NISCAYA tidak ada yang bisa mengubah gaya hidup K.H. Abdurrahman Wahid. Hingga hari ketiga menjabat sebagai presiden keempat Indonesia, kiai kelahiran Denanyar, Jombang, Jawa Timur, 4 Agustus 1940, ini tetap dengan penampilannya yang khas: makan langsung pakai tangan (kulukan), duduk sembari melipat salah satu kakinya, atau cuma bersepatu sandal—"Kaki saya bubulan kalau pakai sepatu terus," kata kiai yang kini tinggal di Wisma Negara itu suatu saat.
Ia juga dikenal luwes untuk urusan protokoler. ''Gus Dur tak mau disapa Pak Presiden. `Panggil saya seperti biasanya, Mas Dur atau Gus Dur,' termasuk pada ajudan," kata Arifin Junaidi, sekretaris pribadi Gus Dur, yang kini anggota DPR. Sejumlah karib dan kiai yang memberinya selamat disambutnya meski mereka datang ke istana cuma bersarung dan memakai sandal. Suasana di Masjid Baiturrahman, di kompleks kepresidenan, seusai salat Jumat pekan lalu, tak ubahnya pesantren. Khalayak berebut menciumi tangan sang Presiden yang mengenakan sarung dan jas gelap tanpa dasi.
Sikap ini kembali ia tunjukkan saat berkunjung ke rumah K.H. Abdullah Salam di Pati, Jawa Tengah, akhir pekan lalu. Gara-garanya, konon, Nyai Abdullah Salam sudah mewanti-wanti tidak akan menerimanya sebagai presiden, tapi cukup sebagai Gus Dur yang mereka kenal sebelumnya. Apa boleh buat, segala tetek-bengek aturan mesti dilupakan. Presiden Gus Dur masuk rumah melalui dapur untuk sungkem memohon restu pamannya itu, yang juga dikenal sebagai salah satu kiai waskita, khariqul adah.
Urusan sowan ke kiai sepuh memang menjadi tradisi di kalangan nahdliyin. Tekad Gus Dur untuk mencalonkan diri dalam pemilihan presiden tempo hari juga tidak lepas dari kuatnya dukungan mereka. Gus Dur selalu berkonsultasi kepada mereka sebelum mengambil keputusan penting. ''Mereka membantu saya mengukur segala sesuatu," katanya kepada TEMPO. Ruang konsultasi ini bahkan terbentang hingga ke makam para leluhur atau wali Allah. Kegiatan terakhir ini, menurut K.H. Nur Iskandar Sq., sahabatnya yang memimpin pesantren Kedoya, adalah bagian dari tiga filter spiritual Gus Dur dalam berkonsultasi bagi berbagai persoalan dunia.
Lapis pertama adalah petunjuk kiai waskita seperti K.H. Abdullah Faqih dari Langitan, Tuban, Kiai Abdullah Salam Buntet, Kiai Mustofa Bisri, dan sejumlah kiai berpengaruh yang ''masih beredar" di mana-mana. Di lapis kedua, ada sederet kiai nyentrik semacam K.H. Muslim Imampuro atau Mbah Lim, pengasuh Pondok Pesantren Al Muttaqien, Karanganom, Klaten, Jawa Tengah, dan juga Habib Jakfar dari Kudus, Jawa Tengah, serta Kiai Dimyati dari Pandeglang, Jawa Barat.
Radar terakhir adalah menyekar ke makam para leluhur atau waliullah, makam keramat. Alasannya sederhana. ''Orang yang mati itu tidak punya kepentingan apa-apa. Kalau yang hidup, banyak kepentingannya," tutur K.H. Yusuf Muhammad atau Gus Yus, Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa di MPR, menirukan jawaban karibnya itu. Karena itu, sebelum bertandang ke Kiai Abdullah Salam, Presiden Wahid mampir sejenak ke makam salah satu leluhurnya, K.H. Mutamakin, di Desa Kajen, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, Jawa Tengah.
Safari ke makam antik ini, menurut K.H. Kholil Bisri, pengasuh pesantren Rembang, memang tidak lepas dari kemampuan Gus Dur untuk berkomunikasi dengan orang-orang waskita yang sudah meninggal. Saat ditawari duduk sebagai pengurus Institut Simon Peres oleh mantan Perdana Menteri Israel, Gus Dur tidak segera menjawab. Ia mesti berkonsultasi lebih dulu dengan tiga guru spiritual yang sudah wafat: K.H. Chudori Tegalrejo, Mbah Abdul Fattah Hasyim, dan K.H. Idris.
Tingkat kepercayaan Gus Dur pada lapis terakhir itu memang bisa membuat dahi orang awam bekernyit, apalagi jika mengingat ia pernah bersekolah di Mesir dan Irak, yang relatif lebih maju dan memiliki pendidikan modern. Namun, rupanya, proses belajar di Timur Tengah ini tidak melunturkan semangat Gus Dur untuk kembali ke akar dan tradisi Nahdlatul Ulama, organisasi yang hingga kini masih dipimpinnya.
Ia juga memilih untuk menyekar ke makam kakeknya, K.H. Hasyim Asy'ari, dan orang tuanya, K.H. Wahid Hasyim, sebelum (dan sesudah) mengikuti pemungutan suara dalam pemilihan presiden tempo hari di Sidang Umum MPR. Ingat ketika ia mendadak pergi ke Malaysia sebelum pemilihan presiden? Di sana, Gus Dur memenuhi undangan Ustad As'aary Muhammad, pemimpin Darul Arqam, yang mengaku bertemu dengan Nabi Muhammad dalam mimpi. ''Ada pesan-pesan penting untuk saya. Dan saya percaya," kata Gus Dur.
Sikap Gus Dur yang berkesan lebih percaya kepada hal-hal supernatural ini ternyata tidak membatasi semangatnya untuk menjelajahi berbagai ruang diskusi. Wawasan Gus Dur memang luas karena segala jenis buku dilahapnya. ''Di mana-mana, dia bawa buku. Dan kalau dia sudah membaca, saya dianggap tidak ada," kenang K.H. Mustofa Bisri atau Gus Mus, teman kuliah Gus Dur ketika di Mesir.
Penggemar film dan musik klasik ini—ia punya koleksi lengkap karya Beethoven dari berbagai orkestra—malah jarang kuliah karena merasa bosan. Ia lantas dipindahkan belajar sastra Arab di Universitas Baghdad, Irak. Di situ pun, si Gus ternyata gemar mengunjungi makam Syaikh Abdulqadir Jaelani, guru sufi besar yang menanamkan tonggak tarekat Qadiriyah. Kebiasaan unik inilah yang mesti menjadi catatan penting para protokol istana ketika Gus Presiden turun ke daerah.
Widjajanto, Adi Prasetya, Purwani Diyah Prabandari, Bandelan Amarudin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini