Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stanley Adi Prasetyo
PERISTIWA 1965 terjadi 50 tahun lalu. Berbagai versi dan kontroversinya masih muncul bila orang memperbincangkan tragedi ini. Dari terjadinya pemberontakan Partai Komunis Indonesia, pembersihan di lingkup internal Angkatan Darat, creeping coup d'état, intervensi CIA dan MI6 dengan bekerja sama dengan Angkatan Darat, hingga berbagai teori konspirasi lain. Termasuk versi yang paling tak masuk akal, yaitu Sukarno melakukan kudeta terhadap pemerintahnya sendiri.
Sebagian dari teori tersebut lahir sebagai kesimpulan dari analisis yang berbasis pada data dan dokumen. Sebagian lagi menyandarkan pada keterangan dan kesaksian orang-orang yang saat Peristiwa 1965 terjadi memiliki posisi kunci.
Sebetulnya, sejak 1990, 25 tahun setelah Peristiwa 1965 terjadi, dokumen tentang peristiwa tersebut mulai dibuka secara bertahap. Perpustakaan Lyndon Johnson di Amerika Serikat adalah salah satunya. Perpustakaan yang menggunakan nama mantan Presiden Amerika ini membeberkan sejumlah surat-menyurat antara orang-orang di seputar Kedutaan Besar Amerika di Jakarta dan pemerintah pusat di Washington. Beberapa bagian dari dokumen-dokumen yang bisa diakses itu memang masih menghitamkan bagian nama-nama orang Indonesia yang tampaknya menjadi agen informasi ataupun sahabat Amerika. Nama-nama ini terdiri atas sejumlah pejabat dan dosen perguruan tinggi.
Dalam perjalanan waktu, nama-nama yang dihitamkan kemudian mulai dibuka satu per satu. Memasuki 30 September 2015 ini, semestinya semua dokumen terkait dengan Peristiwa 1965 bisa diakses oleh siapa saja. Dalam aturan yang berlaku, masa retensi sebuah dokumen rahasia, termasuk laporan intelijen, yang ada di berbagai negara adalah 50 tahun.
Dokumen terkait dengan Peristiwa 1965 terserak di perpustakaan di sejumlah universitas di luar negeri. Antara lain, di Amerika Serikat, Belanda, Jerman, Australia, Jepang, Rusia, dan Cina. Sebagian sudah pernah menjadi bahan studi dan diterbitkan menjadi buku. Yang terbaru adalah tulisan Aiko Kurosawa tentang persepsi dan sikap Jepang atas Peristiwa 1965. Karena itu, untuk melakukan studi tentang Peristiwa 1965 lebih mudah mencari referensi di luar negeri ketimbang mencarinya di Indonesia.
Yang paling menghebohkan adalah kejadian pada 2001 ketika, atas nama kebebasan informasi, pemerintah Amerika Serikat mempublikasikan serial dokumen berjudul Foreign Relations of the United States 1964-1968, yang membeberkan sikap dan keterlibatan pemerintah Amerika terhadap pendongkelan Sukarno. Publikasi itu hanya seumur jagung karena pemerintah Amerika kemudian menariknya dengan alasan agar tak mengganggu hubungan antara pemerintah Amerika dan pemerintah Indonesia, yang saat itu dijabat Presiden Megawati Soekarnoputri, yang tak lain adalah anak kandung Sukarno.
Salah satu contoh, untuk menulis tentang kebenaran pesta seks dan aksi penyiletan kelamin para Pahlawan Revolusi, orang di Indonesia akan mencari bahan sekunder berupa kliping berita-berita koran. Tapi untuk mereka yang melakukan studi di Amerika bisa mencari sumber yang lebih akurat di perpustakaan Universitas Cornell, tempat tersimpan hasil visum et repertum ketujuh jenazah yang dilakukan oleh tim kedokteran di bawah pimpinan Dr Rubiono Kertapasti.
Akses penelusuran bahan dan dokumen sejarah terkait dengan Peristiwa 1965 hingga saat ini masih sulit. Lembaga-lembaga milik negara masih mensyaratkan adanya izin penelitian yang mendapatkan persetujuan dari sejumlah lembaga, antara lain dari Badan Intelijen Negara (BIN) dan Badan Intelijen Strategis. Untuk mengurus perizinan juga tak mudah karena membutuhkan jalan berliku.
Hasil visum et repertum ini telah ditulis oleh Ben Anderson dalam jurnal Indonesia nomor 43, April 1987, dengan judul "How Did the General Die". Fotokopi visum et repertum baru masuk menjadi koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada 2005. Saat seorang wartawan stasiun televisi mewawancarainya, Direktur ANRI terkaget-kaget menyadari bahwa lembaganya tak memiliki dokumen penting tersebut. Wartawan televisi itu sendiri mendapatkan bahan dari sebuah lembaga swadaya masyarakat yang juga bersumber dari perpustakaan Universitas Cornell.
Versi sejarah resmi Indonesia menyatakan, sebelum para Pahlawan Revolusi dibunuh, anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat berpesta-pora seks dan minuman keras, kemudian menyiksa dan menyayati kelamin para pahlawan dengan silet. Hasil visum membantah hal itu.
Disertasi Saskia E. Wieringa mengungkap fakta bahwa tiga media utama yang berjaya saat itu sebetulnya juga banyak memberitakan fiksi ketimbang fakta. Media-media itu berada dalam pengampuan kekuatan tentara yang berafiliasi kepada Soeharto. Praktis, sejak memasuki Oktober 1965, Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) telah mengontrol semua pemberitaan media.
Bagaimana dengan status dokumen terkait dengan Peristiwa 1965 di Indonesia? Ada dugaan bahan berserak di mana-mana. Perpustakaan Nasional hanya menyimpan buku dan koran-koran terkait dengan Peristiwa 1965. Arsip Nasional Republik Indonesia mungkin hanya menyimpan sejumlah dokumen yang jauh dari lengkap. Pusat Sejarah Tentara Nasional Indonesia banyak menyimpan laporan dari tingkat komando distrik militer hingga komando daerah militer ataupun peradilan-peradilan militer terkait dengan peristiwa tersebut. Bagaimana dengan dokumen lainnya? Banyak kalangan yakin bahan masih tersimpan di institusi-institusi keamanan dan intelijen warisan Orde Baru.
Pasal 25 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara mengkategorikan sembilan rahasia negara yang memiliki masa retensi. Pengaturan tentang masa retensi adalah 25 tahun dan bisa diperpanjang setelah mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik hanya mengatur soal akses terhadap informasi yang ada di setiap badan publik. Pertanyaan yang muncul: apakah BIN adalah badan publik?
Dalam menyelidiki dugaan pelanggaran hak asasi yang berat pada Peristiwa 1965, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hanya bertujuan mencari dan menemukan ada-tidaknya peristiwa pelanggaran HAM yang berat. Dalam proses penyelidikan, tim Komnas HAM sadar akan menghadapi kebuntuan dalam proses pencarian dokumen-dokumen terkait dengan peristiwa yang terjadi. Apalagi pihak Kejaksaan Agung tidak memberi dukungan sepenuh hati. Tim Komnas HAM saat itu menerapkan metode penyelidikan berupa pengumpulan data secara obyektif, yaitu melakukan peninjauan lapangan, meminta keterangan saksi, dan mengkaji berbagai dokumentasi yang relevan. Banyak dokumen diberikan oleh para saksi dan penyintas kepada Komnas HAM.
Data dan dokumen tersebut digunakan untuk merekonstruksi kejadian-kejadian yang berkenaan dengan Peristiwa 1965 secara sistematis dan obyektif, melalui pengumpulan, evaluasi, verifikasi, serta sintesa data dan informasi yang diperoleh, sehingga dapat ditetapkan fakta untuk membuat suatu kesimpulan yang walaupun masih bersifat dugaan. Penyelidikan ini terutama dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan tentang kapan kejadian itu berlangsung, di mana tempatnya, serta siapa pelaku dan korbannya.
Dokumen berupa surat, kesaksian, dan hal lain juga dihimpun tim penyelidikan Komnas HAM dari berbagai sumber menggunakan bermacam-macam cara. Hal ini tak lain karena belum padunya pendapat terkait dengan upaya penuntasan pelanggaran HAM berat Peristiwa 1965 di kalangan pemerintah sendiri, DPR, ataupun masyarakat.
Kini, memasuki usia 50 tahun, perlu ada keputusan politik diikuti keputusan hukum untuk membuka semua dokumen dan rahasia terkait dengan Peristiwa 1965, yang sebetulnya mulai terbuka di dunia internasional sejak 25 tahun lalu. Hal ini bisa menunjukkan niat sungguh-sungguh pemerintah untuk mengungkap dan menyelesaikan Peristiwa 1965 sebagai sebuah pelanggaran HAM yang berat.
Penulis adalah Mantan Penyelidik tim Penyelidikan Dugaan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo