Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses naiknya Abdurrahman Wahid telah membawa optimisme baru baik secara domestik maupun internasional. Tak hanya dia terpilih oleh mayoritas anggota MPR hasil pemilu yang paling berkualitas dalam 40 tahun terakhir, tapi juga bahwa fenomena itu mewakili sebuah rekonsiliasi di lingkungan kepemimpinan nasional. Amien dan Wahid bukanlah tokoh yang senantiasa seiring. Dalam banyak hal, mereka bahkan berseberangan paham.
Pada saat yang sama, Megawati Sukarnoputri dan Akbar Tandjung, yang mewakili dua kutub politik lain, juga memperoleh tempat terhormat. Tak ada yang bisa sendirian menghadapi krisis besar bangsa ini dan mengantarkannya dalam perjuangan transisi demokrasi. Rekonsiliasi itu membawa harapan baru.
Tapi, suasana sudah berubah antiklimaks hari-hari ini. Langkah pemecatan Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla telah merobek jalinan itu, yang akhirnya berujung pada penggunaan hak interpelasi. Dan kini, berhadapan dengan raksasa PDI Perjuangan serta Partai Golkar, Presiden Abdurrahman tersudut dalam ring sempit dukungan Partai Kebangkitan Bangsa, yang hanya memperoleh suara 11 persen.
Poros Tengah tak lagi bisa membantunya karena meski tak bisa berbuat apa-apa. Aliansi yang dimotori PAN dan PPP ini memendam kekecewaan akibat pemecatan menteri mereka pula, Hamzah Haz.
Apa yang dipikirkan Amien Rais melihat situasi itu? Benarkah dia, seperti ditudingkan kalangan PKB, adalah motor dalam upaya menggulingkan sang Presiden? Berikut ini petikan wawancara Endah W.S. dari TEMPO dengan Amien Rais, pekan silam.
Menghadapi Sidang Tahunan MPR ini, suhu politik memanas. Bagaimana Anda melihatnya?
Sekarang ini kita melihat makin seragamnya persepsi berbagai macam kekuatan politik di Indonesia terhadap Gus Dur. Kalau yang menentang Presiden itu cuma satu atau dua kelompok, barangkali masalahnya tidak terlalu serius. Tapi, kalau usulan interpelasi bisa ditandatangani oleh 80 persen wakil rakyat, menurut saya ada soal yang serius dan mendalam di situ. Demikian juga, kalau pada awal kepemimpinannya berbagai media massa sangat bersimpati dan berempati kepadanya, dan sekarang media yang sama telah kehilangan kepercayaan dan melakukan kritik frontal, menurut saya tentu ada sesuatu yang lagi-lagi serius.
Saya melihat Gus Dur telah kehilangan momentum. Ketika awal ia menduduki pemerintahan, jelas sekali adanya dukungan kuat masyarakat domestik dan internasional terhadapnya. Kalau saya boleh mengatakan dalam kiasan, Gus Dur itu mirip seorang wanita yang merusak kain tenunannya sendiri. Dia merusaknya dengan pertama-tama bersikap paranoid yang tak henti-hentinya, sehingga ucapan-ucapannya banyak yang ngaco. Kedua, ia mengulangi kesalahan setiap penguasa, yaitu membentuk kroni di sekitarnya.
Lalu, sebagai Ketua MPR, bagaimana sikap Anda sebenarnya menghadapi situasi ini?
Sebagai Ketua MPR, saya sering kali resah di antara dua pilihan yang sama-sama sulit. Kalau suatu saat ada sidang istimewa yang berujung pada penggantian Gus Dur, pertanyaannya adalah apakah hal itu cukup bijak dan menjamin masa depan yang lebih bagus. Tetapi, di pihak lain, dengan gaya kepemimpinan seperti ini, apakah soal juga tidak bertambah runyam di masa depan.
Bagaimana sikap Anda sendiri tentang hak interpelasi yang diajukan DPR?
Itu merupakan konsekuensi dari tuntutan transparansi dalam sebuah proses demokrasi. Kalau jadi Gus Dur, saya akan datang ke DPR dan semua pertanyaan akan saya jawab dengan tenang dan benar. Masalah nanti anggota DPR tidak puas dan kecewa, ya terserah. Sikap Ginandjar (Kartasasmita) menurut saya sudah betul. Dia memenuhi undangan DPR, dan itulah memang mekanisme demokrasi. Jadi, jangan menghindar. Tapi, dalam kasus ini Gus Dur tampaknya sengaja ingin menghindar dengan alasan meresmikan masjid yang belum jadi.
Para pendukung Presiden Abdurrahman melihat interpelasi itu tidak tepat dan cuma dimaksudkan untuk menggulingkannya.
Itu reaksi berlebihan, sama seperti reaksi Gus Dur sendiri dalam menghadapi kritik. Sampai-sampai, di luar negeri dia bicara tentang adanya konspirasi dan skenario untuk mendongkel dirinya.
Bukankah interpelasi itu memang bisa menjadi prolog bagi kemungkinan sidang istimewa untuk tujuan menurunkannya?
Sepanjang yang saya dengar, sebagian besar anggota DPR pada dasarnya tidak ingin melengserkan Gus Dur, tapi hanya memberikan teguran keras. Paling jauh, mereka akan mengeluarkan memorandum yang tajam agar pemimpin negeri berpenduduk 210 juta orang ini tidak main-main dalam memimpin bangsa. Jadi, lebih merupakan teguran telak daripada usaha menggusur Gus Dur. Bahkan, dalam sidang umum (tahunan) Agustus nanti pun, saya menduga MPR akan memberikan teguran keras untuk kebaikan Gus Dur sendiri.
Ada yang meramalkan, rapor Presiden Abdurrahman bakal ditolak dalam sidang umum tahunan. Jika itu terjadi, haruskah Presiden turun?
Menurut saya, guru yang bijak tidak akan serta-merta mengeluarkan murid yang rapornya merah. Si guru akan memberi kesempatan. Tapi kalau setelah itu tidak naik kelas lagi, ya mungkin harus mencari murid yang lebih cerdas. Mungkin setelah itu kita baru akan bicara.
Johan Budi S.P., Darmawan Sepriyossa, Endah W.S.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo