Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Salat Dengan Dua Imam

Keadaan umat islam di polandia. berjumlah lebih kurang 5000 orang. umat islam di sana mendapat tekanan & kendala selama ratusan tahun. kini mulai diperlakukan adil. cara ibadahnya masih beraneka ragam.

16 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH kurang 95% dari 37 juta penduduk Polandia beragama Katolik. Gereja. Katolik Polandia, yang dibantu oleh Paus Yohanes Paulus II -- asal Polandia -- pegang peranan penting dalam perubahan politik negeri itu. Melalui gerakan Solidaritas yang dimulai Lech Walesa pada 1980, akhirnya pada Agustus 1989 Partai Komunis Polandia rontok Pemerintahan pertama nonkomunis di Eropa Timur pun lahir. Dunia Islam selama ini hampir-hampir tidak pernah mendengar keberadaan umat Islam di negara tersebut. Islam tiba di Polandia pada 1397, dibawa oleh orang Tatar yang berasal dari Semenanjung Krim, Tatar, Kazan, Uzbekistan, dan lain-lain -- seluruhnya kini berada dalam lingkungan Uni Soviet. Orang Tatar terkenal pemberani dan ahli perang. Merekalah yang menyelamatkan Polandia dan Lithuania dari serangan tentara Salib yang terusir dari Palestina. Selesai perang, banyak orang Tatar yang tinggal di Polandia. Mereka diberi gelar bangsawan, diberi tanah, kawin dengan gadis Polandia, dan lain-lain. Sejak itu Islam hidup di Polandia. Pada akhir abad ke-17 jumlah umat Islam mencapai 500.000 orang dengan 60 buah masjid. Periode selanjutnya sangat menyedihkan. Toleransi agama berantakan. Orang-orang Islam diserang. Banyak laki-laki dibunuh, wanita dijadikan budak, dan anak-anak dibaptis masuk Katolik. Sebagian besar orang-orang Islam lantas pindah ke Turki. Sejak permulaan abad ke-18 boleh dikatakan hubungan umat Islam Polandia dengan dunia Islam putus. Mereka terisolasi dan dilupakan. Biasanya ulama dan guru-guru agama dididik di Semenanjung Krim, Lembah Wolga, dan Turkestan. Buku-buku agama pun didatangkan dari daerah tersebut. Tetapi setelah seluruh kawasan itu jatuh ke tangan Rusia, umat Islam mulai tertindas. Uni Soviet yang anti agama itu kemudian menutup masjid, madrasah, dan menangkap para ulama. Hubungan umat Islam Polandia dengan, daerah tersebut boleh dikatakan berhenti. Jumlah umat Islam terus menciut. Orang-orang Tatar kehilangan bahasa mereka lalu mempergunakan bahasa Polandia. Pengetahuan bahasa Arab mulai melemah dan akhirnya menghilang. Namun, orang Tatar yang tetap tinggal di Polandia selalu memberikan loyalitas penuh kepada Polandia. Mereka selalu berada di barisan terdepan dalam membela Polandia dari setiap serangan dari luar. Kepahlawanan dan kegagahberanian mereka sangat dikagumi. Malah dalam tentara Polandia dibentuk pasukan khusus kavaleri Tatar. Sebelum Perang Dunia II, di Polandia masih tegak 17 masjid. Tetapi sesudahnya, karena berbagai keadaan -- termasuk perubahan batas antara Polandia dan Uni Soviet -- jumlah masjid tinggal tiga. Pada akhir Januari lalu, saya berkesempatan berkunjung ke Polandia dan sekaligus melihat keadaan umat Islam di sana. Di Warsawa tidak ada masjid. Salat Jumat dilakukan di Kedutaan Besar Mesir. Tetapi ada kuburan khusus untuk umat Islam. Pada waktu ini dengan bantuan para duta besar Islam yang ada di Warsawa, sedang direncanakan pembangunan sebuah Islamic Center yang lengkap dengan masjid, madrasah, dan lain-lain. Tanah telah disediakan oleh Pemerintah Polandia. Prof. Aleksander Kozakiwics, guru besar kimia di Universitas Warsawa, Ketua Persatuan Umat Islam Warsawa, menjelaskan bahwa umat Islam Polandia adalah orang Polandia yang berasal dari Tatar. Karena itu Islam diindentikkan dengan Tatar. Jumlah umat Islam orang Polandia di Warsawa lebih kurang 300 orang. Prof. Aleksander Kozakiwics menjelaskan bahwa dia belajar salat dan membaca Quran sebelum Perang Dunia II. Sejak Perang Dunia II umat Islam terpencara-pencar. Boleh dikata sejak itu guru agama dan buku-buku agama tidak ada lagi. Oleh karena itu, sampai sekarang dia tidak pandai lagi salat dan membaca Quran. Sejak permulaan Februari 1990 di rumahnya dibuka kursus agama Islam dan membaca Quran. Bersama Duta Besar Indonesia untuk Polandia, Bapak Ambiar Tamala, dan Drs. Sutito, saya berkesempatan mengunjungi beberapa daerah Islam di Polandia. Pertama-tama kami mengunjungi Biatystok, kira-kita 180 km dari Warsawa. Kota yang dihuni oleh sekitar 2.600 umat Islam. Mereka di sana juga sedang merencanakan membangun Islamlc Center. Tepat waktu lohor kami tiba di masjid. Masyarakat Islam setempat: laki-laki, wanita, serta anak-anak -- termasuk Ketua Persatuan Umat Islam Polandia Stefan Mucharski -- sudah menunggu. Masjid itu bekas perpustakaan umum yang dijadikan masjid setelah Perang Dunia II. Kami pun salat lohor berjamaah. Lafaz azan dan kamat terasa aneh. Imam dan muazin sama-sama berdiri sejajar di depan makmum, dengan demikian seolah-olah ada dua orang imam. Al-Fatihah dan ayat Quran pada dua rakaat pertama dibaca keras-keras. Padahal, dalam salat lohor dan asar, Al-Fatihah dan ayat Quran tidak dibaca keras-keras. Wanita juga ikut salat berjamaah di ruangan khusus. Di antaranya ada yang duduk di atas kursi. Ada yang tidak menutup kepala atau aurat. Ada yang tidak pakai mukena -- hanya berpakaian yurk biasa. Selesai salat, saya tanyakan kepada imam masjid, kenapa cara salatnya demikian. Menurut imam masjid, cara itu didapatkan dari nenek moyang dan orangtua mereka. Selanjutnya imam tersebut mengatakan, "Yang tahu membaca Al-Fatihah hanya saya sendiri, makmum tidak tahu, sehingga mereka hanya mengucapkan amin." Setelah di Biatystok, kami mengunjungi sebuah desa Tatar bernama Bohonniki, 50 km dari Biatystok dan 15 km dari perbatasan Uni Soviet. Penduduknya sekitar 1.800 jiwa. Di sana kami temukan kuburan Islam. Juga ada sebuah masjid dari kayu yang telah berumur lebih kurang 300 tahun. Pada waktu asar, dilaksanakan salat berjamaah. Cara salatnya betul. Imam hanya satu orang. Al-Fatihah dan ayat Quran pada dua rakaat pertama tidak dibaca keras-keras. Rupanya, imamnya pernah ke Libya dan melihat cara salat di Libya lalu dipraktekkan di Bohonniki. Kemudian kami meneruskan perjalanan ke Kota Gdanks, yang jaraknya lebih kurang 200 km. Kami menginap di kota pariwisata: Mragowo. Gdanks adalah tempat meletusnya Perang Dunia II. Juga tempat lahirnya gerakan Solidaritas. Setelah asar, kami tiba di masjid. Masjid tersebut dibangun sejak 1985 dengan bantuan seorang pedagang Kuwait yang berdiam di Wina, Austria, dan Rabithah Alam Islami. Luasnya 200 m2 dan dapat menampung 170 orang jamaah laki-laki dan 70 jamaah wanita. Jumlah umat Isbm di Gdanks lebih kurang 300 orang. Kami diterima oleh pemimpin Islam Kota Gdanks. Waktu magrib kami salat berjamaah. Yang menjadi imam ialah imam masjid tersebut. Ternyata, salatnya empat rakaat, seharusnya hanya tiga rakaat. Selesai salat kami berbincang-bincang dengan imam dan para pemimpin Islam setempat. Waktu saya tanyakan kenapa salat magrib empat rakaat, imam tersebut malah balik bertanya, "Memangnya berapa rakaat salat magrib?" Saya jelaskan bahwa salat magrib hanya tiga rakaat. Para pemimpin Islam tersebut menjelaskan bahwa mereka melaksanakan salat sesuai dengan yang diwariskan oleh nenek moyang dan orangtua mereka. Yaitu setiap salat empat rakaat. Salat subuh, yang seharusnya hanya dua rakaat, juga mereka lakukan empat rakaat. Mereka juga mengatakan bahwa mereka bukan bermaksud hendak mengubah agama. Hal itu disebabkan pengetahuan mereka mengenai Islam hampir tidak ada. Agama hanya diwariskan oleh nenek moyang. Telah puluhan tahun mereka tidak punya ulama, tidak punya guru agama, tidak punya buku agama, dan lain-lain. Oleh karena itulah, kata mereka selanjutnya, Islam berkembang di Polandia sesuai dengan keadaan setempat. Yang satu berbeda dengan tempat lainnya. Menurut mereka, umat Islam paling menderita di zaman Stalin. Salat Jumat tidak dibolehkan dan dakwah dilarang. Pada waktu itu banyak orang Islam yang ditangkap karena terus melakukan salat Jumat dan dakwah Islam. Hubungan dengan umat Katolik umumnya baik. Setelah ada pembaruan di Polandia, umat Islam mendapat perlakuan yang adil dan baik. Jumlah umat Islam di Polandia -- warga negara Polandia lebih kurang 5.000 orang. Mereka memiliki empat masjid, tanpa satu pun madrasah. Pada 1989 diterbitkan terjemahan Quran dalam bahasa Polandia, yang dilakukan oleh seorang orientalis Prof. Josef Bielwaski. Cetakan pertamanya sebanyak 100.000 eksemplar dalam waktu relatif singkat terjual habis. Kita boleh merasa kagum dan bersyukur kepada Allah swt Umat Islam Polandia, yang telah mengalami berbagai penderitaan dan kendala selama ratusan tahun, sampai sekarang tetap survive walaupun pelaksanaan ajaran Islam di sana beraneka ragam. Kini Polandia telah berada pada era demokrasi dan terbuka untuk dunia luar. Umat Islam yang telah terisolasi selama ratusan tahun itu sangat mengharapkan bantuan dunia Islam. Untuk membangun Islamic Center dan melakukan dakwah Islam. Juga untuk memasok buku-buku agama beasiswa, dan lain-lain. Lukman Harun

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus