Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Islam Di Asia Tengah

Perkembangan islam di uni soviet bagian asia tengah : tajikistan, turkmenistan, dan uzbekistan. ke kangan terhadap islam memudar berkat pembaruan gorbachev. mereka ada yang pro moskow ada yang acuh.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN langkah gagah dan yakin, pemerintah muda Bolsyewik mencoba mengkomuniskan Asia Tengah, negeri-negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Ketika itu, 1919, belum dua tahun umur kemenangan revolusi merah di Rusia, perang saudara ini meruntuhkan sebagian besar dari 26.000 masjid dan 24.000 madrasah. Pemimpin-pemimpin Islam ditangkap, dipenjarakan, atau dibunuh. Janji sang pemimpin, Lenin, beberapa waktu setelah merebut kekuasaan dari tangan Tsar, bahwa "Agama dan adat istiadat kalian kebudayaan nasional kalian, bebas dan tak akan disentuh," ternyata gombal belaka. Maka, 26 Agustus 1920, negeri Kazhakistan jatuh. Enam tahun kemudian, wilayah ini resmi disebut Republik Sosialis Soviet Kazhakistan. Pada 1926, wilayah Kirghizia jatuh. Dua tahun sebelumnya, tiga wilayah yang lain juga sudah berada di bawah panji-panji merah: Tajikistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Bolsyewik menang mutlak. Dan segera, tirai besi segera didirikan. Asia Tengah pun tersegel, tak lagi bisa berhubungan langsung dengan dunia luar. Kampanye ateisme dilancarkan dengan intensif. Pendidikan agama untuk anak di bawah 18 tahun dilarang. Sekolah-sekolah hanya memberikan indoktrinasi ateisme. Hasilnya, menurut penulis buku Islam in the Soviet Union (1964) Alexandre Bennigsen, di pertengahan 1960-an jumlah muslim di Asia tengah berkurang separuhnya. Sebagian jadi acuh tak acuh, sebagian lagi (tapi ini kecil jumlahnya) benar-benar berubah jadi ateis. Islam sebagai kekuatan ekonomi dan politik pun selesai. Agama wahyu ini benar-benar menjadi hanya kegiatan yang sifatnya individual. Salat jamaah dan salat Jumat praktis tak ada. Meski masih ada beberapa masjid, orang tak suka mengunjunginya karena itu adalah "masjid pemerintah". Tiap ada kegiataan sembahyang bersama di masjid tersebut, orang-orang yang hadir mesti diabsen dan daftar nama itu diserahkan kepada pemerintah. Ini tidak lucu, dan karena itu mereka berpendapat lebih baik tak usah ke masjid. Tapi, sementara itu, budaya Islam tetap jalan. Pernikahan tetap dilangsungkan dengan cara muslim, upacara penguburan jenazah dilakukan dengan cara Islam. Bahkan di bulan puasa, semua pekerja Islam tetap menjalankan ibadah puasa. Tidakkah mereka mendapat kesulitan dari "kolonial Rusia"? Dengan taktis, orang-orang itu mengatakan bahwa mereka sedang menjalani "diet". Dan, tentu saja, pendidikan privat di rumah-rumah -- dari orangtua kepada anak-anaknya terus berjalan tanpa bisa dikontrol penguasa. Ini menjelaskan bahwa penaklukan republik-republik Asia Tengah oleh Kremlin sementara sukses secara politis, ekonomis, dan geografis, tapi tak pernah benar-benar berhasil secara psikologis: menghapuskan Islam dari wilayah itu. Maka, 50 tahun setelah perang saudara itu, jumlah muslim di republik-republik Asia Tengah tetap cukup besar: 30 juta, sedangkan orang Rusia di lima republik itu masih 9 juta. Di pertengahan 1980-an, ditaksir jumlah muslim di wilayah itu mencapai lebih dari 40 juta. Kini, menurut beberapa sumber, muslim di Asia Tengah lebih dari 60 juta (populasi Uni Soviet seluruhnya sekitar 286 juta). Bila tingkat pertambahan penduduk di situ konstan, diperhitungkan jumlah orang Islam di Asia Tengah akan mencapai 100 juta pada tahun 2000. Grafik populasi yang terus naik di Asia Tengah salah satu sebabnya memang kesadaran para muslim sendiri. Agar mereka tetap menjadi mayoritas dibandingkan dengan etnis Rusia, program keluarga besar memang jadi cita-cita hampir semua muslim di sana. Di antara semua republik di Soviet, angka kelahiran di Asia Tengah memang tertinggi. Sampai tahun 1970 jumlah penduduk di Asia Tengah sekitar 18,5% dari seluruh populasi Uni Soviet, tetapi pada akhir 1979 sudah menjadi lebih dari 27%, dan di pertengahan 1980-an naik lagi menjadi lebih dari 30%. Selain itu, para pemimpin setempat yang bisa bekerja sama dengan penguasa Rusia melihat bahwa kaum muslim di Asia Tengah merupakan aset buat politik luar negeri Uni Soviet. Kata Nariman Narimanov, sekretaris Republik Azerbeijan -- yang warganya pun mayoritas Islam -- di tahun 1920-an, bahwa kaum muslim di Soviet bisa dijadikan sebagai "saluran untuk mengirimkan revolusi Bolsyewik ke negeri-negeri Islam". Mir Said Sultan Galiev, seorang Tatar yang masuk komunis, pada 1923 menulis tentang berdirinya Republik Azerbeijan. Dalam tulisan itu ia berpendapat, "bila kita (Uni Soviet) berniat mengobarkan revolusi merah ke Timur, kita mesti menciptakan di dalam Soviet-Rusia wilayah yang mirip dengan kehidupan muslim di sana untuk laboratorium percobaan membangun komunisme." Maksud Galiev, Republik Azerbeijan akan menjadi proyek percontohan bila Soviet berniat memerahkan Persia, Arab Saudi, dan Turki. Waktu itu, pemerintah pusat di Moskow bukan hanya tak mau mendengar pendapat itu, melainkan melarang pikiran itu disebarluaskan, dan mengecap pemikirnya sebagai "nasionalis borjuis". Dan tak lama setelah Stalin menggantikan Lenin, Galiev -- yang tadinya sehat walafiat -- ditemukan mati di tempat tidurnya. Dan memang benar, hingga sekarang pun Pemerintah Soviet tak mencoba mengobarkan revolusi merah di negeri Islam -- berpedoman pada pengalaman "memerahkan Asia Tengah". Tapi tak berarti bahwa tetap hidupnya Islam di Asia Tengah tak punya arti bagi Soviet. Bahkan kemudian, setelah Nikita Khrushchev turun dari Perdana Menteri Uni Soviet (1964), terjadi perubahan sikap yang ironis. Sementara itu, PKUS tetap tak memberikan kepercayaan bagi kaum muslim Asia Tengah untuk menjadi agen penyebar revolusi, kenyataan bahwa ada pemeluk Islam di Uni Soviet menjadi salah satu senjata penting buat diplomasi Soviet di negara-negara Islam. Perubahan itu sedikit banyak juga menguntungkan kaum muslim Asia Tengah sendiri. Soalnya, pemerintah pun kemudian berkepentingan agar dunia luar, Islam khususnya, punya gambaran bahwa kaum muslim di Soviet memiliki kebebasan menjalankan ibadahnya. Delegasi Islam dari beberapa negeri bahkan kemudian diizinkan mengunjungi saudara-saudara mereka di Uzbekistan, Tajikistan, di Kirghizia, dan lain-lain. Bahkan kemudian diterbitkan majalah Islam bernama Muslim dari Timur dalam empat bahasa: Inggris, Prancis, Arab, dan Uzbekistan. Tashkent, ibu kota Uzbekistan, dijadikan pusat kegiatan muslim Asia Tengah. Tak cuma itu. Dewan Rohani Tashkent kemudian mengadakan beberapa pertemuan internasional. Tentu saja, selain acara keagamaan, biasanya di akhir pertemuan ada pernyataan-pemyataan berbau politik. Misalnya, dalam pertemuan di Tashkent pada 1970, yang bertemakan "persatuan dan kerja sama umat Islam mewujudkan perdamaian" dan dihadiri wakil dari 24 negeri Islam, di penutupnya ada pernyataan kecaman terhadap "imperialis" Amerika, Israel, dan Afrika Selatan. Sesudah itu, banyak lagi pertemuan diadakan. Antara lain, 1973, di Tashkent juga, pertemuan jelas-jelas bertemakan politik: "Muslim Soviet mendukung perjuangan Arab melawan agresi imperialis Israel." Pada Agustus 1974 di Samarkand, kota di Uzbekistan juga, diadakan peringatan 1.200 tahun Imam Bukhari. Hadir wakil-wakil dari 25 negeri Islam. Acara ini agak menyebal dari biasanya, tak ada pernyataan politik melawan Amerika dan Israel. Bahkan Pemerintah Uni Soviet sendiri memberi tempat bagi kaum muslim untuk menyiarkan yang mereka inginkan di radio-radio (tentu saja, semuanya radio pemerintah). Pada kenyataannya, siaran itu sudah diarahkan. Kalau siaran tak mendengung-dengungkan pentingnya kerja sama antara umat Islam di Soviet dan pemerintah setempat serta pemerintah pusat di Moskow, diisi dengan kecaman terhadap imperialis Amerika, Israel Afrika Selatan, dan Cina, juga para imigran Soviet yang kemudian bekerja di Radio Kebebasan di Eropa. Siaran Islam di radio-radio itu kemudian ternyata sangat berguna dalam membentuk opini publik dalam negeri. Misalnya, ketika tentara Soviet menyerbu Afghanistan, Ziautdin Babakhanov, Ketua Dewan Rohani Muslim Asia Tengah dan penasihat pemerintah Tashkent, berpidato di radio bahwa serbuan itu demi menolong saudara-saudara muslim di Afghanistan. "Kaum muslim Afghanistan berabad-abad ditindas oleh kaum feodal, dan kini mereka memutuskan untuk bangkit merdeka. Seluruh kekuatan damai, terutama rakyat Soviet yang bersahabat, sangat mendukung perjuangan mereka. . .," kata Babakhanov. Uzbekistan memang kemudian dijadikan pusat kegiatan muslim di Asia Tengah. Di wilayah seluas 447.400 km2 ini, yang kini dihuni lebih dari 19,9 juta penduduk (lebih dari 68,5% adalah orang Uzbekistan sendiri), semangat muslim memang menjalar diam-diam di masa Stalin, dan berkobar begitu kontrol mengendur. Pun, di sini muslimnya lebih berani dibandingkan dengan di republik yang lain. Umpamanya, di zaman Brezhnev, mereka sudah berani menuntut agar warga setempat diberi keleluasaan belajar bahasa Rusia. Sementara itu, mereka membatasi orang Rusia yang ingin belajar bahasa Uzbekistan. Ini, tentu saja, sangat menguntungkan orang Uzbekistan. Puncak tuntutan soal bahasa ini muncul di Maret tahun lalu: Birlik, Front Rakyat Uzbekistan, mengorganisasi demonstrasi 100.000 orang di Tashkent, menuntut disahkannya bahasa Uzbekistan sebagai bahasa nasional untuk Republik ini. Lina Qattan, seorang mahasiswi Arab jurusan Rusia, pada 1984 mengunjungi Asia Tengah. Ia menuliskan kesan-kesannya di majalah The Middle East, September 1984. Ia melihat muslim di Uzbekistan memang lebih intelektual, dan sangat bangga pada sejarah mereka, yang tercermin dari peninggalan-peninggalan budaya Islam yang indah dan megah macam di pusat kegiatan Islam di Bukhara, Tashkent, dan Khiva. Di Republik ini, tulis Lina, "ekonomi sangat berkembang, orang-orangnya intelek, dan lembaga politik berjalan baik. Uzbekistan menjadi pusat semangat Islam di Asia Tengah." Di bidang ekonomi, Republik ini pemasok 60% hasil kapas Soviet hasil pertanian yang di Uzbekistan disebut sebagai Emas Putih. Di dunia intelektual, tokoh-tokoh muslim Soviet sebagian besar memang dari sini. Dan di lembaga politik, Front Rakyat Uzbekistan memang aktif. Tapi, di tahun 1984 itu, Lina pun melaporkan, ternyata Kremlin tetap menancapkan kuku-kuku tajamnya. Meski di permukaan kebebasan diberikan, dan pertemuan internional Islam diselenggarakan, di balik itu sejumlah pemimpin muslim meringkuk di dalam penjara. Keluhan terhadap kekangan pemerintah pun ia dengar di mana-mana. Seorang mullah tua tiba-tiba saja menemuinya di jalan karena pakaian Lina yang cepat ketahuan bahwa ia perempuan Arab. Lantas begitu saja mullah itu memuntahkan unek-uneknya. Bahwa salat sama sekali dilarang, propaganda ateisme dilakukan lewat media apa saja bahkan dijalankan dari rumah ke rumah. Tapi ia sudah sempat dua kali naik haji. Benar, kebebasan yang diberikan pada muslim di Asia Tengah sejak masa Brezhnev boleh dibilang kebebasan terkendali. Di tengah aliran muslim yang terbagi-bagi -- ada Suni, Syiah, dan Ismailiah -- di Asia Tengah tampaknya ada juga pembagian yang tak segera tampak di mata orang luar. Yakni, ada kelompok yang bersedia melakukan kompromi dengan penguasa Rusia, ada grup yang bersikap acuh tak acuh, dan ada mereka yang sama sekali tak mau berkompromi. Yang duduk dalam Dewan Rohani di Tashkent, misalnya, bisa dibilang mereka yang bersedia kompromi. Menurut Muriel Atkin, profesor di George Washington University, AS, tak jarang Dewan Rohani mengeluarkan fatwa yang mendukung kebijaksanaan penguasa. Soal penyerbuan Soviet ke Afghanistan yang sudah disebutkan misalnya, dikatakan sebagai membantu kaum muslim yang ditindas pihak ningrat. Dan itu sebabnya banyak tentara Soviet yang berasal dari Asia Tengah pada mulanya dengan ringan kaki menaati perintah menyerbu. Tapi setelah beberapa lama bertempur di Afghanistan, banyak kemudian tentara yang muslim itu membelot, bergabung dengan Mujahidin Afghanistan. Pada akhirnya, baik yang kompromi maupun yang acuh tak acuh melawan juga bila disudutkan. Seperti kata seorang penyair Uzbekistan kepada Nancy Lubin, seorang ahli Soviet di Carnegie Mellon University, AS, yang pernah setahun tinggal di Negeri Emas Putih ini. Yakni, "Seekor anjing yang paling jinak pun, bila dipukuli terus, suatu kali bakal menggigit juga." Mungkin Mikhail Gorbachev -- Sekjen dan kemudian merangkap sebagai Presiden Uni Soviet, yang melakukan banyak kejutan dan terobosan kelas internasional -- melihat tak ada gunanya Islam digencet terus. Ini hanya memunculkan perlawanan nyata maupun di bawah tanah, dan sikap sinis. Lihat umpamanya di Azerbeijan, sejak Revolusi Khomeini menang, banyak pria Azerbeijan lalu memelihara janggut dan beserban -- siapa tahu kerusuhan antara Azerbeijan dan Armenia antara lain dipicu oleh gaya provokatif ini. Maka, Gorbachev pun mengendurkan kekangan itu. Hasilnya, masjid baru didirikan, propaganda ateisme terhadap pemeluk Islam pun dihentikan. Harapan Gorby, tentu, menjadi lebih baiknya kerja sama antara mayoritas di Asia Tengah dan pemerintah. Bila kemudian muncul semangat untuk melepaskan diri dari Uni Republik Soviet, mestinya Mikhail Gorbachev sudah menduganya sejak ia mengumumkan glasnost, dan membebaskan ibadah agama di seluruh Soviet. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus