Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIPERIKSA Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai saksi skandal Hambalang, 22 Oktober lalu, Marzuki Alie justru diinterogasi perkara lain. Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu dimintai keterangan tentang proyek pembangunan gedung Dewan, yang telah dibatalkan atas desakan publik pada 2011. Pertanyaan investigator, kata Marzuki, tak diawali basa-basi.
Marzuki mengatakan penyidik ingin mengetahui peran Anas Urbaningrum dalam proyek itu. Ada indikasi bekas Ketua Umum Partai Demokrat itu terlibat proyek gedung Dewan, selain telah menjadi tersangka kasus rasuah proyek Pusat Pendidikan dan Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional Bukit Hambalang. Kepada KPK, Marzuki menjelaskan pernah didatangi Mahfud Suroso, Direktur Utama PT Dutasari Citralaras, milik istri Anas, ketika proyek masih dalam tahap pembahasan. "Dia memperkenalkan diri sebagai orang Anas," ujar Marzuki menceritakan peristiwa tersebut pada Kamis pekan lalu.
Dugaan suap pada proyek gedung Dewan ini merupakan rentetan skandal yang terkuak setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Mindo Rosalina Manulang, anak buah Muhammad Nazaruddin, pada Maret 2011. Ia dituduh menyuap Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam untuk memenangi proyek Wisma Atlet SEA Games XXVI, Palembang. Nazaruddin, yang menjadi terdakwa kasus itu, lalu membuka skandal yang lebih besar, yakni korupsi Hambalang. Kamis pekan lalu, perkara ini mulai diadili Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan terdakwa Deddy Kusdinar, Kepala Biro Keuangan dan Urusan Rumah Tangga Kementerian Pemuda dan Olahraga.
Direncanakan sejak 2008, tender pembangunan gedung DPR dibuka pada 14 Maret 2011. Belum sampai ada pemenangnya, proyek kandas setelah ditentang dari segala penjuru. Publik menilai anggaran gedung kemahalan. Direncanakan tingginya 36 lantai, biaya konstruksi gedung mencapai Rp 1,8 triliun, sebelum berkurang jadi Rp 1,16 triliun. Per 23 Mei 2011, proyek resmi dibatalkan. Meski pembangunan tak jadi, mahar dari perusahaan calon penggarap proyek disinyalir sudah mengalir ke sejumlah anggota DPR.
Marzuki mengaku juga ditanya penyidik soal aliran uang tersebut. Ia menjawab betul sudah ada duit masuk ke DPR. "Saya tahu karena ada anggota fraksi yang menunjukkan uangnya kepada saya," kata Marzuki, yang juga Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR. "Dia komplain uangnya kurang." Kepada Tempo, Marzuki menolak menjelaskan siapa saja anggota DPR yang sudah diguyur, berapa jumlahnya, dan siapa penyuapnya. "Pokoknya dari perusahaan konsorsium," ujarnya.
Marzuki mengklaim, ia langsung menghubungi Menteri Badan Usaha Milik Negara waktu itu, Mustafa Abubakar, untuk memprotes. Sebab, pemberi uang adalah perusahaan konstruksi pelat merah. "Proyek ini belum berjalan, kok, semua orang di BURT sudah disuap." Mustafa Abubakar belum dapat dihubungi. Menteri BUMN penggantinya, Dahlan Iskan, mengatakan perusahaan yang dimaksud antara lain PT Adhi Karya.
Sesungguhnya panjar tak hanya ditebarkan ke sejumlah anggota Badan Urusan Rumah Tangga—alat kelengkapan yang menetapkan kebijakan rumah tangga DPR, termasuk rencana pembangunan gedung baru. Bukti pengeluaran PT Adhi Karya menunjukkan aliran lain. Salah seorang penerimanya diduga Anas Urbaningrum, ketika itu masih Ketua Fraksi Partai Demokrat di Dewan.
Bertanggal 19 April 2010, bukti aliran uang berbentuk "bon sementara" itu diteken Teuku Bagus Muhammad Noor, Kepala Divisi Konstruksi I PT Adhi Karya. Uang senilai Rp 500 juta dikeluarkan dari brankas Adhi Karya untuk keperluan "Anas U". Pengeluaran itu dicatat sebagai "M3"—kode marketing fee di Adhi Karya—proyek gedung DPR.
Dalam surat dakwaan Deddy Kusdinar yang dibacakan jaksa di persidangan pada Kamis pekan lalu, aliran uang itu bagian dari Rp 2,01 miliar yang ditengarai diterima Anas dari Adhi Karya. Selain pada 19 April itu, sepanjang 2010 Anas diduga menerima pada 19 Mei (Rp 500 juta), 1 Juni (Rp 500 juta), dan 18 Juni (Rp 500 juta). Sekali Anas disebut menerima duit Rp 10 juta, pada 6 Desember tahun itu juga. Seluruh pengeluaran tercatat dalam "bon sementara".
Hanya bon tertanggal 19 April itu yang terang-terangan menulis untuk "proyek gedung DPR". Pada bon 19 Mei tercatat untuk keperluan "AU" dan diperhitungkan sebagai "sumbang suara BF". Maksudnya untuk menyumbang Anas dalam Kongres Demokrat di Bandung pada 21-23 Mei 2010, yang dibebankan pada sebuah proyek konstruksi di PT Bio Farma yang dikerjakan Adhi Karya. Demikian pula pada bon 1 Juni dan 18 Juni. Pada kedua sahifah itu ditulis "M3-AU" dan "Bio Farma".
Menurut jaksa, pemberian dari Adhi Karya itu digunakan untuk membayar hotel, membeli BlackBerry beserta kartunya, dan membayar sewa mobil pendukung Anas di Kongres Bandung. Adapun bon 6 Desember 2010 dikeluarkan untuk "jamuan dan entertain" Anas. Menurut sumber, tanggal itu adalah perayaan karena Kementerian Keuangan akhirnya menyetujui kontrak tahun jamak untuk proyek Hambalang.
Anas Urbaningrum membantah pernah menerima setoran dari PT Adhi Karya, baik untuk Hambalang maupun gedung DPR. "Mana buktinya? Tunjukkan bentuknya seperti apa pemberian uang tersebut, kapan, siapa yang mengantar," kata Anas di rumahnya kepada Sundari dari Tempo, Jumat pekan lalu.
Pada 2010, Adhi Karya mengincar dua proyek jumbo, yakni Hambalang dan gedung DPR. Duit telah digerojokkan ke banyak pihak agar proyek tak lepas. Karena hanya Hambalang yang didapat, segala pengeluaran untuk melicinkan gedung DPR dibebankan pada proyek ini. Begitu Adhi Karya menerima pembayaran dari Kementerian Pemuda dan Olahraga untuk Hambalang, sebagian dana dipakai buat menutup segenap suap, termasuk dalam proyek gedung DPR.
Tentu saja, dalam pembukuan resmi Adhi Karya, pengeluaran untuk suap itu tak tercatat. Perseroan melakukan "rekayasa akuntansi" untuk menyamarkan transaksi. Caranya, pengeluaran tadi ditulis sebagai "pembayaran kepada supplier/vendor". Begitu dana cair, "utang" yang ditalangi perusahaan induk harus dilunasi Kerja Sama Operasi PT Adhi Karya-PT Wijaya Karya yang menggarap Hambalang.
Ada puluhan bon sementara yang ditemukan Badan Pemeriksa Keuangan ketika mengaudit Hambalang. Total pengeluaran Adhi Karya yang dihimpun dari puluhan bon itu mencapai Rp 12,39 miliar. Di antara penerimanya ada Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam, sebanyak Rp 6,5 miliar, dan anggota Badan Anggaran DPR, Olly Dondokambey.
Wafid, yang kini menghuni Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Bandung, belum bisa dimintai konfirmasi. Olly pun demikian. Di rumah dinasnya di kompleks DPR Kalibata, Jakarta, pada Selasa dan Rabu pekan lalu, seorang petugas keamanan perumahan itu mengatakan Olly sedang pergi. Dihubungi lewat telepon selulernya, Olly tak merespons.
Bon-bon untuk Anas belum dicatat dalam hasil audit BPK. Bukti pengeluaran buat Anas terhimpun dalam 46 bon lain. Angka yang tertulis pada setiap lembarnya rata-rata Rp 500 juta. Total nilainya Rp 21 miliar.
Berbeda dengan gepokan bon senilai Rp 12,39 miliar yang langsung ditutup Adhi Karya dari kongsi Adhi-Wika, pengeluaran Rp 21 miliar itu dilunasi belakangan. Uang tak langsung ditransfer konsorsium ke rekening Adhi Karya, tapi memutar lewat PT Dutasari Citralaras, subkontraktor Hambalang, yang sahamnya juga dimiliki istri Anas, Athiyyah Laila.
Sejak akhir 2010 hingga awal 2011, Dutasari, yang kebagian pekerjaan mekanikal elektrikal, menerima pembayaran Rp 63,3 miliar dari KSO Adhi-Wika. Pada Juni 2011, Mahfud Suroso, yang juga pemilik Dutasari, menenteng dua lembar cek ke kantor Adhi Karya, yang nilainya masing-masing Rp 11 miliar dan Rp 10 miliar. Oleh bendahara Adhi Karya, cek itu dicairkan, lalu disetorkan ke kas perusahaan.
Mahfud belum bisa dimintai konfirmasi. Ia belum menanggapi permohonan wawancara Tempo. Di kantornya pada Rabu pekan lalu, seorang penjaga mengatakan Mahfud tak ada di tempat. Dalam wawancara dengan Tempo pada Juli lalu, Mahfud membantah pernah menalangi suap Adhi Karya. "Goblok banget kalau saya memberikan uang kepada orang yang enggak kerja buat saya," ujarnya. Pada Rabu pekan lalu, KPK menetapkan Mahfud sebagai tersangka baru Hambalang.
Dalam 46 bon yang total nilainya Rp 21 miliar itulah terdapat bukti pengeluaran buat anggota Badan Urusan Rumah Tangga. Menurut sejumlah sumber, jumlahnya sekurang-kurangnya Rp 1,5 miliar. Uang diguyurkan sekitar akhir 2010-awal 2011.
Adhi Karya mengirim upeti bukan tanpa sebab. Sejumlah sumber mengatakan, menjelang akhir 2010, Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR Pius Lustrilanang bersama lima-enam anggota dari lintas fraksi, antara lain Josef A. Nae Soi dari Golkar dan Refrizal dari Partai Keadilan Sejahtera, meminta bertemu dengan direksi Adhi Karya. Mereka menyampaikan pesan, "Adhi Karya mungkin bakal dicoret."
Pius dan kawan-kawan akhirnya bersua dengan pejabat Adhi Karya, antara lain Teuku Bagus, di Restoran Nippon Kan, Hotel Sultan, Jakarta. Dalam perjamuan itu, Pius dan kawan-kawan kembali menebarkan ancaman tentang pencoretan pada saat tender. Selepas pertemuan itu, Adhi Karya menitipkan kado Rp 1,5 miliar kepada seorang konsultan perencana konstruksi. Uang kemudian diambil seorang utusan Pius bernama Febriyan di kantor pengusaha itu.
Pius menyatakan tak mengetahui ada siraman uang dari Adhi Karya. Ia pun membantah ada pertemuan dengan direksi perusahaan itu di Nippon Kan. Politikus Gerindra ini mengatakan tak memiliki anggota staf bernama Febriyan. "Yang ada, saya punya teman dekat bernama Febri," ujarnya.
Josef Nae Soi dan Refrizal juga menyangkal pernah menerima duit. "Jangankan tahu, mengurusi proyek itu pun tidak," kata Josef kepada Amri Mahbub dari Tempo. Adapun Refrizal menyebutkan, "Malah saya sendiri yang mewakili pengembalian uang anggaran yang sudah turun, kok, nama saya dibawa-bawa dalam pertemuan itu?"
Marzuki Alie, yang mengetahui ada uang masuk ke Badan Urusan Rumah Tangga dari calon penggarap proyek, juga disebut pernah bertemu dengan perwakilan PT Adhi Karya dan PT Pembangunan Perumahan. Menurut sumber, pada akhir 2010, Marzuki mengundang Teuku Bagus Muhammad Noor dari Adhi Karya dan wakil PT Pembangunan ke ruangannya di gedung DPR. Marzuki berencana menyandingkan Adhi Karya dengan PT Pembangunan.
Dia mengusulkan PT Pembangunan sebagai kepala konsorsium dan Adhi Karya sebagai anggota. Tapi Teuku Bagus sudah punya rencana lain. Sebagaimana di Hambalang, dalam proyek gedung DPR pun Adhi Karya bakal berkongsi dengan PT Wijaya Karya. Pembicaraan sempat memanas. Mereka berdua berkukuh dengan rencana masing-masing. Teuku Bagus kabarnya sampai bersuara keras.
Gara-gara itu, beberapa waktu kemudian Teuku Bagus dipanggil Muchayat, Deputi Menteri BUMN. Pesan disampaikan Muchayat lewat Munadi, anaknya, yang akrab dengan Teuku Bagus. "Kiai, nanti malam dipanggil Dewan Syura ke rumah," demikian isi pesan Munadi. "Kiai" adalah sebutan untuk Teuku Bagus, yang memelihara janggut—seperti kebiasaan sejumlah kiai. "Dewan Syura" maksudnya Muchayat.
Menurut sumber, Teuku Bagus ditegur Muchayat karena dianggap kurang ajar kepada Marzuki Alie, koleganya di Partai Demokrat. Dihubungi pada Jumat pekan lalu, Muchayat sempat mengangkat telepon, tapi buru-buru menutupnya dengan alasan sedang sibuk. Dihubungi kembali, ia tak merespons. Pesan pendek juga tak dibalas.
Tak mau menyebut nama, Marzuki Alie mengakui memanggil direksi perusahaan negara ke kantornya. "Saya undang resmi datang ke DPR. Saya bilang BUMN harusnya tidak gontok-gontokan," katanya.
Sejumlah sumber mengatakan Marzuki pun disebut kecipratan Rp 250 juta dari Adhi Karya. Berbeda dengan pengeluaran untuk Anas serta Pius dan kawan-kawan, catatan duit ini tak terselip dalam bon sementara yang nilai totalnya Rp 21 miliar. Kuitansi tersebut raib bersama bukti pengeluaran untuk seorang petinggi Demokrat di DPR senilai Rp 2,5 miliar.
Marzuki menyangkal pernah menerima uang itu. "Dari nilai proyek sebesar itu, kalau saya mau, Rp 100 miliar saya dapat. Nah, Marzuki Alie enggak mau. Apalagi Rp 250 juta," ujarnya. Tapi Marzuki mengakui ada orang yang datang hendak menyuapnya. "Jangan dipelesetkan seolah-olah saya minta duit. Enggak ada. Tapi, kalau orang jual nama saya, iya."
Pius dan kawan-kawan serta Marzuki sebenarnya bergerak belakangan. Jauh sebelumnya, sejumlah politikus sudah membicarakan proyek gedung DPR. Satu pertemuan dilaksanakan di Singapura pada 2010. Dari Demokrat, datang Anas dan Nazaruddin. Dari Golkar, ada Priyo Budi Santoso dan Setya Novanto. Olly Dondokambey mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Dalam pertemuan itu, menurut sejumlah sumber, para politikus menyodorkan perusahaan "bawaan" masing-masing. Nazaruddin membawa PT Duta Graha Indah, perusahaan yang juga dia sorongkan pada proyek Wisma Atlet Palembang dan Hambalang. Adapun Priyo disebut mengusulkan PT Waskita Karya.
Kepada Wayan Agus Purnomo dari Tempo, Priyo membantah ada pertemuan di Singapura. "Untuk apa bertemu di Singapura?" katanya. Anas pun menyangkalnya. "Untuk membuktikannya gampang. Cek saja ke Imigrasi," katanya.
Teuku Bagus belum bisa dimintai konfirmasi secara langsung. Erman Umar, pengacaranya, irit berkomentar. "Nanti kita lihat saja di pengadilan siapa yang datanya benar," ujarnya. Setelah diperiksa KPK sebagai tersangka Hambalang pada Juli lalu, Teuku Bagus tak membantah pernah mengucurkan dana ke sejumlah pihak. Tapi, kata dia, "Kami diperas dan diperalat oleh mafia proyek."
Ketika tender dibuka pada 14 Maret 2011, pemenangnya belum bisa diraba. Adhi Karya menggandeng Wijaya Karya. Sedangkan PT Pembangunan Perumahan maju sendirian, juga PT Waskita Karya dan PT Duta Graha Indah. Ada delapan peminat proyek. Tiga di antaranya dari swasta, sementara yang lainnya perusahaan konstruksi pelat merah.
Di tengah derasnya kritik publik yang menilai pembangunan gedung itu kemahalan, KPK meringkus Mindo Rosalina Manulang serta Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam. Seperti bangunan kartu, penangkapan ini merontokkan permainan dalam proyek lain, yakni skandal Hambalang dan kini pembangunan gedung Dewan.
Anton Septian, Rusman Paraqbueq, Tri Suharman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo