Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Allah membuka pintu muslimin uni...

Lukman harun melihat dari dekat kegiatan umat islam di uni soviet. pembaruan gorbachev membuka kebebasan umat islam. mereka boleh menjalankan ibadah haji. sejarah pertumbuhan islam di uni soviet.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ALLAH telah membuka pintu buat umatnya di Uni Soviet," kata Khadzhi (harap dibaca Haji) Adil Zainalov dengan lega. Delapan tahun lalu, di antara jutaan muslim Azerbaijan hanya ia dan dua orang lain yang diizinkan pergi menunaikan ibadah haji. Tapi tahun ini, "Insya Allah, yang berangkat ke Tanah Suci dari Kota Baku saja sebanyak 60 orang," kata "Haji Soviet" itu. Angka itu memang masih terbilang sedikit. Tidak sebanding dengan, misalnya, jamaah haji Indonesia yang tahun ini mencapai 80 ribu orang. Tetapi angka yang kecil tadi cukup untuk menggambarkan perubahan apa yang terjadi di Uni Soviet. Dalam beberapa dekade terakhir, kaum muslim Soviet yang menunaikan ibadah haji dapat dihitung dengan jari. Tak lebih dari 20 orang setiap tahun, di seluruh negeri tadi. Namun, dengan semangat glasnost, kesempatan jadi amat lapang. Pemerintah tak hanya memperkenankan kaum muslim setempat pergi ke Mekah, tapi juga berjanji menyediakan pesawat carteran. Terutama dari negara-negara bagian di Soviet Selatan. Juga dari wilayah Asia Tengah, yang sebagian besar memang berpenduduk muslim. Diperkirakan sekitar 1.500 muslim Soviet akan pergi ke Mekkah tahun ini. Arkady A. Maslenikov -- juru bicara Departemen Luar Negeri -- mengatakan bahwa pihaknya telah menginstruksikan agar pemberian paspor haji diperlancar dan dipercepat. Menurut Zainalov, pemimpin Islam wilayah Transkaukasus dan imam masjid Tazi Pir -- salah satu masjid terbesar di Baku, ibu kota Azerbaijan sudah ribuan orang mengajukan perrnohonan naik haji. "Bagi kami, pengumuman pemerintah itu merupakan hadiah besar. Kami merayakannya seolah-olah sebuah peristiwa besar," tuturnya. Toh, janji itu masih ditawar lagi. Pekan lalu sejumlah muslim dari sejumlah kota berkumpul di Moskow, berniat menemui Boris Yeltsin, presiden baru Republik Federasi Rusia. Mereka hendak minta agar jamaah haji dari Soviet tak usah dibatasi. Tampaknya mereka sudah rindu pergi ke Tanah Suci. "Bila izin diberikan, sekalipun mesti jalan kaki akau akan pergi ke Mekkah," kata Kazhai Mokhammad, orang tua berjenggot abuabu dan coklat, dari kota Astrakhan, 1.000 km dari Moskow, satu di antara kelompok yang akan menemui Presiden Rusia. Di bawah Gorbachev, Soviet bagaikan lahir sekali lagi. Agama menikmati kebangkitannya kembali. Ribuan gereja Rusia Ortodoks -- yang disita pemerintah untuk pemaksaan ateisme dikembalikan kepada penganutnya. Padahal, selama ini, gereja-gereja itu telah dipakai untuk berbagai hal. Dari gudang sampai pabrik vodka. Umat Yahudi pun boleh menjalankan agamanya kembali -- termasuk untuk beremigrasi ke Israel. Yang belum banyak melangkah maju adalah perlakuan terhadap muslim. Kaum muslim terus mengeluh. Quran sangat langka. Izin beribadah haji pun tetap dibatasi. Seorang diplomat Barat -- pengamat masalah Islam di Uni Soviet -- mengemukakan bahwa kaum muslim Soviet memang sulit untuk beribadah secara normal. Sebab, "Moskow selalu khawatir bila Islam didukung pemerintah, nantinya akan sulit dikendalikan." Tapi, kini ia melihat Moskow mulai melonggarkan kekangannya terhadap Islam. "Itu jelas perubahan besar," katanya. Penyebabnya bukan karena desakan langsung kaum muslim. Justru karena memuncaknya nasionalisme dan semangat etnis negara-negara bagian. Termasuk negara bagian yang beretnis muslim. Dengan membuat langkah baru yang menyenangkan muslim, "Gorbachev mencoba menenangkan gejolak etnis itu." Pengaruh langkah Gorbachev sangat terasa. Lukman Harun, Ketua Muhammadiyah, menyaksikan perubahan itu. Januari lalu, ia berkunjung ke Moskow. Ia diundang mengikuti pertemuan yang diadakan oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang berpusat di New York. Pada saat itulah ia menyaksikan bangkitnya Islam di Uni Soviet. Menurut Lukan, beberapa orang muda mulai tampak mengunjungi masjid. Pernikahan dua kali juga mewabah. Mula-mula nikah, menurut ketentuan negara. Lalu, diulang secara Islam. Suatu hal yang tak pernah terjadi sebelum masa Gorbachev. Jumlah masjid pun sekarang meningkat. Sepuluhan tahun lalu, hanya ada 300 masjid. Padahal, terdapat 70 juta penduduk muslim (ada yang mengatakan sekitar 40 juta -- 17 persen dari 262 juta jiwa penduduk Soviet). Di Moskow, malah cuma ada satu masjid bagi ratusan ribu muslim. Tapi sekarang, tak kurang dari 700 masjid berserak di seluruh Soviet. Ditambah dengan mushala, total tempat ibadah mencapai 1.000 buah. Ulama memang masih langka. Untuk memperbanyak barisan ulama, sejumlah pemuda berangkat ke negara-negara Arab. Terutama yang berpaham sosialis. Ada yang ke Libya, Yordania, juga Syria. Tentu, dengan biaya sendiri. Masyarakat muslim setempat memang membiayai dirinya sendiri. "Khatib dan imam masjid digaji masyarakat." Begitu juga para mufti, yang biarpun perorangan berfungsi seperti majelis ulama di Indonesia. Sekarang masyarakat muslim setempat dipimpin oleh empat mufti. "Kekuasaan" para mufti itu meliputi wilayah tertentu. Satu sama lain berbeda. Yang berkedudukan di Ufa membawahkan wilayah daratan Eropa dan Siberia. Untuk wilayah Kaukasus Utara, kekuasaan berpusat di Buinaks. Yang di Baku Azerbaijan memimpin warga muslim wilayah Transkaukasus. Sedangkan wilayah Asia Tengah dan Kazakhistan berpangkalan di Tashkent. Di Soviet juga terdapat tiga madrasah -- sekalipun jauh dari memadai -- setingkat aliah. Plus sebuah madrasah untuk tingkatan akademi. Dapat dimengerti bila dikatakan bahwa pemahaman kaum muslim Soviet terhadap ajaran Islam sangat rendah. Seorang ulama memperkirakan bahwa cuma tiga persen warga muslim setempat yang paham Islam. Bisa jadi perkiraan itu benar. Suatu waktu, seorang pemandu mengantarkan Lukman Harun pergi ke masjid. Sampai di masjid, si pengantar menolak masuk. "Saya muslim ateis," katanya. Sebagai seorang "muslim ateis", ia merasa tak sepantasnya masuk masjid. Salat? "Tidak." Lalu, siapa Tuhanmu? "Tuhan saya adalah pikiran saya. Yakni Islam." Menurut istilah Lukman, "mereka memandang Islam sebagai kultur". Bukan sebagai agama. Di rumah, sejak kecil mereka tahu bahwa keluarganya muslim. Serupa halnya dengan mereka tahu bahwa salah seorang tetangganya "yahudi". Sedangkan di sekolah, mereka didoktrin ajaran ateisme. Cara pandang seperti ini serupa dengan pandangan bahwa orang Aceh, Minang, dan Madura mesti Islam -- ternyata menguntungkan bagi kelangsungan Islam di Soviet. Lukman mengaku merasa takjub. "Islam di Uni Soviet adalah suatu keajaiban. Bertahan dari segala bentuk penindasan. Tanpa masjid, tanpa Quran, tanpa salat, tanpa guru agama, tanpa haji, tapi tetap survive." Berbeda dengan, misalnya, di Spanyol. Lantaran tak mengakar menjadi budaya, maka Islam pun lenyap dari bumi Spanyol. Biarpun Islam pernah menguasai kawasan itu beberapa abad. Di Soviet, selama berabad-abad, Islam ditindas melebihi batas. Salah satu puncaknya adalah di masa Stalin. Setelah revolusi Bolsyewik berhasil, Lenin mengundangkan sebuah ketentuan. Isinya: menjamin "kebebasan untuk berpandangan ateis" sebagaimana kebebasan beragama. Ketika kemudian Stalin berkuasa, keadaan pun berubah. Propaganda agama dilarang. Propaganda antiagama disokong pemerintah. Pelajaran agama dicabut dari kurikulum sekolah. Ateisme malah diwajibkan: Ribuan masjid ditutup -- dijadikan sekolah, perpustakaan, gudang, atau dihancurkan. Begitu pula madrasah-madrasah. Antara tahun 1937 dan 1940, sekitar 30 ribu ulama dan imam di daerah Rusia dibunuh, dipenjarakan, atau dikirim ke kamp kerja paksa. Quran dan buku-buku agama dibakar. Pada tahun 1927, di Republik Rusia saja -- bukan di seluruh Soviet -- ada sekitar 14.300 masjid. Usai Perang Dunia Kedua, jumlah tadi menciut sampai hanva 1.500 masiid. Sepuluh tahun kemudian, tinggal 400 masjid. Para pemimpin Soviet berikutnya, Nikita S. Khrushchev dan Leonid Brezhnev, melanjutkan garis Lenin: mengganyang Islam. Pada tahun 1960. jumlah itu tinggal 22 buah saja, tersebar di Moskow, Leningrad, Ulyanovsk, Volgograd, Rostov, Gorky, dan Kuibyshev. Nasib ini memang tak cuma menimpa Islam. Melainkan juga Kristen dan Yahudi. Tapi, dibandingkan dengan pemeluk agama lain, kaum muslim di Soviet lebih sering ditindas. Bagi mereka, Stalin bukan orang pertama yang menggenjot. Para tsar terdahulu pun menekan Islam -- walau dengan cara yang sedikit lebih lunak: bukan membunuhi, melainkan memaksa menjadi Kristen. Islam bukan barang baru di Soviet. Sejumlah ulama percaya bahwa Islam masuk ke kawasan itu pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Sekitar tahun 21 Hijriah, atau 712 Masehi. Panglima perang bernama Kutaiba disebut-sebut membawa ajaran itu. Mula-mula di Samarkand. Lalu menyebar ke daerah Bukhara, Azerbaijan, Tashkent, dan seluruh Turkistan. Kerajaan pertama di Uni Soviet yang berhubungan dengan Islam adalah Bulgar Wolga. Menurut Lukman, kerajaan ini telah berhubungan baik dengan kekhalifahan Abbasiah di Baghdad. Ketika itu, Khalifah mengirimkan guru-guru agama, mubalig, dan tenaga ahli untuk membangun Bulgar Wolga. Sampai akhirnya raja setempat masuk Islam, dan Islam pun berkembang pesat di sana. Pada tahun 989, kerajaan ini hendak berdakwah. Raja mengirim mubalig ke Moskow untuk mengajak Vladimir, Raja Rusia, masuk Islam. Ada kisah yang menceritakan perjalanan "misionaris" itu. Para mubalig tersebut menjelaskan prinsip-prinsip Islam kepada Vladimir. Antara lain, Islam melarang minum alkohol dan berzina. Juga seorang muslim harus berkhitan, salat lima kali sehari, berpuasa sebulan penuh, dan berbagai ketentuan lain. Kabarnya, Vladimir merasa berat menjalankan ketentuan itu. Maka, ia menolak Islam. Sekitar tahun itu pula, misi Kristen Ortodoks masuk Moskow. Mereka berhasil mengajak Vladimir masuk Kristen. Sejak saat itu, Kristen Ortodoks berkembang, terutama di Rusia Utara. Belakangan Moskow menjadi pusat agama itu -- menggantikan Konstantinopel-Yunani yang direbut Sultan Muhammad II dari Kekhalifahan Usmaniah pada abad ke-15 Masehi. Pada tahun 1237, kedamaian kerajaan Islam di tepi Sungai Wolga itu terusik. Pasukan Mongol menyerbu, memorakporandakan segalanya. Mereka malah mendirikan kerajaan di situ, yang dinamai Golden Horde. Padang rumput yang subur dan aliran Wolga menggiurkan menjadi alasan mereka memilih tempat itu sebagai ibu kota yang bernama Sarai. Hanya belasan tahun orang Mongol bercokol di sana, keadaan lalu berubah. Raja yang kemudian berkuasa, Baraka Khan (1253-1266), masuk Islam. Islam berhasil menjadi agama resmi bangsa Tartar -- sebutan buat orang-orang Mongol muslim. Raja pengganti, Uzbek Khan, malah lebih getol menyebarkan Islam. Dialah yang disebut oleh banyak orang sebagai perancang dakwah Islam dl Rusia walaupun para penggantinya tak begitu peduli lagi dengan agama, dan lebih sibuk mengumpulkan upeti dari negara-negara jajahan. Namun, kemudian, para pewaris kerajaan Mongol itu bertikai. Timur Lenk menyerang Golden Horde dan merebut Sarai. Raja saat itu, Thuhtemis Khan, lari ke Lithuania dan menyebarkan Islam di sana. Timur Lenk mengangkat anaknya sendiri, Quthluk Taimur Khan (1392-1399). Namun, kekuasaan para keturunan Mongol itu melemah. Mereka berebut kekuasaan. Islam bangkit kembal setelah kerajaan itu ambruk dengan sendirinya, dan kemudian berdiri Kzan Khanate. Pada masa inilah masjid dan madrasah bangkit. Hampir di setiap kampung berdiri masjid dan madrasah. Namun, ancaman datang lagi. Pada 1533, Ivan "The Terrible" naik tahta. Ia melihat kerajaan di tepi Wolga itu lemah. Padahal, ia tengah mencari jalan menuju "laut panas". Maka, ia menyerbu. Selama empat tahun (1552-1556), perang berlangsung. Sampai akhirnya Ivan "The Terrible" dapat menjadikan Kazan dan Bashkiria menjadi bagian Rusia. Daerah muslim yang belum mereka kuasai hanya Semenanjung Krim. Baru pada masa Tsar Nicolas I (1825-1855), seluruh kerajaan Islam jatuh ke tangan Rusia. Inilah babak baru bagi kaum muslim Soviet. Hubungan Islam-Kristen menjadi sangat terbatas. Kristen Ortodoks adalah agama resmi pemerintah, sedangkan Islam adalah agama mereka yang terjajah. Pihak Kristen berupaya menarik orang Tartar pindah agama. Sementara itu, kalangan Islam berusaha menarik kembali mereka yang telanjur pindah agama. Sampai lahir ketentuan Gereja Ortodoks: "Mereka yang telah menjadi Kristen dan kemudian masuk Islam akan dicabut segala hak sipilnya, dipenjarakan, dan diganjar kerja paksa selama delapan tahun." Memang tak ada kekerasan. Namun, hubungan yang "kurang baik" itu berlangsung terus sampai tahun 1905, saat lahirnya Undang-Undang Kebebasan Beragama. Tapi, lantaran dianut oleh para keturunan Tartar, bukan Rusia, Islam tetap menjadi nomor buncit. Kaum muslim Soviet kini tampak lebih leluasa menjalankan agamanya. Itu terlihat pada salat Jumat, misalnya. Sewaktu berkunjung ke masjid Moskow beberapa bulan lalu, Lukman Harun menjumpai sekitar 500 orang tengah salat. Kebanyakan memang orang tua dan setengah tua. Namun, di antaranya ada beberapa anak muda. Di saat salat asar ia pun bertemu dengan sekitar 30 pemuda. Di antaranya mahasiswa. "Ketika berkunjung ke sana, 1963, saya tak melihat anak muda sama sekali," tuturnya. Acara keagamaan mulai boleh disiarkan. Natal dan Lebaran sudah masuk radio dan televisi. Ada empat orang muslim yang sekarang duduk di parlemen. Membacakan ayat-ayat Quran di depan massa, juga bukan hal tabu di Kremlin. Tapi larangan peninggalan lama pun masih ada yang diberlakukan. Di antaranya -- menurut Lukman berazan dari menara masjid. Azan cuma boleh dilakukan di tanah lapang. "Keajaiban" berikutnya kemudian datang: beribadah haji diizinkan. Zainalov ingat betapa sulitnya pergi haji beberapa tahun lalu. Untuk mendapatkan izin, ia harus sabar dan bersusah payah selama berbulan-bulan -- untuk melewati liku-liku birokrasi. Sekarang, setelah kemudahan dibuka, ia tak berniat pergi lagi. "Untuk memberi kesempatan kepada yang lain." Ia mengatakan, ada sejumlah rukun Islam yang harus dipenuhi umatnya. Antara lain, salat, berzakat, dan beribadah haji. Namun, kata Zainalov, di Soviet ada persyaratan lagi yang harus dipenuhi. Yakni, "bila pemerintah mengizinkan." Soviet dan Arab Saudi sendiri, sampai kini, tak memiliki hubungan diplomatik. Hubungan itu putus tahun 1920-an. Beberapa tahun terakhir, hubungan itu diperburuk oleh perang di Afghanistan. Saudi menganggap Soviet membantu rezim komunis yang memerintah. Seorang diplomat Timur Tengah melihat bahwa langkah Soviet melonggarkan izin naik haji ini merupakan bagian dari sikapnya untuk memperbaiki hubungan diplomatik dengan Arab Saudi. Para ulama memanfaatkan benar situasi politik itu. Mereka minta bantuan -- berupa buku-buku agama, Quran, dan beasiswa -- dari negara-negara Islam lain. Mereka juga hendak membangun Islamic Centre. Menurut Imam Ravil Gunutdin -- imam masjid Moskow yang diangkat umat pada tahun 1987 -- mereka juga merencanakan akan membuat lagi sebuah masjid di Moskow. Selain memperluas masjid yang sudah ada. Agaknya, perlu beberapa tahun lagi bagi muslim Soviet untuk dapat menjalankan agamanya secara normal. Mereka -- yang sebagian besar pengikut mazhab Hanafi itu -- harus menghadapi kurangnya pemahaman Islam, jangkanya Quran dan buku agama, serta sedikitnya madrasah serta masjid. Mereka juga harus berbenturan dengan "modernisasi" yang bakal bertiup bersama glasnost. Salat Jumat di masjid Moskow, misalnya, dianggap Lukman tak seefisien di Jakarta. Entah kapan keindahan masjid Samarkand akan diimbangi dengan meruahnya jamaah. Azan bergema lagi dari menara-menara masjid. Lalu muncul intelektual besar -- sekaliber Imam Bukhari, Tarmidzi, dan Ibnu Khaldun -- yang berasal dari Negeri Beruang Merah itu. Zaim Uchrowi, Sri Pudyastuti (Jakarta), dan Yusril Djalinus (Winoosky)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus