Sangat mengenaskan dan tak pernah terjadi selama ini di Bali. Jumat pagi, seorang pegawai tampak mengais-ngais di antara reruntuhan bekas Kantor Bupati Badung di Lumintang, Denpasar. Belasan kerangka mobil yang sudah terbakar teronggok di antara asap yang masih mengepul dari sisa-sisa kertas dan kayu yang termakan api. Brankas besi yang nongol di antara puing-puing segera diambil polisi dan dibuka untuk melihat isinya: arsip pegawai dan uang. Kerusuhan massa di Denpasar, Kamis pekan lalu, selain menghanguskan kantor Bupati, gedung DPRD, bangunan pemerintah lainnya, juga menghancurkan kompleks Pertokoan Sudirman Agung. Kaca-kaca Bank BCA, Toko Swalayan New Dewata Ayu, dan toko di sekitar Jalan Gajah Mada di pusat kota juga dirusak. Massa menjarah toko dan perkantoran sebelum membakar. Sekitar 20 bangkai mobil tergeletak bekas dibakar, sementara ratusan taksi dirusak di pangkalannya.
Kemarahan sebelumnya terjadi di Singaraja, ibu kota Kabupaten Buleleng. Bahkan warga kota itu lebih cekatan mengamuk. Rabu sore, beberapa jam setelah kekalahan Megawati dari Abdurrahman Wahid, massa segera menyerbu pusat kota. Sekitar 30 kantor pemerintah dirusak. Gedung Kertya, museum sejarah yang terkenal, yang menyimpan ribuan lontar dan buku-buku penting tentang sejarah Bali, pun dirusak massa. Penjara Singaraja dijebol. Akibatnya, 134 narapidana dan tahanan kabur. Hal serupa terjadi pula di Kota Negara, ujung barat Bali. Seluruh bangunan pemerintah dibakar. Betul-betul citra Bali menjadi terpuruk oleh kejadian ini, dan butuh waktu lama untuk mengembalikan citra itu.
Di Jakarta, bayang-bayang kerusuhan sudah tampak saat sidang umum dimulai. Penumpukan massa pendukung Megawati dari berbagai daerah terjadi di Jakarta dan bergesekan dengan massa pendukung B.J. Habibie. Walaupun Habibie sudah mundur dari pencalonan presiden, massa pendukung Mega masih tak puas kalau tokohnya belum jadi orang nomor satu. Sebuah bom meledak Rabu siang, pukul 11.15, di pelataran Hotel Indonesia, saat penghitungan suara baru dimulai. Lima orang Satgas PDI Perjuangan luka berat.
Sorenya, para pendukung putri Bung Karno, yang memang sudah ''panas" selama dua pekan lebih, langsung mengamuk saat gacoannya kalah suara dari Gus Dur. Mereka, yang merasa dikhianati para wakil rakyat, berbondong-bondong menuju Gedung MPR. Namun, saat di depan Taman Ria Senayan, massa dihadang aparat keamanan. Massa terus merangsek maju. Tiba-tiba, duar! Sebuah mobil Taft meledak di depan Balai Sidang Jakarta. Dua orang tewas, belasan lainnya luka parah, termasuk empat aparat keamanan.
Ledakan itu memicu kemarahan massa. Pintu gerbang besi Balai Sidang dirobohkan, bangunan di kompleks itu diacak-acak. Empat pintu masuk tol juga menjadi sasaran amuk. Begitu juga belasan mobil yang terjebak dan ditinggalkan pemiliknya di sepanjang jalan utama sekitar Jembatan Semanggi hancur dan dibakar. Tapi massa tak merusak bangunan pemerintah atau menjarah pertokoan seperti di Bali.
Amuk massa mulai reda Kamis sore, saat Mega terpilih mendampingi Gus Dur menjadi wakil presiden. Namun, sayang, justru aparat keamanan yang overacting. Rumah Sakit Jakarta, yang berada di belakang Universitas Atmajaya, diserang oleh aparat keamanan karena perusuh berlindung di sana. Beberapa bagian penting rumah sakit itu rusak total, antara lain pusat sterilisasi. ''Akibatnya, pasien tak bisa dioperasi, dan kami harus memindahkan pasien ke rumah sakit lain. Kerugian akibat rusaknya bangunan dan alat-alat kedokteran mencapai Rp 3 miliar," kata Ketua Yayasan Rumah Sakit Jakarta, Karyono.
Sehari setelah itu, Kapolda Metro Jaya, Mayor Jenderal Noegroho Djajoesman, memohon maaf atas perbuatan anak buahnya yang tak terkontrol. ''Saya menyesalkan kejadian itu dan mohon maaf," kata Noegroho. Pernyataan maaf saja, menurut Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Marzuki Darusman, tidak cukup. ''Kapolri harus memberikan ganti rugi kepada para pasien yang dirawat, bangunan, dan alat milik rumah sakit yang dirusak aparat," katanya.
Warga Solo, Jawa Tengah, juga mengamuk. Bangunan kantor wali kota madya dibakar dan dihancurkan hingga rata. Puluhan bangunan toko, bank, kantor partai, dan kantor-kantor pemerintah rusak berat. Rumah orang tua Ketua MPR, Amien Rais, ikut pula jadi sasaran. Kerugian di Solo, menurut akuntan publik Rahmat Wahyudi, ditaksir sekitar Rp 15 miliar. Amuk juga terjadi di Medan, Sumatra Utara, tapi tak separah di tempat lain. Massa yang marah hanya membakar ban, merusak bangunan kantor pemerintahan, dan satu mobil Toyota Kijang.
Tuntutan yang berbeda terjadi di Makassar. Warga setempat tak puas dengan hasil sidang umum karena jago mereka, B.J. Habibie, kandas saat pertanggungjawaban. Massa merusak Kantor PDI Perjuangan Makassar. Hingga kini sekelompok mahasiswa di kota itu menuntut adanya negara Sulawesi merdeka.
Kini, selain di Makassar, kota-kota yang dilanda kerusuhan mulai aman saat Mega tampil berduet dengan Gus Dur. Apalagi pada pidato seusai pelantikannya, putri proklamator Bung Karno itu ikut menyejukkan massanya: ''Kepada anak-anakku di seluruh Tanah Air, saya minta untuk bekerja kembali dengan tulus. Jangan melakukan hal-hal yang bersifat emosional karena di dalam mimbar ini, kamu melihat ibumu berdiri di sini." Sabtu siang, sebagian besar aparat keamanan ditarik, dan Jakarta tenang kembali. Begitu juga Solo, Denpasar, dan kota-kota lain. Yang tinggal sekarang adalah penyesalan atas ''kebodohan" akibat amuk itu.
Ahmad Taufik, L.N. Idayanie (Solo), IG.G. Maha Adi (Bali), Bambang Soedjairtono (Medan), Tomi Lebang (Makassar) dan reporter Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini