Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Asvi Warman Adam*
PERTENGAHAN September 2015, badan intelijen Amerika Serikat (CIA) membuka akses publik sebanyak 2.500 dokumen yang diberikan kepada Presiden Amerika sejak 1961 sampai 1969. Informasi singkat itu menjadi "sarapan pagi" bagi penguasa Gedung Putih setiap hari kecuali Ahad.
Bila dilihat, misalnya, laporan sejak 1 Oktober sampai 31 Desember 1965 terlihat betul perkembangan situasi dalam rangka peralihan kekuasaan yang memperlihatkan menaiknya pamor Soeharto dan merosotnya kewibawaan Presiden Sukarno. Tanggal 1 Oktober, misalnya, dilaporkan bahwa "situasi membingungkan, terjadi kudeta yang diikuti dengan kontrakudeta, keduanya dengan dalih menyelamatkan Presiden". Ada informasi dari Konsulat Amerika di Medan bahwa para perwira menyiapkan operasi pembersihan komunis.
Ini sejalan dengan temuan dalam riset Jess Melvin dan Akihisa Matsuno bahwa operasi militer pemberantasan komunis tersebut dimulai dari ujung Sumatera dan diakhiri di Bali. Sebelum ada perintah dari pusat, pimpinan militer di Sumatera Utara dan Aceh sudah mengambil inisiatif dengan membelokkan operasi ganyang Malaysia menjadi penangkapan orang-orang kiri.
Pada 14 Oktober, disampaikan bahwa sudah terlihat ada "two governments" di Indonesia, yang masing-masing dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Jenderal Soeharto. Namun pada 4 November dilaporkan bahwa Soeharto sudah menjadi "Indonesian strong man". Sementara itu, pada 22 Oktober, ajudan Nasution meminta Atase Militer Amerika menyelamatkan atasannya ke luar Jakarta bila terjadi sesuatu.
Di sisi lain, Sukarno semakin kehilangan kekuasaan. Tanggal 17 Desember beredar rumor bahwa Sukarno mau minta suaka ke luar negeri dan Soeharto dalam selentingan itu menawarkan "Tokyo atau Mekah". Pada 21 Desember dikabarkan, berdasarkan analisis seorang diplomat senior Polandia, Sukarno sebagai sebuah kekuatan politik sudah "finished".
Pada 16 Oktober 1965, diinformasikan akan ada pengumuman pelarangan komunisme dalam waktu dekat. Ini baru menjadi kenyataan lima bulan kemudian, yakni pada 12 Maret 1966. Tanggal 30 Oktober, sudah terdengar isu nasionalisasi perusahaan minyak asing, seperti Caltex. Meski tidak ada dalam laporan CIA kepada Presiden, dalam surat Kedutaan Besar Amerika di Jakarta kepada Kementerian Luar Negeri diungkap bahwa pada 15 Desember Soeharto naik helikopter ke Istana Cipanas. Dalam pertemuan yang dipimpin Chaerul Saleh dan membahas pengambilalihan perusahaan minyak asing itu, Soeharto mengatakan Angkatan Darat tidak mau gegabah melakukan nasionalisasi. Soeharto kemudian langsung naik helikopter kembali ke Jakarta. Siapa yang menyuruh Soeharto?
Arsip Amerika yang baru dibuka itu melengkapi dokumen sebelumnya yang telah dideklasifikasi. Misalnya, Kedutaan Besar Amerika menyumbang Rp 50 juta untuk Komite Aksi Pengganyangan Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), juga menyerahkan nama pengurus Partai Komunis Indonesia kepada Angkatan Darat. Tentu intel Indonesia juga memiliki nama tersebut, tapi upaya ini memperlihatkan jalinan kerja sama militer dengan pihak Amerika.
Dalam arsip yang telah dibuka itu diungkap bahwa bantuan Amerika untuk pembelian alat telekomunikasi sebesar US$ 2 juta. Sebelumnya, Marshall Green menghadiahi tentara perangkat walkie-talkie senilai US$ 40 ribu. Tentu perangkat yang bernilai US$ 2 juta itu bukan lagi sejenis walkie-talkie. Saya curiga bahwa alat-alat yang disebutkan rinci sepanjang dua halaman dan dihitamkan itu adalah senjata.
Keberhasilan Amerika dalam menangani kasus 1965 di Indonesia, yang dianggap sebagai salah satu prestasi luar negeri Amerika yang terbesar setelah perang dunia, adalah berkat jasa Marshall Green. Apa yang dilakukan pemerintah Amerika di Indonesia pertengahan 1965-1968 pada dasarnya mengikuti saran Marshall Green, seperti diakui William P. Bundy, Asisten Menteri Luar Negeri Urusan Asia Timur dan Pasifik.
Green pernah bertugas di beberapa negara sebelum di Jakarta, di tempat-tempat yang mengalami konflik. Ia sangat paham negara Jepang dan Tiongkok. Ketika di Korea (Selatan) meletus kudeta pada awal 1960-an, Green langsung mengambil sikap mendukung pemerintah yang sah di negara tersebut. Reaksi spontan ini kemudian didukung Washington.
Strategi Green di Indonesia boleh dikatakan mengikuti analisis CIA yang kelak di kemudian hari dirumuskan oleh David T. Johnson dalam enam pilihan skenario Amerika di Indonesia. Pertama, membiarkan segala sesuatu berjalan dengan sendirinya. Dua,membujuk Sukarno mengubah kebijakannya. Ketiga, menyingkirkan Sukarno. Keempat, mendorong Angkatan Darat merebut kekuasaan. Kelima, memprovokasi komunis untuk mengambil tindakan keliru. Keenam, merekayasa sedemikian rupa penghancuran sekaligus PKI dan Sukarno. Tampaknya skenario terakhir ini yang dipilih dan berhasil. Marshall Green tak hanya sukses mengkombinasikan kedua hal tersebut, tapi juga merenggangkan dan akhirnya membuat putus hubungan Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok.
"Kita berkesempatan besar mengaitkan Tiongkok dengan malapetaka di Indonesia," tulis Green kepada Kementerian Luar Negeri. Mereka membantu menyebarkan berita keterlibatan Tiongkok dan menurunkan berita tentang tempat persembunyian senjata buatan Cina yang "ditemukan" aparat keamanan Indonesia. Green mendesak agar "melanjutkan propaganda rahasia" semacam ini.
Bagaimana strategi di atas direalisasi? Mayumi Yamamoto dalam simposium internasional "Japanese Studies 50 Years After 1965" di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, medio September 2015, mengatakan terdapat perbedaan kebijakan Amerika dan Uni Soviet terhadap Indonesia. Uni Soviet memberikan bantuan pangan dan alat-alat pertanian, sementara Amerika membantu secara akademis melalui beasiswa. Awal 1960-an, pinjaman yang diberikan Uni Soviet kepada Indonesia berjumlah US$ 800 juta dan bantuan 300 tenaga teknik. Sedangkan Amerika menugasi 200 guru bahasa Inggris mengajar di Indonesia.
Jadi Amerika memanfaatkan knowledge untuk mendapatkan power. Pada 1960, terbit buku Clifford Geertz, Religion of Java. Buku itu menjadi populer di kalangan ilmuwan sosial Indonesia, terutama menyangkut penggolongan santri, abangan, dan priyayi. Geertz pun menjadi pakar yang dihormati di negara ini. Namun sesungguhnya penelitian awal antropolog ini merupakan proyek yang dibiayai oleh CIA. Yang bertanggung jawab pada proyek riset itu adalah Max Millikan, yang juga seorang asisten direktur CIA.
Kategorisasi santri, abangan, dan priyayi pernah dikritik oleh Harsya Bachtiar, tapi tetap terpakai dalam karya akademis di Tanah Air. Bukankah pembedaan itu bisa dihubungkan dengan kekuatan politik menjelang 1965, yakni santri (Islam), abangan (komunis), dan priyayi (Sukarno)? Apakah ini hanya sebuah kebetulan atau memang sudah didesain dari awal?
Akademikus lain yang jelas berhubungan dengan CIA adalah Guy Jean Pauker. Ia bekerja pada Rand Coorporation, yang memiliki program yang dibiayai dinas intelijen Amerika. Sebagai seorang Amerika yang merupakan imigran asal Rumania, Eropa Timur, ia sangat akrab dengan komunis. Bahkan tulisan-tulisannya sebelum tahun 1965 memperlihatkan pengetahuannya yang mendalam mengenai PKI. Namun, setelah 1965, tulisan-tulisannya justru berisi petunjuk untuk menghancurkan partai dan ideologi ini di Indonesia. Ditengarai penciptaan istilah Gestapu itu berasal dari Guy Jean Pauker. Demikian pula kampanye hitam penyiletan kemaluan jenderal yang mungkin terinspirasi novel Emile Zola, Germinal (+Tambang).
Buku yang pertama terbit tentang G-30-S adalah 40 Hari Kegagalan G30S, yang diprakarsai oleh Jenderal Nasution dan sudah merujuk PKI sebagai dalang. Ini ditantang oleh Ben Anderson dan Ruth McVey lewat Cornell Paper, yang lebih melihatnya sebagai persoalan internal Angkatan Darat. Untuk menolak Cornell Paper, Guy Jean Pauker membantu Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh menulis The Coup Attempt of the September Movement in Indonesia (1968).
Amerika Serikat mendapat manfaat besar dari hilangnya kekuatan komunis di Indonesia, tapi Green mengutip sebuah artikel seorang peneliti Amerika bahwa Amerika tidak mendongkel Sukarno dan tidak bertanggung jawab atas ratusan ribu jiwa yang menjadi korban dalam penumpasan PKI. "Kami tidak menciptakan ombak, tapi hanya menunggang ombak itu sampai ke pantai," ujar Green. Betapa mudahnya cuci tangan.
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo