai perwira Angkatan Laut. Rizal menyebutkan Ali membangun kesadaran bahwa wilayah terbesar Jakarta adalah perairan. "Banyak orang yang tahu bahwa lebih luas darat, padahal tidak,” tuturnya pada Kamis, 21 Juli lalu.
Ali juga paham bahwa Jakarta punya 20 persen wilayah hutan yang berfungsi sebagai pelindung kota dari banjir dan abrasi serta menambah air tanah. Karena itu, dia mempertahankan sejumlah hutan cagar alam yang berbatasan dengan pesisir, seperti di Muara Angke serta Pulau Rambut dan Pulau Bokor di Kepulauan Seribu.
Menurut Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia DKI Jakarta Suci Fitriah Tanjung, Ali patut diapresiasi karena menerapkan konsep pembangunan yang taat pada rencana tata ruang. Hal itu berbeda dengan sekarang, saat banyak kawasan berubah fungsi. "Misalnya permukiman di Pantai Indah Kapuk, yang mengubah bentang alam Jakarta secara radikal," kata Suci pada Jumat, 12 Agustus lalu. Hutan bakau sebagai kawasan lindung di Jakarta juga menipis.
Visi kemaritiman Ali pun cukup lugas. Semasa menjabat gubernur, Ali membangun kompleks penelitian pengetahuan laut Bina Samudra di bagian utara Taman Impian Jaya Ancol serta Laboratorium Oseanologi di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Tojib Hadiwidjaja, yang menjabat Menteri Pertanian 1968-1978, melihat proyek ini sebagai hal penting untuk kehidupan nelayan.
Ada cerita lain tentang kesejahteraan nelayan. Pada awal masa jabatannya, Ali pernah bersitegang dengan para preman yang memeras nelayan. Mereka memasang bagan atau alat penangkap ikan di tepi laut. Alat itu bukan punya nelayan miskin, melainkan milik para juragan di luar pesisir. "Pihak-pihak yang memeras nelayan-nelayan itu mengganggu lalu lintas di pantai dan lautan," ujar Ali.
Ali kemudian memerintahkan bagan-bagan itu disingkirkan. Namun, saat penertiban berjalan, petugas berhadapan dengan para preman. Ali pun naik pitam. "Saya sangat beringasan, menarik urat leher dan memaki-maki. Saya nyatakan waktu itu: pemerintah DKI akan menghancurkan setiap bagan yang ada di Teluk Jakarta."
Guna memodernkan peralatan nelayan, Ali mengucurkan anggaran daerah untuk memberikan dana bantuan usaha pada 1971. Dana tersebut dibelikan peralatan bagi nelayan. Pinjaman yang dikembalikan disalurkan lagi kepada nelayan lain yang belum menerima bantuan. Tapi upaya ini tak mulus karena banyak nelayan yang tak mampu mengelola usaha. Walhasil, banyak dana kredit yang tak kembali.
Menjelang akhir masa jabatannya pada 1977, Ali membangun pusat perkampungan nelayan seluas 58 hektare di delta Muara Angke, Jakarta Utara. Tempat yang kini bernama Pelabuhan Perikanan Muara Angke itu luasnya bertambah menjadi 64 hektare. Menurut Ali, pembangunan pelabuhan perikanan yang baru menjadi penting karena Pelabuhan Sunda Kelapa, yang awalnya menjadi tempat kapal ikan berlabuh, makin padat oleh kapal niaga.
Pelajar, relawan, dan karyawan PT Pembangunan Jaya, melakukan penanaman pohon bakau di pulau Bidadari, Kepulauan Seribu, Jakarta, 18 Agustus 2016. TEMPO/Amston Probel
Untuk mengembangkan usaha perikanan, Ali membentuk Koperasi Perikanan Pulau Seribu dan Koperasi Mina Jaya. Koperasi Mina Jaya mengembangkan perikanan darat. Tapi upayanya itu luntur setelah Jakarta makin padat oleh industri yang membuang limbah.
Padahal, kata JJ Rizal, Ali Sadikin sudah mengerahkan banyak tenaga untuk menghidupkan visi Jakarta sebagai kota maritim. "Gagasan maritim Ali kemudian hilang, berubah menjadi konsep lain seperti reklamasi, yang berbeda sama sekali."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Merombak Pesisir 'Jin Buang Anak'"