Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

"Mengubah UUD 1945 Sudah Suatu Keharusan"

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI peristiwa lama, lebih dari 40 tahun silam. Paduka yang Mulia Presiden Dr. Ir. Sukarno—begitulah sebutan Bung Karno di masa itu—hadir dalam Pembukaan Sidang Pleno Konstituante Republik Indonesia I di Bandung. Di sana, Rabu pagi, 22 April 1959, ia memberikan amanatnya agar RI kembali ke Undang-Undang Dasar 1945. Peristiwa ini merupakan antiklimaks dalam sejarah perundang-undangan RI. Usep Ranawidjaja, Sekretaris Jenderal Konstituante—sejak Juli 1957—hadir dalam ruangan itu. Ia menyaksikan, terlibat, serta teliti mencatat peristiwa demi peristiwa yang kemudian menjadi satu mosaik dalam sejarah Indonesia. Konstituante adalah lembaga yang diresmikan Presiden pada 10 November 1956. Tugasnya merancang UUD RI untuk menggantikan UUD 1950 yang bersifat sementara. Namun, setelah bekerja selama 2 tahun, 5 bulan, 12 hari, Konstituante dibubarkan, juga oleh Presiden Sukarno. Maka, Indonesia pun kembali ke UUD 1945. Pembubaran ini merupakan buntut dari konflik berkepanjangan kubu PKI dan nasionalis-sekuler versus golongan Islam. Konflik itu semakin memuncak dan sejarah mencatat itulah akhir dari sebuah masa demokratis dalam sejarah Republik Indonesia. Dan kita mengetahui masa 40 tahun berikutnya bisa dianggap sebagai masa yang tidak demokratis atau sering juga disebut sebagai masa pemerintahan otoriter. Usep, yang juga tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI), menyebutkan bahwa karisma Bung Karno ketika itu masih sangat luar biasa. Kendati sebagian tokoh politik tidak setuju terhadap Dekrit Presiden, mereka memilih diam. Usep Ranawidjaja, guru besar Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus, lahir di Bandung, 9 Mei 1924. Sejak di sekolah menengah, ia dididik oleh tokoh pergerakan nasionalis, Dr. Douwes Dekker. Di bawah bimbingan Dekker, sejak berusia belasan tahun, ia sudah berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional. Pada 1953, ia menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Di masa-masa inilah Usep mengantarkan Douwes Dekker untuk bertemu dengan murid politiknya yang ketika itu telah menjadi Presiden Republik Indonesia: Sukarno. Perjumpaan itu merupakan kontak pertama Usep dengan sang Presiden. Siapa sangka, di kemudian hari, ia menjadi Sekretaris Jenderal PNI (1965-1972)—partai politik yang didirikan Bung Karno. Usep tetap bersama PNI ketika partai ini menghadapi badai besar menjelang runtuhnya kekuasaan Presiden Sukarno pada 1965. Bersama Osa Maliki, Usep menghadapi PNI Ali-Surachman yang dianggap kekiri-kirian. Aktivitas Usep di kepartaian tidak berhenti setelah PNI—melalui Deklarasi Fusi 10 Januari 1973—lebur ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ia sempat memimpin partai ini pada 1975 bersama Sanusi dan mengalami kepemimpinan kembar di PDI pada 1977. Konflik internal dalam PDI menyebabkan Usep dan kawan-kawan diminta mundur dalam Kongres Luar Biasa PDI 1977. Guru besar ini masih bertahan di partai tersebut hingga 1981, tatkala ia di-recall bersama empat tokoh PDI yang lain. Di luar politik, Usep menemukan dunianya yang lain dalam kehidupan akademi. Bekas guru besar ilmu tata negara di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, ini masih bugar pada usia 76 tahun. Ketika masih lebih muda, ia memang teratur berolahraga—dari badminton, tenis, renang, senam, hingga yoga. Ia bahkan menyetir sendiri mobilnya—sebuah sedan Mitsubishi tua—menerobos lalu-lintas Jakarta yang padat. Dan ia tetap saja lantang menguraikan ilmu hukum tata negara di depan mimbar kuliah sampai hari ini. Di kediamannya, di bilangan Bintaro, Jakarta Selatan, pekan lalu, ia menerima wartawan TEMPO Edy Budiyarso dan fotografer Rini P.W.I. untuk sebuah wawancara khusus. Petikannya:

Anda menjadi Sekretaris Jenderal Konstituante pada usia 33 tahun. Bagaimana meyakinkan partai bahwa Anda bisa memegang jabatan itu pada usia relatif muda?

Di dalam partai, waktu itu saya menjabat Ketua PNI Cabang Gambir. Saya sendiri tidak berminat menjadi sekjen, tapi kemudian dicalonkan oleh PNI. Awalnya, saya masuk ke Konstituante untuk memperdalam hukum tata negara. Sebelumnya, saya bekerja di Departemen Dalam Negeri dan menjadi anggota DPRD DKI Jaya. Ketika itu, tidak ada larangan bagi pegawai negeri untuk beraktivitas di partai politik. Pencalonan saya sebagai Sekjen Konstituante oleh PNI ternyata mendapatkan dukungan besar dari partai-partai.

Apakah Anda tidak merasa terlalu muda untuk jabatan tersebut?

Pak Wilopo, Ketua Konstituante, tadinya menilai saya terlalu muda dan kurang berpengalaman. Beliau pesimistis, jangan-jangan saya tidak akan bisa menjalankan tugas sebagai sekjen. Dan keraguan itu muncul dalam pernyataan-pernyataannya. Setelah beberapa bulan berjalan, Pak Wilopo berubah pikiran. Ia menerima baik kehadiran saya dan menganggap pekerjaan saya bagus karena memiliki keahlian hukum tata negara. Saya juga berhubungan erat dengan fraksi-fraksi dan semua anggota pimpinan Konstituante.

Setelah hampir dua setengah tahun bekerja, Konstituante dibubarkan Presiden Sukarno. Apa latar belakang kegagalan Konstituante?

Pada waktu itu, pidato-pidato para pemimpin Konstituante memang menjurus ke konfrontasi antara ideologi Islam dan Pancasila. Partai-partai Islam ingin menggantikan Pancasila. Itulah semangat persatuan partai-partai Islam saat itu. Maka, pembicaraan lain di dalam Konstituante menjadi macet karena masalah dasar negara. Padahal, waktu itu rancangan UUD sudah terbentuk.

Apa saja isi pidato pemimpin partai Islam yang ingin menggantikan Pancasila?

M. Natsir dari Partai Masyumi, misalnya, dalam pidatonya menganggap Pancasila sebagai kemenangan agama Hindu. Padahal, Indonesia, menurut Natsir, terdiri atas 99 persen penduduk beragama Islam. Karena itu, Islamlah yang harus ditonjolkan dan itu ada dalam Piagam Jakarta. Sebelumnya, kelompok Islam ingin mengubah semuanya. Jadi, Pancasila diberi dasar Islam. Selain M. Natsir, semua pemimpin partai Islam ketika itu boleh dikata menentang Pancasila.

Apakah pertentangan itu hanya terjadi antara partai-partai Islam dan kelompok nasionalis-sekuler atau juga dengan PKI yang kian tampak pengaruhnya pada masa itu? Misalnya dengan menggunakan Pancasila sebagai "batu loncatan" untuk memperbesar pengaruh?

Pada waktu itu memang ada tiga aliran yang kuat berkembang: Islam, marxisme, dan Pancasila. PKI (dan Murba) menganut aliran marxisme dan waktu itu masih minoritas. Karena kecil, mereka mendukung Pancasila. PKI kemudian merumuskan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa Indonesia. Jadi, taktik PKI adalah mendukung Pancasila supaya partai Islam melemah.

Lalu, apa saja jalan yang ditempuh untuk keluar dari kebuntuan?

Muncul ide kembali ke UUD 1945. Pihak Islam dan nasionalis setuju. Kesepakatan itu dicapai pada akhir persidangan 1959. Tapi golongan Islam masih menuntut agar rumusan sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan rumusan yang ada dalam Piagam Jakarta. Rumusan itu berbunyi "Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya."

Tapi tuntutan ini kan tidak dapat diterima golongan non-Islam dan nasionalis?

Karena itu, diadakan voting. Voting ini menyebabkan semua anggota Konstituante dikerahkan untuk hadir. Anggota yang berada di rumah sakit dipaksa ikut bersidang karena akan ada voting. Ini menunjukkan pengambilan keputusannya penting sekali dan setiap suara sangat berharga.

Bukankah pemungutan suara itu juga berakhir dengan deadlock: golongan nasionalis mendapat suara mayoritas tapi tidak mencapai dua pertiga, sementara partai-partai Islam mendapat suara lebih dari sepertiga?

Memang tidak ada yang menang mutlak. Karena itu, tidak ada keputusan. Pihak militer berpendapat, kalau itu dibiarkan terus tanpa keputusan, akibatnya, bisa merembes ke masyarakat bawah. Pemberotakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang masih berlangsung waktu itu akan mendapat angin dengan pertentangan Islam versus Pancasila. Kemudian, partai-partai non-Islam setuju dikeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

Banyak ahli tata negara kita yang mengkritik. Mereka berpendapat dekrit itu menyalahi aturan hukum.

Dekrit itu memang bertentangan dengan UUD Sementara. Tapi keputusan ini diambil sebagai jalan keluar dari keadaan darurat yang dianggap bisa membahayakan.

Lalu, "konsesi" apa yang diberikan kepada kalangan Islam, terutama Nahdlatul Ulama, yang bersikap moderat?

Dibuatlah rumus di dalam dekrit bahwa Piagam Jakarta menjiwai Pancasila. Memang, Pancasila itu berasal dari Piagam Jakarta. Cuma, kemudian ada perubahan pada 18 Agustus 1945. Perubahan ini membuat semangatnya menjadi lain karena tidak berbicara tentang syariat Islam. Rumusan ini membuat sikap Islam, khususnya NU, menjadi lunak. Taktik ini membuat Dekrit Presiden disetujui oleh semua partai non-Islam. Tapi, dari pihak partai Islam, hanya NU yang mendukung dekrit.

Kembali ke soal Konstituante. Apakah lembaga ini banyak membatasi hak dan wewenang presiden dalam UUD yang dirancangnya?

Konstituante merancang sebuah konstitusi yang mengarah ke sistem parlementer, sehingga presiden hanya menjadi simbol. Konstituante menghendaki sistem parlementer ala Barat, tidak seperti UUD 1945. Pernyataan di dalam UUD 1945 tentang presiden sebagai mandataris MPR memang mengacaukan. Mengapa? MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat memandatkan kedaulatannya kepada MPR, sementara MPR memandatkan lagi kedaulatannya kepada presiden, sehingga penafsirannya mengarah ke konsentrasi kekuasaan. Hal ini diubah dalam Konstituante. Jadi, UUD 1945 ditinggal.

Apakah perubahan juga dilakukan pada naskah pembukaan UUD 1945?

Naskah pembukaan tetap. Preambul di dalam UUDS (UUD Sementara 1950, yang dipakai sebagai dasar negara RI sebelum kita kembali ke UUD 1945) memang sudah agak lain. Dan ini justru yang disasar oleh Islam untuk mengubah Pancasila seperti pada pembukaan UUD 1945. Hal inilah yang menyebabkan pertentangan yang tajam.

Apa pendapat Anda tentang kembalinya kita ke UUD 1945?

Kembali ke UUD 1945 adalah suatu langkah mundur. Pemikiran dalam Konstituante sudah lebih maju seperti negara modern. Jadi, kalau sekarang ada arus yang hendak mengubah UUD 1945, itu sudah suatu keharusan. Aspirasi itu toh sudah diterjemahkan partai-partai politik, baik yang Islam, nasionalis, maupun komunis. Selain itu, kita kembali ke UUD 1945 yang sederhana, yang berlaku pada zaman revolusi—bahkan lalu disakralkan karena dianggap sebagai hasil proklamasi kemerdekaan. Ini jalan pikiran yang tidak benar.

Benarkah Dekrit Presiden banyak dipengaruhi pemikiran militer?

Memang ada persekongkolan antara Bung Karno dan tentara. Tentara melihat sistem parlementer produk Konstituante—yang sudah maju sekali dari segi hukum tata negara—bisa menimbulkan ketidakstabilan politik dan pemerintah, sehingga program pemerintah tidak bisa berjalan karena pertentangan antarpartai di parlemen berlangsung terus dan mengganggu. Pertentangan dan perdebatan tajam di dalam Konstituante dianggap sebagai kekacauan.

Omong-omong, Anda ini kok akrab dengan jabatan sekjen? Bukankah di PNI Anda juga menjadi sekjen?

Saya terima menjadi sekjen itu karena saat itu tidak ada yang berani menjadi sekjen. Ketua PNI ketika itu adalah Osa Maliki. Ketua lainnya Hardi, S.H., Isnaeni, dan Sabilah Rasyad.

Bersama Osa Maliki, Anda dikenal membuat Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PNI tandingan. Apakah tindakan ini disengaja untuk menghadang pimpinan PNI Ali Satroamidjojo dan Surachman (PNI Asu), yang dekat dengan PKI?

Pembentukan PNI baru itu sudah sejak 1964—bukan ide yang muncul pada 1965 ketika PNI Osa Maliki didirikan. Surachman sendiri orang baru di jajaran PNI. Tapi, karena adanya rekayasa tertentu, dia bisa menduduki jabatan sekjen dalam Kongres PNI di Banyumas 1963. Dalam kongres itu, ia bersaing dengan Soebagiyo Reksosoediro dan hanya menang satu suara.
Surachman adalah kader CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, organisasi mahasiswa onderbouw PKI) di Yogya.

Apakah Presiden Sukarno mengecam pendirian DPP PNI baru tersebut?

Sama sekali tidak. Ketika kami menghadap Bung Karno, ia malah mengharapkan kami berbeda dengan PNI Asu. Apalagi Bung Karno tahu bahwa kami ingin mengembalikan PNI ke doktrin 1927, yaitu kepada sosionasionalisme dan sosiodemokrasi.

Bagaimana hubungan Bung Karno dengan PNI Asu?

Bung Karno tidak suka dengan Ali dan Surachman. Tapi secara resmi hubungan itu masih ada karena Ali adalah menko di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.

Anda tidak merasa menjadi oportunis karena berlindung di balik Angkatan Darat ketika PNI Asu dihabisi?

Saya aman (tertawa). Kelompok Ali memang dipenjarakan dan memang kami dibantu oleh Soeharto. Tapi bantuan Soeharto itu kemudian malah membuat PNI ambruk. Ia banyak membubarkan PNI di daerah seperti Jawa Barat, Jawa Timur, dan Sumatra Utara. Tapi saya katakan kepada Soeharto—waktu itu sudah presiden—kalau PNI bubar, yang akan kuat adalah partai Islam.

Sehingga Soeharto kemudian mengeluarkan instruksi menghidupkan kembali PNI?

Benar. Setelah itu, saya datangi daerah-daerah untuk mengaktifkan kembali PNI. Tapi partai-partai lain tidak suka dengan instruksi Soeharto. Mereka tetap ingin PNI bubar. Hal ini membuat kelompok Ali Sastroamidjojo menganggap saya berkhianat, ikut memenjarakan mereka. Padahal, yang memenjarakan mereka bukan saya, tapi tentara yang reaksioner.

Mengapa PNI menerima fusi yang diusulkan Soeharto?

Idenya bagus, menyederhanakan partai-partai hanya menjadi dua: yang nasionalis di dalam PDI, sedangkan Islam di PPP. Tapi, dalam perjalanannya, Undang-Undang tentang Fusi Partai Politik yang dipelopori Ali Moertopo dipraktekkan untuk membatasi ruang gerak partai. Fusi dibuat untuk mempermudah pemerintah menghadapi partai politik yang tinggal dua itu. Selanjutnya adalah rekayasa-rekayasa. Orang yang berani berterus terang disingkirkan dari partai. Partai dibuat saling berkonflik. Di dalam PDI sendiri dibuat ribut antarpartai yang berfusi, sedangkan para anggota di tubuh PNI sendiri dibuat saling berantem. Dalam Kongres PNI pada 1966 di Jakarta, Soeharto masih menyokong PNI. Tapi, dalam Kongres 1970 di Semarang, Soeharto mulai menyingkirkan orang yang kritis terhadap Angkatan Darat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus