Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Warisan Berat bagi Duet Baru

Segudang masalah menanti pemerintah baru. Akibat utang budi saat Sidang Umum MPR lalu, boleh jadi penyelesaian politis akan lebih dipilih daripada penyelesaian hukum.

10 Oktober 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUMPENG sudah dipotong di pelbagai penjuru merayakan melajunya Gus Dur dan Megawati ke istana. Masyarakat pun sudah boleh mencicil rasa lega karena situasi mulai aman dan pasar menunjukkan respons positif. Namun, upacara syukuran ini tampaknya tak bisa terlalu lama digelar. Sebagaimana saat Habibie dulu naik, duet baru ini juga mewarisi persoalan yang segunung. Apa saja problem politik yang dihadapi pemerintah baru? Imam B. Prasodjo, sosiolog dari Universitas Indonesia, menilai problem tergawat saat ini adalah rasa kebersamaan sebagai bangsa sudah tercabik. Dua pemimpin ini bisa saja ditafsirkan sebagai perwakilan Jawa oleh rakyat yang berasal dari etnis dan daerah lain. Sementara itu, situasi yang berkembang adalah makin kuatnya penolakan daerah terhadap dominasi pusat (baca: Jawa). Karena itu, Imam menyarankan duta-duta daerah juga mendapat tempat di pemerintahan baru agar rasa kebangsaan kembali rekat. Namun, untuk beberapa daerah seperti Aceh, Irian, dan Ambon, penyelesaian dengan pembagian kekuasaan tidaklah cukup. Tingkat kepercayaan yang rendah kepada pemerintah pusat diperparah oleh pelbagai kasus kekerasan oleh aparat. Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mendesak adanya investigasi yang menyeluruh untuk mendata dan mengungkap semua pelanggaran. "Tanpa pandang bulu, semua yang melanggar harus diadili," kata Todung. Masalah yang tak kalah peliknya bagi duet baru ini adalah penuntasan kasus bekas presiden Soeharto. Praktisi hukum Adnan Buyung Nasution menilai penerbitan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) oleh Kejaksaan Agung adalah kecelakaan besar yang dilakukan oleh pemerintahan Habibie. "Sekarang Soeharto sudah sakit, susah diperiksa lagi," ujar Buyung. Namun, untuk anak-anak Soeharto beserta kroninya, Buyung menyatakan semuanya harus diperiksa. Bila terbukti ada kekayaan yang diperoleh dengan tidak wajar, semuanya harus disita dan dikembalikan kepada masyarakat. Kedekatan Gus Dur dengan Soeharto ikut menjadi faktor yang mungkin membuat perkara jenderal bintang lima ini sulit digulirkan lagi. Imam bahkan melihat kedua tokoh tersebut telah melakukan semacam rekonsiliasi. Di sisi lain, Mega sendiri tak pernah bersikap tegas terhadap kasus Soeharto. Kengototan yang dulu dilakukan pendukung Gus Dur dan Mega untuk menabrakkan Habibie dengan Soeharto kini tak bisa diulangi karena hal itu berarti membenturkan pemimpin mereka sendiri. Menurut Imam, bila ada yang berharap kasus Soeharto akan selesai secara hukum karena Gus Dur menjadi presiden, sebaiknya yang bersangkutan siap kecewa. "Penyelesaian akan bersifat politis," kata Imam. Hal ini bisa dimungkinkan karena, menurut Imam, kemarahan publik sudah mereda. Sementara itu, Todung tak sepakat bila penyelesaian politis yang dipakai. "Pemerintah akan mendapat citra buruk jika tidak menyelesaikannya secara hukum," kata Todung. Warisan rumit lain dari pemerintahan Habibie adalah skandal Bank Bali. Menurut Todung, salah satu tuntutan reformasi yang disuarakan publik dan anggota DPR adalah penyelesaian skandal Bank Bali. Namun, kata Todung, ada prasyarat utama yang harus dipenuhi, yaitu pembenahan lembaga Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung. Sebab, wibawa keduanya sudah sedemikian terpuruk. Buyung bahkan menilai, selain hakim dan jaksa, polisi serta pengacara juga sama brengseknya. Buyung optimistis dengan visi Gus Dur untuk segera membenahi negara hukum. Imam juga menilai kasus-kasus lama tidak akan gampang diselesaikan. Untuk skandal Bank Bali, misalnya, jelas unsur Partai Golkar terlibat. Padahal, kontribusi Golkar dalam kemenangan Gus Dur tempo hari tak bisa disepelekan. "Terlalu banyak menggali persoalan lama akan ketemu ular lebih banyak lagi," kata Imam. Karena itu, Imam menilai, duet baru ini akan lebih memilih berkonsentrasi ke depan. Bila hasilnya positif, masyarakat tidak akan banyak mengungkit. Bila sebaliknya, risikonya, permasalahan akan makin menggunung. Memang, tidak semua warisan menyenangkan. Yusi Pareanom, Hendriko Wiremmer, Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus