Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Ahmad Syfi'i Ma'arif "Hubungan Muhammadiyah dan NU seperti Rel Kereta Api"

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENYAIR besar Persia Jalaluddin Rumi, dalam Matsnawi, salah satu karya monumentalnya, menuliskan, "Jika tiada cinta, dunia akan membeku." Dan Ahmad Syafi'i Ma'arif meminjam petikan sang Sufi untuk mengawali bab pertama Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia: "…. Cintalah yang semestinya menjadi pilar utama bagi asas hubungan antarmanusia, antarbangsa, antarkebudayaan, antarsistem hidup yang berbeda…." Buku ini dia kerjakan di sela-sela masa mengajarnya di Institute of Islamic Studies, McGill University, di Montreal, Kanada, pada 1993. Buku itu—satu dari sejumlah karya ilmiah yang dia hasilkan—adalah cermin betapa Ahmad Syafi'i Ma'arif tak pernah melepaskan aspek religi dalam setiap pergulatannya dengan ilmu.

Tapi ilmu dan kampus tak bisa lagi semata-mata menjadi pusat perhatian guru besar filsafat sejarah Universitas Negeri (dulu IKIP) Yogyakarta ini. Sejak dua pekan lalu, ia juga harus membagi hidupnya dengan 28 juta umat, setelah Muktamar Ke-44 Muhammadiyah (8-11 Juli 2000) memilihnya secara aklamasi untuk memimpin organisasi raksasa nomor dua di Indonesia. "Saya dapat terpilih karena saya memahami roh Muhammadiyah," ujarnya dalam aksen Minang yang kental.

Kehadirannya di kursi pimpinan Muhammadiyah ibarat melanjutkan tradisi kepemimpinan intelektual yang dirintis sahabat dan rekan sekampusnya di Universitas Chicago: Amien Rais. Naiknya Syafi'i juga membawa warna baru dalam organisasi yang didirikan K.H. Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta, pada 1912 itu. Sebagai urang awak, ia menerobos "dominasi kauman" dalam tradisi kepemimpinan Muhammadiyah.

Sejak belia, pria yang lahir di Sampurkudus, Sawahlunto, Sumatra Barat, pada 31 Mei 1935 ini telah mengenal Muhammadiyah—ia menempuh pendidikan menengahnya di Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Di kota yang sama, ayah tiga anak ini—dua di antaranya telah meninggal—menamatkan studi sarjana di Jurusan Pendidikan Sejarah Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (kini Universitas Negeri) Yogyakarta pada 1968.

Studi sejarah kemudian ia teruskan di Ohio State University hingga ia menamatkan jenjang master (1980). Gelar doktornya di bidang pemikiran Islam diraihnya dari Universitas Chicago (1983). Selepas studi, ia kembali ke Indonesia untuk mengajar sembari terus aktif di Muhammadiyah.

Syafi'i bukanlah wajah baru dalam kepengurusan pusat organisasi ini. Pada muktamar ke-43 di Aceh pada 1995, ia terpilih mendampingi Amien Rais sebagai Wakil Ketua PP Muhammadiyah. Dua sekawan ini datang dari latar belakang dunia akademi. Toh, di tengah masyarakat—setidaknya di Yogyakarta, tempatnya merantau bertahun-tahun—orang lebih mengenalnya sebagai agamawan ketimbang cendekiawan. Tapi dua hal ini, menurut Syafi'i, harus dijalankan dengan sama seriusnya. Sebab, cendekiawan muslim "haruslah menjadi kelompok intelektual beriman yang mampu menyatukan kekuatan dzikr dan fikr (refleksi dan penalaran) serta punya kebijakan," begitu ia menulis sekali waktu.

Seorang cendekiawan, menurut guru besar ini, harus bisa membaca setiap karya pengetahuan dengan teliti dan hati terbuka. Sedangkan hati yang tertutup dan beku adalah seperti yang dilukiskan Alquran: "…lahum qulubun laa yafqahuna biha…." ("…hati mereka sudah buta dan sudah tidak berfungsi lagi sebagaimana mestinya…"). Sebagai Ketua PP Muhammadiyah yang baru, ia memang tidak cuma bisa mengandalkan pikiran yang cerdas, tapi juga hati yang terbuka.

Wawancara dengan Syafi'i Ma'arif berlangsung dua kali selepas muktamar. Ia sibuk dan lelah meladeni para tamu dan sejumlah wawancara dengan media massa selepas muktamar. Namun, Ketua Muhammadiyah ini berhasil meluangkan waktu untuk sebuah percakapan khusus dengan wartawan TEMPO Edy Budiyarso. Petikannya:

Apa beda muktamar ke-44 ini dengan muktamar sebelumnya di Aceh pada 1955

Dibandingkan dengan muktamar Aceh, muktamar sekarang nuansa politisnya tidak terlalu besar. Jadi, Walau ada beberapa kandidat dengan timsuksesnya masing-masing, halitu tidak menjadi masalah. Saya dapat terpilih sebagaiketua karena memahami roh Muhammadiyah

Apa yang Anda maksud dengan nilai politis?

Pada muktamar Aceh, ada usaha dari Pak Harto untuk menjegal Amien Rais, calon kuat Ketua PP Muhammadiyah ketika itu. Ia dinilai terlalu berani melawan Soeharto secara terbuka. Perlawanan Amien sudah dilakukan sejak Sidang Tanwir Muhammadiyah 1993 di Surabaya. Saat itu, ia mengusulkan agar terjadi suksesi kepemimpinan Pak Harto. Masalah ini kemudian menggelinding menjadi wacana publik sampai selama hampir enam bulan.

Bukankah ide suksesi ini sempat mendapat kritik keras dari tokoh-tokoh Muhammadiyah?

Ide Amien memang tidak sempat didiskusikan dengan pimpinan Muhammadiyah. Jadi, meluncur begitu saja. Maka, muncul kritikan yang menyebut Amien Rais tidak sopan, terlalu berani. Tapi itu ide yang mendahului zaman dan kemudian menjadi kenyataan. Ia memang tokoh reformasi sejati.

Seperti apa bentuk jegalan Soeharto terhadap Amien?

Operasi seperti itu kan tidak terbuka. Tapi kami, peserta muktamar, bisa merasakan usaha itu. Namun, dukungan terhadap Amien Rais terlalu kuat untuk dibendung. Peristiwa itu memang seperti drama

Drama yang bagaimana?

Ketika pengurus PP Muhammadiyah (hasil muktamar Aceh) mau menghadap Pak Harto di Bina Graha, Amien sempat diam begitu lama. Itu terjadi saat kami masih menunggu untuk masuk ke ruang presiden. Saya bertanya kepada Amien, "Kok, diam saja?" Saya bilang, "Rileks saja." Ternyata Amien sedang berkonsentrasi dan berdoa.

Lantas, seperti apa tatap muka itu berlangsung?

Amien Rais tetap berani menatap muka Soeharto. Menurut cerita Amien, dia melihat seperti ada tabir gelap menyelimuti Presiden Soeharto. Mungkin ia memakai jin. Kemudian, terjadi dialog singkat karena Amien tidak terlalu banyak bicara.

Ada pendapat bahwa terpilihnya Anda menjadi ketua adalah upaya meletakkan independensi Muhammadiyah dari tarikan politik. Apa betul?

Benar, ada banyak pendapat seperti itu. Ternyata, dalam hal ini, saya sependapat dengan Amien Rais, yang tokoh politik: Muhammadiyah jangan dikorbankan untuk kepentingan politik jangka pendek. Partai politik boleh datang dan pergi. Tapi Muhammadiyah harus tetap bertahan.

Lalu, apa upaya Muhammadiyah untuk keluar dari tudingan sebagai onderbouw Partai Amanat Nasional (PAN)?

Muhammadiyah bukan onderbouw PAN, kendati 70 persen aktivis PAN anggota Muhammadiyah.

Menurut Anda, burukkah citra sebagaionderbouw sebuah parpol?

Kami memiliki trauma menjadi onderbouw partai ketika Muhammadiyah masih bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Begitu Masyumi dibubarkan oleh Bung Karno pada 1961, warga Muhammadiyah banyak di-kuyo-kuyo karena dianggap bagian dari Masyumi.

Dari mana saja desakan yang menghendaki Muhammadiyah berpolitik?

Tekanan itu datang dari pengurus wilayah dari daerah-daerah. Elite Muhammadiyah di Jakarta rata-rata tidak berani mengemukakan itu. Kalau ada yang berani, saya akan beradu argumentasi.

Bagaimana Anda melihat hubungan Gus Dur-Amien Rais?

Kalau disebut konflik, itu tidak ada karena Amienlah dengan Poros Tengah yang menjadikan Gus Dur sebagai presiden. Kritikan Amien (kepada Gus Dur) lebih banyak mengarah agar presiden memperbaiki kinerja pemerintahan.

Sejauh ini, apakah ada kekhawatiran bahwa ketegangan antara dua pemimpin umat itu bisa merembes ke lapis bawah?

Memang ada kekhawatiran seperti itu. Hal ini, seperti yang saya sampaikan bersama dengan Ahmad Bagja dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), agar masyarakat di bawah jangan terpengaruh oleh pertentangan di atas. Jangan dengarkan pernyataan elite politik jika ternyata membawa pertentangan umat. Dalam waktu dekat, saya juga akan mengikuti istiqosah di Kantor PBNU di Jakarta Pusat. Ini terjadi karena hubungan saya dengan pimpinan NU sangat baik. Dan itu lahir dari batin.

Benarkah ada pihak yang berusaha meretakkan hubungan kedua organisasi ini?

Mungkin saja ada. Dan itu bisa terjadi bila kedua sayap Islam terbesar di Indonesia ini rapuh dan kurang informasi. Tapi hubungan NU dan Muhammadiyah itu seperti rel kereta api. Walau tidak bertemu, kalau kita lihat, semakin jauh semakin mendekat.

Seperti apa bentuk hubungan yang "seperti rel kereta api" ini?

NU sudah mengakui ijtihad—yang sebelumnya tidak diakui di dalam NU. Saya kira ini lompatan kultural yang luar biasa dari kalangan NU. Kalau tidak salah, itu dilakukan dalam Muktamar Syuriah di Cilacap pada 1980-an.

Lantas, apa yang bisa menumbuhkan perpecahan hubungan NU-Muhammadiyah?

Politik akan bisa memecah belah karena kita belum dewasa. Tidak hanya NU dengan Muhammadiyah, tapi juga di dalam NU dan Muhammadiyah sendiri—jika warna politiknya dominan.

Menurut Anda, hal pokok apa yang harus menjadi perhatian Muhammadiyah sekarang ini?

Membangkitkan optimisme kita yang sudah hampir layu.

Dan bagaimana membuat bendera Muhammadiyah tetap berkibar dalam periode politik yang penuh ketidakpastian?

Kepemimpinan Muhammadiyah harus solid. Dan itu bisa dicapai dengan mendudukkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat. Maka, saya ingin Pak Malik Fadjar mau menjadi salah seorang wakil ketua. Selain itu, juga Amin Abdullah. Saya juga berpikir, adanya dua wakil ketua PP Muhammadiyah di Jakarta dan di Yogyakarta akan memudahkan jalannya organisasi.

Lalu, apa program untuk menghidupkan ekonomi umat?

Itu soal yang sudah kami siapkan dengan lama. Sudah terbit buku konsep ekonomi Muhammadiyah yang disebut dengan jamiah dan dikerjakan dengan sangat serius.

Bentuknya kira-kira seperti apa?

Toko-toko swalayan yang disebut Al Markaz. Ini usaha swadaya orang Muhammadiyah untuk mendirikan toko dengan cara patungan. Yang menarik, 2,5 persen dari keuntungan toko disumbangkan bagi perserikatan. Selain itu, kami sedang mengusahakan peternakan ayam di daerah Bogor dan pembangunan pabrik cat kering di Muntilan, Jawa Tengah, di mana kami bekerja sama dengan investor dari Libya. Ini memang agak terlambat karena dahulu kita tidak pernah memikirkan hal seperti ini.

Apakah gerakan ekonomi model begini akan mampu menghadapi pasar bebas, seperti yang menjadi cita-cita Muhammadiyah?

Dengan gerakan ekonomi rakyat ini, kami menyiapkan agar kita tidak kehilangan martabat ketika AFTA diberlakukan.

Mengapa tradisi wirausaha Muhammadiyah kian pupus dari sentra industri rakyat?

Semangat dan roh kewirausahaan itu kian mengecil, walaupun belum hilang. Ini terjadi karena perubahan sosial ekonomi yang menggusur perusahaan-perusahaan tenun, kain batik, yang sebelumnya dikuasai orang-orang Muhammadiyah. Ketika usaha-usaha ekonomi semakin menyempit, orang mulai berpindah menjadi pegawai negeri.

Apakah perubahan ini membawa pengaruh tertentu pada kehidupan organisasi?

Ada sisi positif dan negatif. Dominasi pegawai negeri dalam kepemimpinan Muhammadiyah membuat gerak organisasi menjadi kian berdisiplin dan warna intelektualitas lebih dominan. Hanya, semangat untuk mengembangkan usaha menjadi kurang. Juga, sebagai pegawai negeri, pengurus Muhammadiyah bukan lagi orang merdeka, berbeda dengan para pedagang. Untung, level pemimpin lebih banyak terdiri atas para dosen sehingga relatif lebih merdeka atau independen.

Soal lain, mengapa Muhammadiyah meminta Dewan Pemulihan Usaha Nasional (DPUN) dibubarkan?

Apakah hadirnya Sofjan Wanandi, sebagai Ketua DPUN, yang lebih mewakili gambaran konglomerat, menjadi salah satu pemicu?

ofjan Wanandi memang membuat repot. Sebelumnya, ia adalah pengusaha yang bermasalah. Tiba-tiba dia datang dan dengan enaknya diangkat menjadi Ketua DPUN. Jelas, dia sendiri akan kehilangan kepercayaan karena sebelumnya menjadi orang yang penuh tanda tanya.

Kembali ke soal Muhammadiyah. Ada kritik khazanah keislaman organisasi ini tidak berkembang. Apa komentar Anda?

Memang ada kritik yang menganggap Muhammadiyah terpaku pada rutinitas. Tapi Lembaga Tarjih baru-baru ini meluncurkan tafsir Alquran tematik, dalam kaitan hubungan antarpemeluk agama.

Apa yang terpenting dari tafsir baru tersebut?

Mengakui hubungan manusia sebagai sesuatu yang pluralistis. Karena itu, tidak perlu berpikir bahwa penduduk bumi akan seperti kita semua. Dan kalau itu terjadi, itu pemaksaan, dan Islam melarang keras segala bentuk pemaksaan. Yang menarik lagi, dalam tafsir itu ada pengertian baru tentang ahli kitab.

Misalnya apa?

Ahli kitab itu tidak hanya orang Yahudi dan Kristen, tapi juga orang Majusi, Konghucu, Hindu, Buddha. Sebagai referensi atas tafsir itu, digunakan kitab klasik dan modern. Karena itu sudah harus didasari oleh toleransi yang tinggi, kita harus menghormati yang beragama lain, termasuk orang yang tidak beragama, asalkan dalam batas-batas tidak saling menggusur.

Keluarnya tafsir Alquran tematik apakah berkaitan dengan ketegangan antar-umat beragama di beberapa wilayah di Indonesia?

Tidak. Kami sudah lama mempersiapkannya. Ini salah satu bentuk ijtihad Muhammadiyah. Sebab, dalam Muktamar Tarjih (lembaga pengkajian) 1968 diputuskan bahwa sumber ajaran Islam ada tiga, yaitu Alquran, sunah Nabi, dan ijtihad.

Dalam muktamar ke-44, asas Islam kembali menjadi pertentangan. Mengapa?

Karena dalam tujuan Muhammadiyah ditulis Muhammadiyah adalah gerakan Islam, gerakan dakwah amar ma'ruf nahi munkar, berakidah Islam, dengan tujuan untuk membentuk rida Allah, yang bersumber pada Alquran dan sunah. Jadi, kalau ada bab tersendiri yang harus menuliskan asas Islam, tentu saja menjadi berlebihan.

Bagaimana soal itu diputuskan?

Voting. Dalam voting, argumen saya didukung oleh 136 suara berbanding 108 suara. Tapi, dalam pleno, pendapat saya kalah. Ini mungkin karena saya tidak mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan. Jalan tengahnya, kata-kata akidah Islam diganti berasaskan Islam.

Daerah mana saja yang menentang pendapat Anda?

Sulawesi Selatan, Aceh, dan Jawa Barat. Padahal, tiga daerah inilah yang paling mendukung saya menjadi Ketua PP Muhammadiyah. Tapi itulah roh Muhammadiyah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus