Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ali Sadikin mendapat ide pembangunan Taman Ismail Marzuki dari tulisan dan berita sejumlah media massa.
Ali Sadikin pasang badan untuk memastikan para seniman bisa menggelar pertunjukan dan pameran di TIM.
Ali Sadikin membuat sejumlah kebijakan untuk menjaga kelestarian dan pertumbuhan budaya Betawi.
SEKITAR 150 seniman hadir di rumah dinas Gubernur Provinsi DKI Jakarta di kawasan Taman Suropati, Jakarta Pusat, 9 Mei 1968. Mereka bergantian melontarkan saran dan kritik kepada Letnan Jenderal Ali Sadikin yang menjadi Gubernur DKI Jakarta sejak 28 April 1966. Jenderal Marinir itu pun menyimak, meski sesekali memberikan tanda agar para seniman meringkas omongan mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ali kemudian berdiri dan berbicara. Dia menyampaikan beberapa gagasan dan rencana pemerintah dalam pengembangan seni dan budaya di Jakarta. Ia mengatakan pemerintah akan membangun sebuah pusat kebudayaan yang menjadi tempat para seniman berkumpul dan menampilkan karya. Kegiatan seni di lokasi itu pun akan mendapat dukungan pendanaan dari pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ali, para seniman akan memiliki kebebasan dalam mengurus semua kegiatan seni di dalamnya. Termasuk menentukan siapa seniman yang bertugas mengelola—awalnya disebut sebagai Badan Pembina Kebudayaan, lalu menjadi Dewan Kesenian Jakarta. Sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai pemberi dana.
“Pidato Ali malam itu sama persis dengan isi makalah yang dibuat di Harian KAMI. Berarti apa yang kami tulis saat itu disetujui 100 persen,” kata Goenawan Mohamad, salah satu seniman yang hadir malam itu, kepada Tempo di Salihara, Jakarta Selatan, Kamis, 28 Juli lalu.
Goenawan Mohamad di Salihara Arts Center, Jakarta, 28 Juli 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
Menurut dia, sejumlah seniman sebenarnya sudah lama mendorong pemerintah membangun pusat kebudayaan. Pelukis Oesman Effendi dan perupa Trisno Sumardjo bahkan sempat membuat usul sketsa atau desain gedung pusat kebudayaan itu di majalah Siasat, awal 1950-an.
Semangat yang sama kembali disuarakan sejumlah seniman dan wartawan, seperti Goenawan, Arief Budiman, Arifin C. Noer, Salim Said, dan Sayadi, melalui Harian KAMI, Harian Kompas, Harian Pelopor, Harian Angkatan Bersenjata, dan Sinar Harapan pada awal 1968. Mereka sebenarnya hanya mencoba-coba karena mengetahui Ali sebagai pemimpin yang rajin membaca berita media massa untuk membuat keputusan dan kebijakan.
Suatu hari Arief Budiman menuliskan semua gagasannya tentang pusat kebudayaan. Makalah itu diketik pada tiga lembar kertas kuarto berwarna biru. Dokumen tersebut lalu dititipkan kepada Christianto Wibisono, wartawan Istana Negara dan Balai Kota, yang dekat dengan Ali.
Selain dari tulisan dan kampanye para seniman, Ali memang mulai berencana membangun pusat kebudayaan saat membaca sejumlah tulisan dan berita. Salah satunya tulisan Ajip Rosidi berjudul “Senen: Wajah yang Lama” di majalah Intisari edisi 55 Februari 1968. Tulisan itu berisi tentang minimnya ruang berkumpul dan berkarya buat seniman seusai pembangunan kios dan toko di kawasan Senen.
Proses pembangunan Taman Ismail Marzuki pada 1960-an. Arsip Dewan Kesenian Jakarta
Dalam buku Hidup tanpa Ijazah, Ajip mengatakan Ali membahas tulisannya itu dalam pembicaraan saat dia berkunjung ke rumah pribadi sang Gubernur di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat, April 1968. Kala itu, Ajip, Ramadhan K.H., dan Ilen Surianegara memang biasa bertamu sebelum Ali berangkat ke Balai Kota pada pukul tujuh pagi.
Ali pun menerima salinan desain gelanggang kesenian karya Oesman Effendi yang sebenarnya hanya terdiri atas beberapa bangunan di lahan berukuran sedang. Namun gubernur kelahiran Sumedang, Jawa Barat, tersebut justru menyodorkan lahan dengan luas sekitar 8 hektare di Jalan Cikini Nomor 73, Jakarta Pusat—pemberian Raden Saleh, seorang bangsawan dan pelukis.
Lahan itu sebelumnya adalah taman dan kebun binatang bernama Planten en Dierentuin sejak 1864. Seusai kemerdekaan, lokasi itu berganti nama menjadi Kebun Binatang Cikini. Pemerintah kemudian berencana memindahkan semua koleksi hewannya dari pusat kota setelah mendapat hibah lahan 30 hektare di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pemerintah mulai membangun kebun binatang baru dan memindahkan hewan pada 1964. Kebun binatang baru itu diberi nama Taman Margasatwa Ragunan. Ali meresmikannya pada 22 Juni 1966.
Ali pun menyetujui usul Dewan Kesenian untuk menggunakan nama komponis nasional kelahiran Jakarta, Ismail Marzuki. Sejak itu, lokasi yang menjadi kiblat pertumbuhan seni nasional tersebut bernama Taman Ismail Marzuki atau TIM. Pembangunannya sempat molor dan baru diresmikan Ali pada 10 November 1968.
Pembangunan TIM pun tak menggunakan desain Oesman. Ali justru meminta salah satu anggota stafnya, Wastu Pragantha Zhong atau Tjong, merancang pusat kesenian itu. Tjong kemudian melakukan studi banding ke pusat hiburan di Hawaii, Amerika Serikat. Kemegahan TIM cepat tersebar hingga mancanegara. Sejumlah seniman dunia pun datang dan tampil di teater TIM. Mereka di antaranya koreografer ternama Amerika, Martha Graham; dan koreografer Jerman, Pina Bausch.
Selama menjadi gubernur, Ali getol memberikan perlindungan kepada seniman dan Taman Ismail Marzuki. Dia melarang tentara dan polisi masuk ke kawasan tersebut. Dia juga sempat membantu W.S. Rendra dan Bengkel Teater menggelar pementasan di TIM. Saat itu Komando Daerah Militer Diponegoro tak memberikan izin bagi Rendra dan kelompok teaternya keluar dari Yogyakarta. Ali kemudian menghubungi Kolonel Leo Ngali, Kepala Asisten I Kodam Diponegoro. Rendra pun akhirnya bisa ke Jakarta untuk berpentas di TIM.
Desain maket pembangunan Taman Ismail Marzuki. Arsip Dewan Kesenian Jakarta
“Zaman saya, tak ada pementasan sandiwara yang di-stop di TIM. Saya yang bertanggung jawab, semua harus lewat gubernur. Tak boleh main stop begitu saja,” kata Ali dalam wawancara dengan majalah Matra, Desember 1990.
Namun kondisinya berbeda setelah Ali lengser. Tentara dan polisi mulai masuk ke kawasan Taman Ismail Marzuki. Para seniman juga tak mendapat perlindungan dari gubernur saat berhadapan dengan sejumlah intervensi. Misalnya penangkapan W.S. Rendra saat pembacaan puisi di TIM pada 1 Mei 1978. Lalu ketika tentara merangsek dan memukuli seniman di TIM saat pergolakan reformasi, Mei 1998.
Ali juga menjadikan Taman Ismail Marzuki sebagai salah satu tempat favoritnya. Semasa menjadi gubernur, dia tercatat kerap menjalankan salat Jumat di Masjid Amir Hamzah, TIM. Biasanya Ali datang bersama beberapa anggota staf. Seusai salat, dia akan memerintahkan anggota stafnya menjauh. Ali lalu pergi dan berdiskusi dengan para seniman di kantor Dewan Kesenian selama satu-dua jam. Beberapa seniman yang kerap menjadi partner debatnya adalah Ajip Rosidi dan Wahyu Sihombing.
Selain menjadikan Taman Ismail Marzuki sebagai poros kebudayaan Nusantara, Ali menitipkan pelestarian dan pengembangan budaya Betawi sebagai tuan rumah di TIM kepada Dewan Kesenian. Dia sempat meminta proyek penelitian terhadap sejumlah kesenian tradisional Betawi pada medio 1970. Saat itu TIM kemudian meminta tanggapan masyarakat terhadap salah satu kesenian Betawi, yaitu lenong. TIM pun tercatat paling sering menggelar acara lenong, setidaknya tiga bulan sekali. “Sejak TIM berdiri hingga saat ini, budaya Betawi selalu mempunyai tempat istimewa,” tutur seniman Jose Rizal Manua, yang menjadi pegawai TIM pada 1973-2010.
Menurut Jose, pertunjukan lenong menjadi primadona karena paling banyak peminat pada 1970-1980-an. Sejumlah judul pementasan digelar di Gedung Teater Terbuka, yang memiliki kapasitas hingga 2.500 orang. Harga tiketnya saat itu cukup tinggi, yaitu Rp 400-500. Namun, kata Jose, semua tiket selalu habis. Penontonnya berasal dari kelompok masyarakat ekonomi menengah ke atas.
Popularitas pentas lenong di TIM, menurut Jose, merosot setelah kesenian tersebut mulai menjadi acara di stasiun televisi. Meski demikian, Dewan Kesenian masih konsisten merangkul dan menyajikan seni Betawi itu secara berkala. “Hingga sekarang, lenong itu tampil tiga bulan sekali,” ujarnya.
Ali Sadikin pun menunjukkan keberpihakannya pada kebudayaan Betawi sebagai tuan rumah di Jakarta. Gubernur berdarah Sunda ini menggelar “Seminar Seni Budaya Betawi” yang dihadiri ratusan tokoh dan seniman Betawi pada Februari 1976. Acara tersebut melahirkan kesepakatan lahirnya Lembaga Kebudayaan Betawi, yang menjadi mitra Pemerintah Provinsi DKI dalam penelitian dan pengembangan.
Dia juga memerintahkan jajarannya membuat program yang mengubah kawasan Condet, Jakarta Timur, menjadi Cagar Budaya Betawi. Namun para pengganti Ali tak melanjutkannya. Mereka justru mengubah kawasan cagar budaya itu seperti area lain di Jakarta.
Saat ini budaya Betawi hanya digunakan sebagai bagian dari perayaan tahunan Kota Jakarta. Pemerintah pun kerap menggunakan ornamen budaya Betawi pada pembangunan infrastruktur Jakarta. Tapi kebijakan identitas itu tak berdampak signifikan pada pengembangan kebudayaan. “Pada era Ali Sadikin, budaya Betawi merasa jadi tuan rumah,” kata sejarawan JJ Rizal.
Ali juga sosok gubernur yang menginisiasi pembangunan sejumlah tempat berkesenian anak muda di Jakarta. Dia mulai membangun beberapa gelanggang remaja yang seolah-olah menjadi perpanjangan Taman Ismail Marzuki di tingkat kecamatan pada 1970-an. Namun sejumlah gubernur setelah Ali kemudian tak lagi memperhatikan kondisi fasilitas tersebut. Pemerintah bahkan menyerahkan pengelolaan gelanggang kepada dinas pemuda dan olahraga. Hal ini mempercepat redupnya semua kegiatan seni di fasilitas itu karena tertutup kegiatan olahraga semata.
Kedekatan Ali dengan para seniman tampak hingga hari terakhir jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dia berpamitan kepada para seniman di Taman Ismail Marzuki sebelum kembali ke rumahnya. Dalam acara tersebut, sejumlah seniman memberikan banyak hadiah berupa lukisan, patung, album pementasan, buku, dan karya lain. Para seniman yang memberi Ali hadiah di antaranya Affandi, Sudjojono, Amri Yahya, Lian Sahar, Mochtar Apin, Popo Iskandar, Srihadi, dan Maria Tjui.
Beberapa koleksi tersebut kini sudah dijual. Seperti Ali, keluarga mengaku tak paham dan sanggup merawat ratusan karya seni tersebut. “Beliau memang tak mengerti seni. Semua karya itu diterima karena pemberian. Usai berhenti itu, tumpukan hadiah berupa karya seni memenuhi beberapa ruangan. Kemudian memang kami jual melalui balai lelang di Hong Kong pada 2016,” ucap Boy Bernardi Sadikin, putra Ali Sadikin dan Nani Arnasih.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Poros Budaya Cikini 73"