Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, Ali Sadikin, menjaga demokrasi dengan tidak menyensor pers.
Ia pejabat yang tak anti terhadap kritik dari media, tak pernah memusuhi pers.
Ali turut mendirikan majalah Tempo serta media lain.
MEMBACA neraca penjualan majalah Djaja yang terus anjlok sampai 30 persen, Harjoko Trisnadi berinisiatif menemui Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di Balai Kota pada Agustus 1970. Wakil Pemimpin Redaksi Djaja itu berkeluh-kesah kepada Ali bahwa keuangan majalah yang berusia delapan tahun itu morat-marit karena oplahnya tergerus lantaran kalah bersaing dengan media baru yang dikelola pihak swasta. “Kami kalah bersaing karena mereka bebas menulis berita,” kata Harjoko, 92 tahun, menceritakan pertemuan itu kepada Tempo pada Senin, 1 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Djaja adalah majalah yang diterbitkan pemerintah Jakarta di era Gubernur Soemarno, gubernur sebelum Ali. Ali menjabat Gubernur Jakarta pada 1966 ketika usianya belum genap 40 tahun hingga 1977. Mendengar keluhan Harjoko, dengan meluap-luap Ali menilai konsep majalah Djaja keliru sejak awal. “Seharusnya majalah Djaja tak dijual ke publik karena menggunakan logo pemerintah Jakarta. Ini namanya majalah in-house pemerintah Jakarta,” ucap Ali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mendapat wejangan seperti itu, Harjoko menawarkan agar majalah Djaja dikelola seperti swasta agar bisa bersaing dengan Pedoman yang dikelola Rosihan Anwar dan Indonesia Raya asuhan Mochtar Lubis. “Lalu siapa yang akan mengelola?” tanya Ali. “Mungkin Yayasan Jaya Raya,” ujar Harjoko. “Baik, saya pikirkan dulu.” Yayasan Jaya Raya adalah yayasan di bawah PT Pembangunan Jaya, perusahaan yang sahamnya dimiliki pemerintah Jakarta dan pengusaha Ciputra alias Tjie Tjin Hoan.
Beberapa hari kemudian, Harjoko mendapat panggilan telepon dari Ciputra. Ciputra bercerita baru bertemu dengan Ali Sadikin membicarakan pendirian majalah baru pengganti Djaja. Ciputra juga mengatakan baru bertemu dengan Lukman Setiawan, eks wartawan Kompas. Dari Lukman, Ciputra mendapat informasi pemimpin redaksi majalah Ekspres, Goenawan Mohamad, baru saja dipecat oleh pemilik media itu, Burhanuddin Muhammad Diah.
Goenawan mendukung hasil kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada 14-19 Oktober 1970 di Palembang yang menetapkan Rosihan Anwar sebagai ketua. Rosihan kurang disukai dan ditolak oleh pimpinan media pendukung Orde Baru. Walhasil, PWI menggelar kongres tandingan dan menetapkan B.M Diah sebagai ketua. Gara-gara perseteruan ini, Diah memecat Goenawan dan delapan pendukungnya.
Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin berbincang dengan Goenawan Mohamad (kiri) dalam peresmian gedung baru Tempo di Senen, Jakarta, 1977. Dok. TEMPO/Ed Zoelverdi
Kepada Harjoko, Ciputra berusul Goenawan dan kawan-kawan direkrut untuk membuat majalah baru. Ciputra mengatakan urusan redaksi akan diampu oleh Goenawan, sementara manajemen ditangani Harjoko. “Pak Ci senang dengan tulisan-tulisan Goenawan di majalah Ekspres,” tutur Harjoko.
Pada November 1970, Ciputra, Harjoko, dan Goenawan cs bertemu. Goenawan sepakat bergabung dengan syarat ada pembagian saham yang adil antara perusahaan dan karyawan untuk menghindari pemecatan wartawan oleh manajemen. Semula Ciputra menolak, tapi ia kemudian luluh pada penjelasan Goenawan tentang posisi wartawan di media. Maka mereka bersepakat porsi saham majalah baru yang belum punya nama itu 50 persen milik Yayasan Jaya Raya dan sisanya milik karyawan.
Menurut Harjoko, Goenawan lalu memberi nama majalah baru itu Tempo karena sedang gandrung pada Time, majalah mingguan dari Amerika Serikat. Goenawan mengatakan konsep Tempo akan sama dengan majalah Ekspres, yakni menyajikan berita melalui cerita. Tempo edisi perdana terbit pada 6 Maret 1971.
Ciputra memberi para wartawan Tempo kantor di Jalan Senen Nomor 83, bekas gudang tabung gas. Namun, karena bangunan itu sedang direnovasi, karyawan Tempo berkantor sementara di eks gedung majalah Djaja di Jalan Pintu Besar Selatan Nomor 67. Baru pada 1977, kantor Tempo pindah ke kawasan proyek Senen. Waktu itu Ali Sadikin sedang merevitalisasi Senen dari pasar kumuh menjadi kompleks pertokoan. Ali pula yang meresmikan kantor baru majalah Tempo itu.
Menurut Goenawan Mohamad, kini 81 tahun, meski pemerintah Jakarta punya saham di Tempo, Ali Sadikin tak pernah merecoki urusan redaksi, apalagi memecat wartawan gara-gara masalah pemberitaan. Tempo bahkan tak segan mengkritik kebijakan Ali, seperti dalam artikel “Tajuk Hutan Rimba Beton” tentang proyek Taman Impian Jaya Ancol.
Bukan Ali yang gusar, melainkan Ciputra, yang mengerjakan proyek itu. Gubernur Ali malah adem-ayem saja. “Kalian kalau mau kritik boleh, tapi wawancara saya,” kata Goenawan menirukan ucapan Ali, Kamis, 28 Juli lalu. “Dia enggak pernah melarang pemberitaan, sportif orangnya.”
Bagi Ali, peran media begitu penting untuk demokrasi. Karena itu, Goenawan menambahkan, ia menyediakan ruangan khusus untuk wartawan lengkap dengan peralatan kantor di kantor gubernur. Selain itu, Ali rutin bertemu dengan pemimpin media di Jakarta. Selain memberikan informasi, dalam pertemuan itu Ali meminta kritik. “Saya terbuka dikritik. Tanpa kritik, mana bisa kita maju?” ujar Ali. “Saya anggap wartawan itu pegawai saya yang tidak saya bayar.”
Menurut Harjoko Trisnadi, sikap menerima kritik itu ditunjukkan sejak awal Ali menjabat gubernur pada 1966. Sekali waktu, ia membaca artikel di Harian KAMI yang mengkritik kebijakan pembangunan Gubernur Ali. Harjoko mendengar Ali menghubungi pemimpin redaksinya, Nono Anwar Makarim, ayah Menteri Pendidikan Nadiem Makarim. “Bukannya marah, Ali malah berdiskusi dengan Nono,” tutur Harjoko.
Ali juga turut mendirikan Radio Forum pada 1969. Dalam buku Ali Sadikin Membenahi Jakarta menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan K.H., Ali mengatakan radio adalah alat untuk mengkampanyekan program-programnya. Salah satunya siaran pendidikan untuk mengentaskan anak-anak kampung yang putus sekolah ketika itu. Siaran itu digelar dengan kerja sama Radio Arief Rachman Hakim. Adapun dalam siaran khusus mahasiswa, mereka berkolaborasi dengan Radio Universitas Tarumanagara.
Ali juga komunikatif dengan wartawan. Bahkan, kata Goenawan, cara bicaranya blakblakan. Suatu waktu, Goenawan menghadiri konferensi pers Ali tentang polemik rencana pembangunan klub malam di Jakarta sekitar 1967-1968. Saat itu Sukarno menyebut klub malam sebagai budaya kebarat-baratan. Para ulama juga meributkannya. Di depan wartawan, Ali mengatakan kekhawatiran itu tak beralasan. “Kenapa klub malam diributkan? Saya nonton tari perut enggak ngaceng,” ucap Ali. “Bayangkan, dalam konferensi pers Ali ngomong begitu,” ujar Goenawan.
Ali tak pernah menyensor isi koran. Ia membaca 12 koran setiap hari. Kepada wartawan Dewan Masyarakat dari Malaysia yang mewawancarainya pada Februari 1991, Ali mengatakan membaca satu per satu berita di koran, juga surat pembaca. “Ada yang memuji, memaki, marah kepada saya. Tapi itu baik. Artinya ada partisipasi rakyat ikut memiliki Jakarta,” kata Ali. “Jangan jadi pejabat kalau tidak mau dikritik.”
Di akhir masa jabatan, Ali mengadakan penilaian pribadi terhadap pers di Jakarta. Di hadapan media, ia menilai pers di Jakarta lebih baik ketimbang di daerah dalam hal kebebasan. “Pers di Jakarta berani mengkritik saya. Kejujuran mengkritik pemerintah itu bagus,” tuturnya.
Dengan sikap seperti itu, banyak wartawan yang dekat dengan Ali. Mochtar Lubis, wartawan Indonesia Raya yang galak terhadap pejabat korup, memuji Ali dengan menulis, “Ali bakal dipuja oleh rakyat karena sosoknya yang ganteng serta senang bekerja”. Pun demikian dengan Rosihan Anwar. Menurut Goenawan, Rosihan adalah jurnalis yang mempopulerkan panggilan “Bang Ali” dalam tulisan-tulisannya di majalah Pedoman.
Setelah tak menjabat gubernur pada 1977, Ali tetap berhubungan baik dengan wartawan. Para jurnalis tetap mewawancarainya setelah dia pensiun, dari soal Petisi 50 sampai kisruh di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, dua organisasi politik dan hukum yang ia dirikan.
Suatu hari, di awal 2000, Abdul Kohar dari Media Indonesia meliput “persidangan” Ketua LBH Jakarta Adnan Buyung Nasution yang menjadi pembela jenderal pelanggar hak asasi manusia berat di Timor Timur. Sidang terhadap Buyung itu digelar di rumah Ali di Jalan Borobudur Nomor 2, Menteng, Jakarta.
Pendiri Majalah Tempo, Harjoko Trisnadi, di Jakarta. 4 Juli 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Rupanya, Kohar datang terlalu cepat dari waktu persidangan. Ia lalu bersembunyi di teras menghindari Ali Sadikin. Sebab, Kohar menjelaskan, Ali gemar mengajak debat para wartawan jika bertemu. “Saya agak ngeri-ngeri sedap kalau harus berdebat dengan tokoh yang disegani,” ujar Kohar pada Rabu, 10 Agustus lalu.
Ndilalah, Ali Sadikin memergokinya. Begitu melihat Kohar, Ali memanggilnya. Ali langsung saja bertanya, “Menurut kamu tindakan Adnan Buyung itu benar?” “Sebagai pendekar HAM, pilihan Bang Buyung mengejutkan karena bisa memukul mundur demokrasi. Tapi itu hak beliau,” Kohar menjawab normatif.
Ali kemudian menukas. “Kalau saya lugas saja. Tindakan itu salah. Masak, dulu full membela HAM, berjuang menegakkan keadilan untuk orang tertindas, sekarang malah berkolaborasi dengan pelanggar HAM,” ucap Ali. “Saya tidak bisa terima kalau kayak begini.”
Sewaktu Tempo dibredel pada 1994 karena memberitakan dugaan korupsi pembelian kapal perang dari Jerman, Ali Sadikin tak pernah luput mengikuti sidang-sidangnya. Goenawan Mohamad, pemimpin redaksi Tempo, menggugat pembredelan itu ke pengadilan.
Pada Mei 1995, majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta mengabulkan gugatan Goenawan. Kepada wartawan, dengan heroik Ali Sadikin mengatakan, “Putusan hakim obyektif. Saya ikut membantu mendirikan Tempo. Rasanya sakit hati menyaksikan majalah itu dibredel.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pendekar Kebebasan Pers". Koreksi 16 Agustus 2022 pada tanggal terbitan perdana majalah Tempo